Konten dari Pengguna

Antara Raeni dan Maudy Ayunda: Memperbincangkan Privilese

Grady Nagara
Founder of Next Policy
13 Agustus 2021 15:26 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Maudy Ayunda dan Raeni. Sumber: Instagram pribadi Raeni (@raeni_raeni)
zoom-in-whitePerbesar
Maudy Ayunda dan Raeni. Sumber: Instagram pribadi Raeni (@raeni_raeni)
ADVERTISEMENT
Mari kita berandai-andai. Jika Anda diberikan kesempatan untuk dilahirkan kembali di bumi, dan Tuhan menghendaki jiwa Anda untuk memilih rahim ibu mana pun yang ada di dunia, siapa yang akan Anda pilih? Apakah orang kaya, dermawan, dan memiliki kualitas keagamaan yang baik? Atau jangan-jangan Anda tidak ingin tinggal di Indonesia, dan memilih untuk lahir di negara-negara makmur di Skandinavia? Apabila pengandaian ini benar-benar terjadi, mungkin saja di alam roh kita akan saling bertikai memperebutkan calon orang tua yang paling bermutu.
ADVERTISEMENT
Sayangnya angan-angan itu adalah kemustahilan. Kita jelas tidak dapat memilih siapa orang tua kita, dan di mana kita dilahirkan. Itu adalah seperangkat anugerah Tuhan yang tidak bisa diganggu-gugat.
Beberapa waktu lalu, media sosial ramai soal privilese (istilah ini eksis di KBBI). Disadur dari bahasa Belanda, yaitu privilegie, yang kurang-lebih artinya adalah keistimewaan. Karena istimewa, hanya orang-orang tertentu yang dapat memilikinya. Ketika seseorang lahir di keluarga yang kaya, serba ada, rupawan, dan agamawan, itu menjadi privilese bagi orang tersebut karena tidak semua orang punya garis takdir yang sama. Di belahan tempat lain, tidak sedikit orang-orang yang lahir dari keluarga melarat, miskin, dan untuk makan sehari-hari saja sudah susah.
Orang-orang dengan privilese seperti lahir di keluarga kaya, dianggap memiliki peluang untuk meraih kesuksesan di kemudian hari. Anak yang lahir dari keluarga kaya dapat mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah bermutu bahkan kalau bisa bertaraf internasional. Tidak jarang pula mereka diberangkatkan kuliah ke luar negeri oleh orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, anak-anak yang lahir dari keluarga melarat, orang tua mereka akan kesulitan untuk membiayai di sekolah berkualitas. Bahkan sering kita temukan banyak anak putus sekolah karena orang tua mereka tidak lagi sanggup membayar biaya pendidikan atau terpaksa membantu ayah dan ibu untuk bekerja. Tingkat pendidikan yang rendah membuat mereka sulit bersaing di pasar tenaga kerja. Tidak ada kompetensi, itu sama artinya dengan tidak bisa kerja. Pekerjaan yang diambil pun hanyalah berimbal upah murah dan mereka tetap terjebak pada kemelaratan. Situasi pun terjadi berulang manakala anak-anak itu telah melahirkan keturunan baru.
Privilese jelas berperan dalam menentukan nasib seseorang di masa depan. Bahkan hasil studi lembaga riset SMERU tahun 2019 menunjukkan bahwa terdapat efek yang signifikan antara lahir dalam kondisi miskin terhadap nasib mereka di pasar tenaga kerja. Simak apa yang saya kutip dalam konklusi dari artikel hasil riset tersebut:
ADVERTISEMENT
Our instrumental variables estimation shows that a child who lived in a poor family when aged between eight and 17 years old suffers an 87% earnings penalty relative to a child who did not grow up in a poor family
Kutipan tersebut jika diterjemahkan secara singkat menjadi: pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87% lebih rendah dibanding mereka yang tidak lahir dari keluarga miskin. Dengan kata lain, anak yang miskin berpeluang besar untuk kembali jadi miskin. Saat dewasa, mereka akan mereproduksi kemiskinan kembali. Hanya beberapa kasus sebagai pengecualian, seperti apa yang dialami Raeni, seorang anak tukang becak asal kabupaten Kendal yang mengenyam pendidikan di Unnes hingga melanjutkan studi doktoral di kampus Birmingham di Inggris.
ADVERTISEMENT
Nama Raeni menjadi viral 2014 silam bukan karena ia adalah wisudawati terbaik di kampusnya, melainkan karena ayahnya mengantarkan Raeni dengan menggunakan becak ke tempat wisuda. Banyak orang terharu melihat anak tukang becak yang hidupnya sederhana dapat menjadi sosok gemilang. Raeni kembali mendapatkan pujian setelah media memberitakan bahwa ia tengah menempuh studi S3 di luar negeri. Sebuah barang mewah bagi banyak orang.
Kesuksesan hidup yang diraih Raeni jelas bukan karena faktor kekayaan materiil keluarganya. Ia meraihnya karena kerja keras. Silakan Anda simak berbagai wawancara yang dilakukan beberapa media terhadap Raeni, semuanya mengarah kepada kuatnya motivasi, konsistensi, keuletan, dan yang patut digarisbawahi juga adalah kekagumannya pada sosok sang ayah. Bagi Raeni, ayahnya adalah sumber inspirasi yang membuat ia tetap teguh pada pendirian akan pantang menyerah.
