Anecdotal Evidence

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
4 Juni 2021 14:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Logika. Foto: Jeremy Perkins
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Logika. Foto: Jeremy Perkins
ADVERTISEMENT
Ada satu jenis kecacatan logika yang mungkin sering kita jumpai ketika melihat seseorang berargumen: anecdotal evidence. Sederhananya, anecdotal evidence menyandarkan argumentasinya pada bukti-bukti berdasarkan pengalaman pribadi, lalu digeneralisasi. Misal, “merokok itu sebenarnya gak masalah untuk kesehatan kok, soalnya kakek saya perokok berat, sampai sekarang masih sehat tuh (?)”. Atau mungkin, “Covid mah akal-akalan biar bisnis vaksin laku; tuh, tetangga saya setiap hari keluar rumah gak pakai masker sehat-sehat aja”.
ADVERTISEMENT
Sudah terasa familiar? Kenyataannya memang anecdotal evidence ini sangat mudah kita jumpai di mana-mana dalam berbagai kasus. Boleh jadi kita sendiri pernah atau bahkan sering beropini dengan logika anecdotal evidence. Terlihat sederhana namun sejatinya berbahaya karena masyarakat menjadi jauh dari sains. Padahal, tertanamnya sains sebagai jalan hidup masyarakat menjadi syarat utama untuk menjadi bangsa yang maju.
Saya pikir anecdotal evidence dalam kasus pandemi hari ini menjadi contoh relevan yang menarik. Kesulitan untuk menegakkan kepatuhan protokol kesehatan yang dijelaskan secara saintifik justru dimentahkan oleh argumen-argumen anecdotal evidence. Ada sebagian orang yang enggan menggunakan masker dan menjaga jarak karena tidak percaya COVID-19 setelah melihat tetangganya yang sehat-sehat saja padahal tidak pernah menggunakan masker saat keluar rumah. Tidak sedikit pula yang meyakini bahwa rumah sakit selalu “meng-covid-kan” pasien demi mendulang keuntungan, karena mendengar selentingan cerita pengalaman dari saudaranya.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, saya cenderung meyakini bahwa kebobolannya protokol kesehatan justru diakibatkan cara penanganan pemerintah yang enggan bergandengan dengan sains. Kebijakan negara yang tidak merangkul sains memunculkan kebingungan di tengah masyarakat. Alih-alih memproduksi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy), justru yang tampak adalah kebijakan berbasis tren (trending-based policy). Coba lihat, tidak sekali-dua kali pemerintah merevisi kebijakan karena trending di media sosial.
Keengganan pemimpin politik untuk merangkul sains memunculkan kebijakan-kebijakan salah sasaran. Ini bukan hanya terjadi dalam konteks pandemi, melainkan sejak lama negara justru cenderung memihak pada kebijakan populis (elektabilitas) atau melayani kepentingan pihak tertentu. Dari sisi masyarakat, jauhnya negara dari sains berimbas pada jauhnya sains dari masyarakat, yang menjadi lingkungan nyaman bagi tumbuhnya berbagai cacat nalar seperti anecdotal evidence.
ADVERTISEMENT
Dalam sains dikenal istilah observasi. Proses observasi ini biasa dilakukan peneliti sebagai upaya memahami konteks, latar belakang, serta hipotesis (dugaan) dari masalah yang akan dikaji. Sekilas anecdotal evidence mirip dengan observasi, padahal keduanya jelas berbeda. Observasi dilakukan secara terstruktur untuk menemukan permasalahan dan dugaan atas jawabannya. Sedangkan anecdotal evidence tidaklah terstruktur, cenderung spontan, dan didorong oleh emosi.
Orang-orang awam memang tidak familiar dengan prinsip-prinsip sains. Seperti, sejauh mana bukti yang dipaparkan mampu mewakili populasi. Seberapa representatif kakek-kakek di seluruh Indonesia yang tetap sehat meskipun perokok aktif, untuk membuktikan bahwa rokok tidak berbahaya bagi kesehatan? Apakah signifikan secara statistik? Apakah ada pengaruh, atau hanya korelasi? Lalu seberapa kuat pengaruh atau korelasi tersebut?
