Apakah Korban Pelecehan Seksual Haknya Terjamin?

Gracia Kharismawati
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan
Konten dari Pengguna
12 September 2021 17:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gracia Kharismawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Victim. Image by Anemone123
zoom-in-whitePerbesar
Victim. Image by Anemone123
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual hingga saat ini masih banyak terjadi di Indonesia. Menurut data dari Komnas Perempuan, 299.911 kasus terjadi pada tahun 2020. Walaupun angka tersebut lebih rendah dari tahun sebelumnya, tetapi masih tergolong banyak bila kita kalkulasi yaitu sekitar 821 kasus/hari. Bukan hanya perempuan, laki-laki juga bisa menjadi korban, misalnya kasus pelecehan pada anak laki-laki yang dilakukan oleh pedangdut ternama Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain angka yang tinggi, kekerasan seksual memiliki resiko yang cukup besar bagi korban yang melapor. Resikonya dapat berupa stigma buruk di masyarakat, tekanan dari pelaku, sampai peraturan perundang-undangan yang belum bisa menjamin keadilan bagi korban. Oleh karena itu, ancaman-ancaman yang menekan korban kekerasan seksual harus dihentikan demi melindungi hak korban.
Dalam berbagai kasus, stigma buruk dari masyarakat sudah melekat pada korban bahkan, mereka dianggap sebagai aib keluarga. Pandangan-pandangan buruk itu tentu saja tidak benar karena, mereka bukan pihak yang pantas disalahkan. Bahkan tak jarang untuk menutupi “aib” tersebut, pernikahan antara korban dan pelaku menjadi jalan yang dipilih. Lagi-lagi korban menjadi pihak yang harus menanggung akibat dari perbuatan pelaku. Sedangkan sering kali, pelaku tidak ditindak secara tegas melalui proses hukum bila sudah dinikahkan dengan korban.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu stigma buruk tersebut harus perlahan dikikis, karena tanpa disadari hal ini sangat berdampak negatif bagi korban. Bila hal ini terus berlanjut, makin banyak orang yang menjadi korban karena tidak adanya ruang yang aman untuk melaporkan kasus yang dialami.
Tekanan dari pelaku juga menjadi faktor tidak terjaminnya hak korban. Tekanan-tekanan tersebut dapat berupa revenge porn, hingga ancaman akan dilaporkan kembali dengan alasan pencemaran nama baik.
Kasus pelecehan terhadap pegawai KPI menjadi contoh nyata dari intimidasi yang dilakukan oleh pelaku. Seperti yang dilansir dalam CNN Indonesia (2021),MS sebagai terduga korban mendapat tekanan dari pihak terduga pelaku. Ia dipaksa menandatangani surat perdamaian, bahkan sampai adanya rancana pelaporan dengan alasan pencemaran nama baik yang didasari oleh UU ITE.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, pelaporan ini harus dipertimbangkan dengan baik oleh aparat yang berwenang demi perlindungan bagi korban selama proses hukum berjalan. Jangan sampai, pelaporan balik dari terduga pelaku membuat laporan kekerasan seksual dicabut karena muncul ketakutan dalam diri korban. Sehingga, terduga pelaku tidak mendapatkan sanski yang pantas dari perbuatannya bila terbukti bersalah.
Dari sisi perlindungan hukum, peraturan yang ada di dalam maupun di luar KUHP nyatanya belum cukup untuk menjamin hak korban kekerasan seksual. Seperti yang dilansir dalam Kompas.com (2019), Indra Iskandar selaku Sekretaris Jendral DPR mengungkapkan bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini hanya berfokus pada pemidanaan pelaku bukan pada pemenuhan hak bagi korban.
Penulis setuju dengan penyataan tersebut karena pada dasarnya hukum di Indonesia belum mencakup aturan pencegahan, pemulihan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Belum lagi pada saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diganti terminologinya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Bila dilihat lagi, perubahan nama Undang-Undang yang baru mempersempit jangkauan dari peraturan tersebut. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya 85 pasal yang dihapus sehingga menimbulkan kekosongan hukum.
ADVERTISEMENT
Adanya langkah ini, negara dianggap kurang serius dalam pemberantasan kekerasan seksual. Oleh karena itu, negara dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat harus mengkaji ulang RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan mempertimbangkan kondisi korban. Bila tidak ada perlindungan hukum yang mencukupi maka, hak korban tidak akan terjamin.
Hak korban kekerasan seksual belum terjamin hingga saat ini. Dari aspek lingkungan sosial, masyarakat masih perlu diedukasi agar asumsi buruk tentang korban berkurang sedikit demi sedikit. Langkah ini juga dilakukan untuk menciptakan ruang yang aman bagi korban untuk angkat bicara atas kekerasan seksual yang dialami. Payung hukum yang komprehensif juga dibutuhkan agar korban merasa aman dan terjamin. Tidak hanya itu, pelaku juga tidak bisa serta merta menekan korban bila telah ada peraturan yang memadai.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Siaran Pers Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020. Diambil dari: https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021
Aditya,RN.(2019) Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual Dinilai Belum Memadai.Diambil dari: https://nasional.kompas.com/read/2021/03/09/13394341/perlindungan-terhadap-korban-kekerasan-seksual-dinilai-belum-memadai?page=all.
Maulana,A.Korban Pelecehan di KPI Disebut Dipaksa Damai oleh Pelaku. Diambil dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210909105620-12-691864/korban-pelecehan-di-kpi-disebut-dipaksa-damai-oleh-pelaku.