Konten dari Pengguna

Perang Dagang AS-Cina: Saatnya Melihat Tarif Sebagai Hak, Bukan Ancaman

Graciella Betania Awondatu
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Kristen Indonesia
14 April 2025 15:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
106
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Graciella Betania Awondatu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Canva
zoom-in-whitePerbesar
Canva
ADVERTISEMENT
Perang dagang ini dimulai pada Januari 2018 ketika Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif pada produk-produk Cina, termasuk panel surya dan mesin cuci. Pada Maret 2018, tarif tambahan dikenakan pada impor baja dan aluminium. Cina merespons dengan mengenakan tarif pada 128 produk asal AS, termasuk mesin pertanian dan mobil. Dari tahun 2018 hingga 2019, kedua negara saling mengenakan tarif yang sema
ADVERTISEMENT
kin tinggi, dengan total defisit perdagangan AS dengan Cina mencapai sekitar $419 miliar pada tahun 2018. Trump berargumen bahwa defisit ini disebabkan oleh praktik perdagangan yang tidak adil dari pihak Cina. Sejak awal tahun 2025, ketegangan kembali meningkat. Pada April 2025, Trump mengumumkan kenaikan tarif impor terhadap produk-produk Cina hingga 125%, menambah tarif sebelumnya yang sudah ada. Sebagai respons, Cina juga menaikkan tarifnya menjadi 84% untuk produk-produk asal AS. Situasi ini menciptakan siklus balas-membalas yang terus berlanjut. Misalnya, setelah Trump menaikkan tarif menjadi 125%, Cina mengancam akan meningkatkan tarif mereka lebih jauh jika tindakan tersebut tidak dihentikan.
Perang dagang ini telah memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi global. Para analis memprediksi bahwa tarif terbaru dapat menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) Cina sebesar 2,4%. Selain itu, ketegangan ini juga mempengaruhi hubungan dagang dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang menjadi mitra dagang penting bagi kedua negara, ketegangan ini memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, karena kedua negara berkontribusi sekitar 43% terhadap ekonomi global. Pengenaan tarif impor menyebabkan kenaikan harga barang yang berdampak pada inflasi global, sementara gangguan pada rantai pasokan menghambat produksi dan meningkatkan biaya di berbagai industri, termasuk di Asia Tenggara. Ketidakpastian yang dihasilkan dari konflik ini juga menurunkan investasi asing langsung (FDI), menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi di banyak negara. Selain itu, perang dagang memicu perubahan aliansi perdagangan, dengan beberapa negara berusaha menarik investasi dari perusahaan yang mengalihkan produksi mereka dari Cina ke lokasi lain seperti Vietnam atau Meksiko. Ketegangan geopolitik semakin meningkat akibat kebijakan proteksionis dan pembatasan akses terhadap teknologi kritis seperti mikrocip dan kecerdasan buatan, menciptakan risiko keamanan ekonomi global. Konflik ini menunjukkan bagaimana ketegangan perdagangan antara dua kekuatan besar dapat memengaruhi stabilitas ekonomi dunia secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina dimulai pada tahun 2018 di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, yang menerapkan tarif tinggi pada barang-barang impor dari Cina sebagai respons terhadap defisit perdagangan yang terus-menerus. Pada 22 Januari 2018, Trump mengenakan tarif 30% pada panel surya dan 20% pada mesin cuci, diikuti oleh tarif 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium pada Maret 2018. Sebagai balasan, Cina memberlakukan tarif 25% pada produk daging babi dan skrap aluminium serta tarif 15% pada 120 komoditas asal AS, termasuk almond dan apel. Ketegangan semakin meningkat ketika AS mengumumkan daftar barang senilai $50 miliar dari Cina yang akan dikenakan tarif tambahan, diikuti oleh pengenaan tarif terhadap barang-barang Cina senilai $200 miliar. Cina merespons dengan mengenakan tarif pada barang-barang AS senilai $60 miliar. Meskipun ada upaya untuk mencapai kesepakatan, seperti pertemuan di Beijing dan tawaran Cina untuk meningkatkan pembelian produk dari AS, ketidakpuasan Trump menyebabkan tarif terus meningkat. Pada Januari 2020, kedua negara akhirnya menandatangani kesepakatan perdagangan fase satu, di mana Cina setuju untuk membeli lebih banyak barang dari AS dan mengatasi masalah terkait kekayaan intelektual. Namun, ketegangan tetap berlanjut hingga saat ini, dengan tarif yang mencapai hingga 145% dari AS dan 125% dari Cina terhadap produk masing-masing.
ADVERTISEMENT
Cina berargumen bahwa langkah-langkah tarif yang mereka ambil adalah bentuk perlindungan ekonomi nasional dan tindakan balasan yang sah terhadap kebijakan agresif AS yang merugikan. Kebijakan tarif AS dianggap sebagai upaya untuk melemahkan ekonomi Cina dan menghambat pertumbuhan industri teknologi tinggi mereka. Meskipun ada dampak negatif seperti peningkatan harga barang dan ketidakpastian ekonomi, tindakan balasan ini diperlukan untuk menunjukkan bahwa Cina tidak akan tunduk pada tekanan eksternal. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa perang dagang ini dapat merugikan kedua negara, tetapi tindakan balasan Cina diperlukan untuk menjaga keseimbangan kekuatan dalam perdagangan internasional. Negara-negara sebaiknya mencari solusi diplomatik untuk menghindari eskalasi perang dagang dan mempromosikan perdagangan yang adil dan berkelanjutan. Cina baru-baru ini menaikkan tarif impor sebesar 84% untuk produk AS sebagai balasan atas tarif tinggi yang dikenakan oleh AS, yang berdampak signifikan pada pasar modal global dan konsumsi rumah tangga di Cina.
ADVERTISEMENT