ADVERTISEMENT
Studi kualitatif melalui teknik seperti wawancara mendalam saja harus dilakukan dengan hati-hati. Agar sampai pada kesimpulan dibutuhkan proses triangulasi atau cross-checking dari berbagai informan, dan masih harus dianalisis lagi lewat teori-teori relevan.
Tentu saja orang awam tidak perlu tahu turunan detail dari kerja sains. Apa yang penting di sini adalah kepercayaan masyarakat terhadap sains. Hasil jerih payah para pakar yang menekuni riset di bidang tertentu semestinya menjadi rujukan masyarakat.
Misalnya, para epidemiolog (ahli wabah) semestinya menjadi rujukan untuk membahas permasalahan pandemi. Orang-orang yang menekuni geopolitik atau hubungan internasional menjadi rujukan untuk memahami konflik Israel-Palestina.
Apa yang lebih berbahaya, sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, adalah cara negara mengambil kebijakan yang tidak melibatkan para pakar karena tidak selaras dengan kepentingan politik. Contoh yang sangat tampak adalah bagaimana kebijakan negara terhadap konflik di Papua.
ADVERTISEMENT
Sangat miris ketika negara justru melakukan pendekatan militeristik alih-alih menurunkan para antropolog untuk memahami persoalan Papua. Riset-riset yang menentang pendekatan militeristik dilakukan oleh ilmuwan sosial tanpa diminta oleh negara, tetapi justru tidak pernah didengar pemerintah.
Anecdotal Evidence di Era Media Baru
Berkembangnya media baru seperti platform media sosial telah memperburuk masalah anecdotal evidence di tengah-tengah masyarakat. Tidak jarang beragam pandangan yang terjebak anecdotal evidence justru viral dan diaminkan banyak orang. Apabila Anda tergabung dalam grup WhatsApp keluarga besar, pasti pernah muncul broadcast tentang suatu fenomena yang dibumbui oleh anecdotal evidence. Ketika tersebar broadcast di media sosial tentang kasus kematian akibat vaksin, serta-merta banyak orang tidak mau bahkan mengecam vaksin.
Perilaku masyarakat yang sering terjebak pada anecdotal evidence ini mirip dengan apa yang disebut dalam ranah psikologi media sebagai selective exposure dan availability bias. Kedua konsep ini berkenaan dengan sikap mental seseorang ketika memproses informasi di media. Selective exposure berarti kecenderungan orang untuk mengkonsumsi informasi yang selaras dengan pandangannya. Seseorang akan merasa terpuaskan jika ia mendapatkan informasi yang sesuai dengan sikapnya, baik itu benar maupun salah.
ADVERTISEMENT
Sedangkan sikap mental yang kedua, yaitu availability bias adalah kecenderungan seseorang untuk mengevaluasi berbagai probabilitas dengan mengandalkan ingatan semata. Dalam istilah logika, sejatinya ini sama dengan anecdotal evidence. Ketika kedua sikap mental ini beririsan, seseorang akan mengambil tindakan berdasarkan egonya, dan diperuncing dengan mengkonsumsi informasi yang sebetulnya sarat dengan anecdotal evidence.
Situasi ini diperuncing dengan kenyataan bahwa informasi menjadi komoditas menjanjikan di era digital. Sikap mental masyarakat menjadi pangsa pasar bagi media jurnalistik (terutama online) untuk memproduksi informasi yang kebenarannya belum diuji. Banyak media-media tersebut mengandalkan informasi viral, judul-judul bombastis, serta konten yang tidak benar hanya untuk mendulang keuntungan melalui klik. Di platform YouTube cara yang sama dilakukan dengan menambahkan umpan berupa thumbnail menarik.
ADVERTISEMENT
Sudahlah terjebak anecdotal evidence, dimanfaatkan pula dengan informasi-informasi tidak bermutu untuk mendulang keuntungan.