ADVERTISEMENT
Dari apa yang dilakukan Raeni, berkenaan dengan tema privilese, kita dapat menyimpulkan dua hal. Pertama, privilese tidaklah selalu mewujud dalam hal-ihwal yang memiliki bentuk (tangible) seperti kekayaan. Privilese ternyata juga dapat termanifestasi dalam hal-ihwal yang tidak memiliki bentuk (intangible). Kedua, privilese tidaklah serta-merta dapat mengantarkan seseorang untuk mendapuk kesuksesan dan menempati kelas sosial atas. Sekalipun sangat penting, privilese ekonomi dapat menjadi tidak berguna ketika ia tidak memanfaatkannya atau tidak mampu mengeksploitasinya. Saya akan menjelaskan kedua postulat tersebut di bawah, dengan membandingkan Raeni dan Maudy Ayunda.
Privilese Bukan Hanya Kekayaan
Sebagai pembelajar sosiologi, saya sangat senang sekali dengan teori yang ditawarkan Pierre Bourdieu – sosiolog cum filsuf berkebangsaan Prancis. Konsepsinya tentang modal, yang saya identikan dengan istilah privilese kendati keduanya tetap memiliki perbedaan, sangatlah relevan untuk menjelaskan kasus di muka. Saya tampilkan dulu apa yang dimaksud dengan modal menurut Bourdieu seperti dikutip oleh Ignatow dan Robinson:
ADVERTISEMENT
capital refers to stocks of internalized ability and aptitude as well as externalized resources which are scarce and socially valued. Like the more traditional form of capital, they can be transformed and productively reinvested
Perhatikan kalimat “stocks of internalized ability and aptitude as well as externalized resources which are scarce and socially valued (Kemampuan dan sumber daya yang langka dan dihargai secara sosial)”. Bourdieu sendiri dalam bukunya Distinction halaman 114 menulis: “…the set of actually usable resources and power (seperangkat sumber daya yang sangat berguna)”.
Merujuk pada Bourdieu, modal berarti seperangkat sumber daya yang berguna, dapat berupa materiil (uang) dan non-materiil (jejaring sosial, budaya, bahkan motivasi personal), untuk kemudian dimanfaatkan oleh seseorang guna bergelut dengan kehidupan. Modal tersebut bersifat langka–dalam arti tidak semua orang memilikinya – dan sangat berharga secara sosial. Saya akan sisihkan kalimat kedua bahwa modal dapat ditransformasikan dan direinvestasikan (transformed and productively reinvested) untuk sub pembahasan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Jelas bahwa apa yang dikatakan Bourdieu, bentuk modal dapat bermacam-macam. Karena tidak semua orang memilikinya dan berharga secara sosial, menurut saya, sangat bisa diidentikan dengan privilese yang sedang kita bahas.
Raeni memang tidak memiliki privilese materiil. Ia bukanlah anak orang kaya. Ayahnya menempati posisi kelas sosial bawah. Tetapi, apa yang membuat Raeni melejit sukses melampaui teman-teman seusianya? Jawabannya adalah privilese non-materiil yang mana, tidak semua orang memilikinya.
Raeni. Sumber: Instagram pribadi Raeni (@raeni_raeni)
Sedari kecil kita sering mendengar bahwa yang namanya kesuksesan, hanya dapat diraih dengan bekerja keras. Kerja keras, sifat yang tidak dimiliki semua orang adalah internalized ability and aptitude (kemampuan dan bakat yang terinternalisasi). Ini adalah modal penting yang mengantarkan Raeni pada rentetan keberhasilan dalam hidupnya: menjadi lulusan terbaik di kampusnya, mendapatkan beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan jenjang pendidikannya di luar negeri, dan tetap ulet semasa perantauannya di negeri orang lain.
ADVERTISEMENT
Jika tidak memiliki privilese materiil, apalagi kalau bukan kerja keras tanpa batas? Mungkin privilese lain yang dimiliki Raeni adalah dukungan penuh dari orang tuanya. Dalam banyak kasus, kemiskinan membuat seorang anak harus putus sekolah. Seringkali pula karena minimnya pengetahuan orang tua, motivasi personal untuk maju menjadi sulit ditanamkan. Pada kasus Raeni, tampak terlihat bagaimana orang tuanya bekerja keras menyekolahkan Raeni. Keteladanan sang ayah menjadi inspirasi bagi Raeni untuk tekun dan giat.
Privilese berupa motivasi personal seperti yang dimiliki Raeni, bisa jadi tidak dimiliki oleh anak-anak orang kaya. Misalnya karena merasa lahir dari keluarga berada dan terbiasa hidup nyaman, seseorang menjadi tidak giat. Kendati tidak sampai jatuh miskin, prestasinya tidak mampu mengalahkan orang dari keluarga sederhana seperti Raeni.
