Konten dari Pengguna

Revolusi Sanksi Pajak: Penyesuaian Tarif Sanksi untuk Kepatuhan dan Ekonomi

GRACIA WAHYU ANJANI
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN, Prodi D4 Manajemen Keuangan Negara
6 Februari 2025 9:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari GRACIA WAHYU ANJANI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Penulis
ADVERTISEMENT
Dalam upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan menyesuaikan dinamika ekonomi, pemerintah Indonesia terus melakukan pembaruan sistem perpajakan. Salah satu perubahan signifikan terbaru adalah revisi ketentuan sanksi administratif perpajakan yang tidak lagi menggunakan tarif flat 2% per bulan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/2021, pemerintah kini memberlakukan tarif sanksi yang lebih fleksibel, disesuaikan dengan kebijakan Menteri Keuangan. Perubahan ini menandai transformasi penting dalam pendekatan penegakan hukum pajak, yang mengedepankan serta mempertimbangkan prinsip keadilan dan situasi ekonomi.
ADVERTISEMENT

Latar Belakang Perubahan

Sebelumnya, sanksi administratif pajak di Indonesia diatur dalam Pasal 13 UU KUP, yang menetapkan tarif bunga sebesar 2% per bulan untuk keterlambatan pembayaran pajak, pelaporan SPT, ataupun kesalahan penghitungan pajak. Namun setelah ditinjau kembali, tarif ini dinilai kurang responsif terhadap perubahan ekonomi, seperti fluktuasi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) atau kondisi makroekonomi. Akibatnya, sanksi 2% kerap dianggap terlalu memberatkan wajib pajak UMKM di tengah situasi resesi atau terlalu ringan bagi wajib pajak korporasi dengan potensi pajak besar.
Perubahan melalui PMK 18/2021 mengalihkan kewenangan penetapan tarif sanksi kepada Menteri Keuangan, dengan mempertimbangkan indikator ekonomi seperti suku bunga pasar, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini sejalan dengan semangat reformasi pajak untuk menciptakan sistem yang lebih adil, transparan, dan adaptif.
ADVERTISEMENT

Perbandingan Aturan Lama dan Baru

1. Tarif Sanksi Keterlambatan Pembayaran Pajak

Aturan Lama (UU KUP Pasal 13):
Wajib pajak yang terlambat membayar pajak dikenakan sanksi bunga 2% per bulan, dihitung sejak jatuh tempo hingga tanggal pelunasan, dengan maksimal 24 bulan.
Aturan Baru (PMK 18/2021):
Tarif sanksi bunga ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang diterbitkan setiap tiga bulan. Sejak 2023, tarif ini mengacu pada suku bunga acuan Bank Indonesia (BI 7-Day Reverse Repo Rate) ditambah 5% (uplift factor). Misalnya, jika BI Rate 6%, tarif sanksi menjadi 11% per tahun atau sekitar 0,92% per bulan.

2. Sanksi Keterlambatan Pelaporan SPT

Aturan Lama:
Keterlambatan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dikenai denda Rp1.000.000 untuk SPT Orang Pribadi dan Rp2.000.000 untuk SPT Badan.
Aturan Baru:
ADVERTISEMENT
Meskipun denda tetap nominal, sanksi administratif tambahan seperti pemblokiran NPWP atau pembatasan transaksi berlaku jika keterlambatan melebihi 12 bulan.

3. Sanksi atas Pajak Kurang Bayar

Aturan Lama:
Jika terdapat pajak kurang bayar akibat kesalahan penghitungan, sanksi bunga 2% per bulan dikenakan atas selisih kekurangan tersebut.
Aturan Baru:
Tarif sanksi disesuaikan dengan KMK, tetapi dengan tambahan penalti 1% per bulan (maksimal 24 bulan) jika kesalahan dianggap disebabkan oleh kelalaian wajib pajak.

Implikasi bagi Wajib Pajak

1. Fleksibilitas Sesuai Kondisi Ekonomi
Dengan tarif yang mengikuti BI Rate, sanksi bisa turun di masa suku bunga rendah (misalnya saat pandemi) atau naik ketika ekonomi memanas (booming season, yakni periode pesatnya pertumbuhan ekonomi yang ditandai rendahnya tingkat pengangguran, kenaikan harga, dan PDB yang lebih tinggi). Hal ini mengurangi beban wajib pajak UMKM di masa sulit, sekaligus mencegah praktik penundaan pembayaran oleh korporasi besar saat tarif rendah.
ADVERTISEMENT
2. Kepatuhan Lebih Rasional
Tarif yang lebih realistis (misalnya 0,92% per bulan) diharap meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar tepat waktu, dibandingkan sanksi 2% yang kerap dianggap terlalu tinggi dan tidak adil.
3. Kompleksitas Perhitungan
Wajib pajak harus lebih aktif memantau KMK terbaru untuk menghitung sanksi secara akurat. Untuk kemudahan akses bagi masyarakat, pemerintah telah mengintegrasikan tarif terkini dalam aplikasi DJP Online.
4. Penyesuaian Sistem Administrasi
Wajib pajak dan Badan yang memiliki kewajiban perpajakan dan menggunakan software akuntansi wajib memperbarui sistem otomatisasi penghitungan sanksi sesuai tarif berlaku.