ADVERTISEMENT
Tetapi, motivasi personal saja tidaklah cukup. Hanya bermodalkan keinginan kuat dan kerja keras tidak serta-merta membuat orang meraih kesuksesan. Di sini bisa jadi privilese kekayaan bermain. Namun bagi Raeni yang tidak berangkat dari kekayaan, adalah kemampuannya untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Misalnya, kuliah sarjana Raeni dibantu dengan Bidik Misi. Kemudian ia dengan cermat memanfaatkan kesempatan beasiswa pemerintah untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri seperti yang ia cita-citakan. Kemampuan untuk memanfaatkan peluang ini juga menjadi privilese yang dimiliki Raeni.
Kini Raeni memiliki banyak privilese baru. Kuliah di kampus luar negeri dan menjadi sosok inspiratif bagi banyak orang. Prestasinya juga telah mengangkat martabat keluarganya di masyarakat. Cerita kesuksesan Raeni pada akhirnya menunjukkan bahwa privilese dapat dikonversikan menjadi privilese lain yang lebih besar. Seperti kutipan Bourdieu dari Ignatow dan Robinson di atas: “…they can be transformed and productively reinvested”.
ADVERTISEMENT
Mengubah Privilese menjadi Privilese Baru
Sekarang kita beralih ke Maudy Ayunda. Baru-baru ini ia lulus dari Universitas Stanford. Rasanya belum lama kita mentertawakan diri sendiri saat Maudy menggalaukan pilihannya antara Harvard atau Stanford.
Berbeda dengan Raeni, Maudy jelas lahir dari keluarga kaya. Privilese ekonomi yang dimilikinya membuat ia memiliki serentetan privilese lainnya yang memukau. Kariernya di dunia tarik suara dan perfilman sebelum melanjutkan kuliah tidak dapat diragukan. Meskipun privilese ekonomi sangat menentukan posisi Maudy saat ini, tetapi ia mampu mengonversikannya untuk memperoleh privilese lainnya, yaitu pendidikan tinggi.
Mari kita lihat bagaimana Maudy memanfaatkan privilese ekonomi berdasarkan pengakuannya di media. Ada dua hal yang menurut saya menentukan: keluar dari zona nyaman dan punya gaya hidup sederhana.
ADVERTISEMENT
Keputusan Maudy untuk melepaskan sementara karier dan memilih kuliah adalah internalized ability dan aptitude yang sangat berharga secara sosial. Sejauh ini dapat dihitung aktor maupun aktris yang mengambil jalan seperti Maudy: keluar dari zona nyaman. Hal lain yang juga tidak banyak dimiliki orang kaya lainnya adalah tidak bergantung pada status orang tua. Alias tidak manja seperti pengakuan Maudy.
Maudy Ayunda. Sumber: Instagram pribadi Maudy Ayunda (@maudyayunda)
Jangan dibayangkan tidak manjanya Maudy seperti para buruh dan kaum miskin kota yang bergelut dengan pahitnya hidup sehari-hari. Maudy jelas tidak mengikuti jejak Siddartha Gautama yang meninggalkan kehidupan megah istana dan memilih jalan pengasingan kemudian bertapa. Setidak manjanya Maudy, ia tetap hidup enak karena statusnya sebagai orang kaya. Tetapi untuk ukuran orang-orang selevel Maudy, bolehlah kita katakan Maudy bukan anak yang manja. Intinya Maudy juga kerja keras untuk bisa meraih status masternya di kampus Stanford.
ADVERTISEMENT
Tentu kerja kerasnya Maudy tidak akan sekeras Raeni. Kita masih bisa saksikan bahwa dibanding privilese non-materiil, privilese kekayaan masih signifikan menentukan nasib seseorang di masa depan. Seberapa kerasnya orang miskin bekerja, sebagaimana hasil riset SMERU yang saya kutip di muka, tetap saja berpotensi besar untuk terjerat kemiskinan. Orang seperti Raeni memang menjadi pengecualian.
Raeni atau Maudy: Pilih Mana?
Sebetulnya terlalu serampangan dan simplifikasi saya memakai kerangka Bourdieu untuk mengulas fenomena privilese dengan kasus Raeni dan Maudy. Kendati demikian, kerangka itu memudahkan kita untuk memahami bahwa privilese bukan hanya ekonomi dan kekayaan. Bahwa motivasi personal, kerja keras, giat, dan ulet juga menjadi privilese. Hal-ihwal itu menjadi privilese karena berharga dan tidak semua orang memilikinya. Kerangka Bourdieu juga membuat kita paham bahwa privilese dapat dikonversi menjadi privilese lainnya yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Saya membandingkan Raeni dan Maudy semata-mata karena mereka menempuh jalan ninja yang sama: meraih status pendidikan setinggi-tingginya. Dalam kasus ini, privilese berupa motivasi personal dan kemampuannya untuk mengonversikan privilese tersebut jelas jauh lebih bekerja bagi Raeni.
Kalau disuruh memilih inspirasi antara Raeni dan Maudy, saya memilih Raeni. Tetapi, buat orang-orang kaya, saya kira memilih Maudy untuk diambil inspirasinya lebih cocok.