Tujuan Kebijakan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa kebijakan penyesuaian tarif sanksi administratif ini dirancang untuk mencapai tiga tujuan utama. Pertama, meningkatkan keadilan dengan menyelaraskan besaran sanksi terhadap kondisi ekonomi sehingga mampu mengurangi kesenjangan beban antara wajib pajak kecil dan korporasi besar. Kedua, kebijakan ini bertujuan memitigasi dampak krisis melalui fleksibilitas tarif, memungkinkan pemerintah memberikan keringanan sanksi di situasi darurat seperti pandemi COVID-19 atau resesi global, dimana kemampuan finansial wajib pajak rentan terdampak. Terakhir, sanksi yang proporsional ini diharapkan dapat mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak dengan mengurangi persepsi ketidakadilan, sekaligus menguatkan kesadaran masyarakat bahwa membayar pajak merupakan kewajiban konstitusional yang berperan vital dalam pembangunan nasional. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya responsif terhadap dinamika ekonomi, tetapi juga berorientasi pada penciptaan sistem pajak yang inklusif dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT

Studi Kasus: Dampak pada Pelaku Usaha

Sebagai contoh, PT ABC terlambat membayar PPh Badan sebesar Rp1 miliar pada Oktober 2023. Dengan suku bunga Bank Indonesia sebesar 6%, ditambah dengan uplift factor 5% tarif sanksi menjadi 11% per tahun atau 0,92% per bulan. Jika wajib pajak terlambat membayar selama 3 bulan, sanksinya adalah hasil perkalian dari besaran pokok pajak, bunga menurut tarif menteri keuangan, dan lama keterlambatan pajak (dalam bulan) yakni sebesar Rp 27,6 juta dengan rincian perhitungan sebagai berikut :
Rp1 miliar x 0,92% x 3 = Rp27,6 juta.
Sementara itu, ketika suku bunga Bank Indonesia naik menjadi 7% yang menyebabkan tarif menteri keuangan bulan tersebut menjadi 1% besar sanksi pajak yang harus dibayarkan adalah sebagai berikut :
ADVERTISEMENT
Rp 1 miliar x 1% x 3 = Rp 30 juta
Jika dibandingkan dengan aturan lama yang mengatur besaran bunga sebesar 2%, sanksi pajaknya adalah sebagai berikut :
Rp1 miliar x 2% x 3 = 60 juta

Tantangan ke Depan

Meski progresif, ada beberapa tantangan yang menyebabkan kebijakan ini perlu didukung oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1. Sosialisasi Intensif

Dengan perubahan regulasi tarif mengikuti tarif menteri keuangan tentu banyak wajib pajak yang masih belum memahami cara menghitung sanksi terbaru. Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan wajib menggencarkan edukasi melalui berbagai platform media sosial yang banyak digunakan oleh masyarakat dan mitra strategis seperti KPP Pratama.

2. Transparansi Penetapan Tarif

Tarif baru yang ditetapkan oleh pemerintah haruslah dipastikan bahwa tarif tersebut tidak diskriminatif dan berbasis data makroekonomi yang akurat mencerminkan kondisi riil yang terjadi di masyarakat.
ADVERTISEMENT

3. Pengawasan terhadap Penyalahgunaan

Fleksibilitas tarif berpotensi dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk mengulur waktu pembayaran pajak jika wajib pajak mengestimasi penurunan BI Rate.

Kesimpulan

Pemerintah terus berkomitmen untuk menciptakan sistem perpajakan yang dinamis dan berkeadilan. Langkah konkret yang diambil tercermin dalam perubahan kebijakan sanksi administratif pajak dari tarif flat 2% menjadi tarif menyesuaikan kebijakan Menteri Keuangan. Namun, perlu diingat bahwa suatu hal yang baik tentu tetap memiliki sisi kurang menguntungkan yang perlu ditangani dengan baik. Sama halnya dengan kebijakan sanksi administratif terbaru ini yang meskipun menghadirkan kompleksitas baru, langkah ini sejalan dengan prinsip tax justice dan responsivitas kebijakan fiskal. Perlu adanya kolaborasi antara otoritas pajak, wajib pajak, dan penyedia layanan finansial agar implementasi kebijakan ini berhasil membangun ekosistem kepatuhan perpajakan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT