Arti Penting 'Kota Layak Anak' bagi Depok

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
20 Agustus 2019 10:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak-anak di Kota Depok. (depok.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak di Kota Depok. (depok.go.id)
ADVERTISEMENT
Tahun ini, untuk ketiga kalinya, Depok meraih penghargaan Kota Layak Anak (KLA) kategori nindya secara berturut-turut. Kalau dibandingkan dengan kota/kabupaten lain di Jawa Barat, bisa dibilang pencapaian Depok lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Kota Depok selangkah lebih depan dibanding kota besar seperti Bandung dalam hal KLA. Meski belum mencapai predikat KLA utama, pencapaian Depok ini jelas memiliki arti yang sangat penting, alih-alih hanya sekadar prestasi di atas kertas.
Arti penting itu dapat dipahami jika kita mengetahui konteks sosio-historis yang membentuk Kota Depok. Sebab, konteks ini akan memiliki implikasi pada pelbagai masalah sosial, termasuk dalam hal ini adalah masalah anak dan keluarga.
Sebagaimana diketahui, Kota Depok pada mulanya adalah bagian dari Kabupaten Bogor. Transformasi Depok menjadi kota tersendiri sangat dipengaruhi arus urbanisasi besar-besaran di akhir dekade pemerintahan Suharto. Terutama di Jakarta, aktivitas ekonomi dan bisnis meningkat pesat.
Pertumbuhan kota Jakarta tidak pelak menghabiskan lahan yang membuat ruang perkotaan semakin sempit. Dengan demikian, dibutuhkan kota-kota penyangga yang dapat menampung pertumbuhan populasi kota, yang dalam hal ini salah satunya adalah Depok.
ADVERTISEMENT
Menjadi kota penyangga sama saja harus turut menampung beban Jakarta. Bersamaan dengan ledakan populasi Jakarta, yang diikuti dengan kesenjangan dan kemiskinan, kota penyangga seperti Depok mau tidak mau harus ikut menampung beban kesenjangan dan kemiskinan itu.
Masalahnya, Depok tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menampung beban tersebut. Salah satu yang paling terlihat adalah ketidakmampuan dalam penyerapan tenaga kerja. Meski secara statistik jumlah pengangguran berkurang tiap tahun, namun angkanya masih cukup mengkhawatirkan. Dari 790 ribu tenaga kerja produktif, hanya terserap 7.000 hingga 8.000 per tahunnya. Fakta ini jelas akan berimplikasi negatif pada unit yang paling kecil, yaitu keluarga.
Daya serap ekonomi yang tidak mampu menampung beban telah berdampak pada kehidupan keluarga yang semakin rentan. Dalam situasi yang rentan tersebut, jelas saja, anak adalah salah satu korbannya. Rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga menyebabkan masalah yang dihadapi anak semakin kompleks.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok tahun 2018, ditemukan 25 dari 100 anak usia 7-24 tahun sudah tidak bersekolah lagi. Dari 40 persen status ekonomi terbawah, partisipasi anak dalam sekolah sebesar 69,98 persen. Ironisnya, hal ini juga berpengaruh pada eksploitasi anak dengan menjadikan mereka anak-anak jalanan. Entah mereka dijadikan sebagai pengemis, pemulung, atau pengamen.
Oleh sebab itu, klaim Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang mengatakan tingkat kejahatan anak di Depok cukup tinggi tidaklah mengherankan. Karena masalah ini adalah implikasi panjang dari rantai beban sejarah dan sosial yang harus ditanggung Kota Depok.
Dengan kompleksitas beban sosio-historis tersebut, tidak mudah bagi Depok untuk mewujudkan kota layak anak. Ketika Depok mampu mencapai predikat nindya dalam KLA, artinya ada kemajuan yang berarti dalam mengentaskan masalah anak. Beratnya beban sejarah dan sosial, serta kemajuan dalam hal KLA, tentu saja tidak menjadikan masalah anak di Depok akan hilang begitu saja.
ADVERTISEMENT
Usaha Depok Menuju KLA
Konsep KLA dapat kita temui dalam beberapa Peraturan Menteri (Permen) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sebagaimana disebut dalam Permen Nomor 11 Tahun 2011, definisi KLA adalah: Kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak.
Dari definisi di atas, ada dua konsep kunci yang dapat ditarik dalam KLA. Pertama, adalah pemenuhan atas hak-hak anak. Hak anak yang dimaksud tercantum dalam Permen Nomor 12 Tahun 2011 yang memiliki indikator antara lain; hak sipil-kebebasan, lingkungan keluarga, kesehatan dasar, pendidikan, dan perlindungan khusus. Kedua, adalah aspek kelembagaan yang di dalamnya integrasi komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Aspek kelembagaan ini yang nantinya menjadi basis utama untuk memenuhi hak-hak anak.
ADVERTISEMENT
Adanya konsep penguatan kelembagaan ini berangkat dari asumsi bahwa sebuah keluarga tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Artinya, negara harus mengintervensi langsung, dengan tidak hanya membuat seperangkat aturan hukum, juga dengan meningkatkan partisipasi masyarakat secara kolaboratif. Untuk itulah komitmen ini juga harus hadir di dalam masyarakat.
Lalu Apa yang Sudah Dilakukan Kota Depok?
Paling pertama, Kota Depok telah merancang aturan tentang KLA ini melalui Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok Nomor 15 Tahun 2013. Dibanding kota penyangga Jakarta lainnya, perda tentang KLA Depok termasuk yang lebih dulu dibentuk. Kota Bogor sebagai tetangga terdekat, baru memiliki perda terkait KLA tahun 2017. Di Kota Tangerang baru tahun 2015, begitu pun di Kota Bekasi baru di tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Bahkan di Jakarta sendiri, meski deklarasi menuju kota layak anak sudah dilakukan pada 2013 silam, rencana induk (masterplan) ambisiusnya baru muncul di tahun 2018. Masterplan yang merupakan rencana 2018-2022 ini menjadi dokumen yang lebih lengkap dan rinci dibanding dari rencana sebelumnya yang masih tergabung dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Kalau kita mencermati Perda Kota Depok Nomor15 Tahun 2013 Pasal 7 dan 8, ada dua ruang lingkup penyelenggaraan KLA. Ruang lingkup yang pertama adalah kondisi fisik yang mencakup sarana dan prasarana pendukung bagi tumbuh kembang anak (Pasal 7). Sedangkan yang kedua adalah nonfisik yang meliputi budaya, etika, sikap, dan perilaku masyarakat yang mampu memberikan rasa senang, nyaman, dan gembira bagi anak (Pasal 8).
ADVERTISEMENT
Dari aspek fisik, beberapa infrastruktur Kota Depok telah didesain untuk menunjang eksistensi anak. Sejak 2018, Kota Depok sudah memiliki 14 puskesmas ramah anak dalam rangka mendukung pemenuhan hak kesehatan anak. Beberapa prasarana puskesmas yang dibuat antara lain: Informasi edukasi kesehatan anak, ruang pelayanan konseling khusus bagi anak, ruang laktasi, serta ruang tunggu, dan bermain anak yang aman dan nyaman.
Dari sisi pendidikan, Depok sudah memiliki 423 Sekolah Ramah Anak (SRA) dan akan ditingkatkan menjadi 500 di tahun 2020. Dengan predikat KLA nindya, artinya Depok sudah memiliki SRA lebih dari 50 persen.
Kemudian dari aspek nonfisik, program utama yang dilakukan adalah pendampingan untuk memenuhi hak anak dengan membangun lingkungan yang kondusif pada skala mikro, yaitu rukun warga (RW). Sejak akhir 2018, Depok sudah memiliki 284 RW ramah anak dan ada 125 RW yang berada dalam pendampingan di bawah program ketahanan keluarga.
ADVERTISEMENT
Menggiatkan RW ramah anak ini adalah bagian yang paling penting dalam KLA, sebab keluarga dan lingkungan sekitar adalah basis bagi tumbuh kembang anak. Selain itu, ada juga program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang merupakan layanan konseling bagi warga Depok terkait persoalan seputar keluarga.
Dengan gagasan untuk mewujudkan ketahanan keluarga, Depok digadang-gadang menjadi pionir sekaligus kota pertama yang mendeklarasikan diri sebagai kota ramah keluarga. Jika sebuah kota mampu memberdayakan sampai ke tingkat keluarga, pintu gerbang menuju pemenuhan hak-hak anak akan semakin terbuka lebar.
Arti Penting KLA
Dengan segala usaha dan pencapaian Kota Depok menuju KLA utama, paling tidak ada dua arti penting yang dapat kita lihat.
Pertama, pencapaian KLA di bawah beratnya beban sosio-historis Kota Depok menunjukkan eksistensi keberpihakan pemerintah kota terhadap pemenuhan hak-hak warganya. Terlalu naif jika kita sebut bahwa dengan KLA, lalu kejahatan yang melibatkan anak akan hilang serta-merta.
ADVERTISEMENT
Kejahatan anak bukan hanya soal ketidakmampuan keluarga dalam melindungi anak, yang masih bisa ditekan melalui rangkaian program pembangunan manusia yang partisipatif. Melainkan juga akibat kegagalan negara di masa lalu dalam melaksanakan kebijakan pembangunan, namun telah merapuhkan fondasi sosial masyarakat paling dasar. Butuh waktu yang sangat lama untuk memulihkannya, dan itu berarti butuh puluhan tahun untuk menihilkan kejahatan anak di kawasan perkotaan seperti Depok.
Kedua, ibarat sebuah perlombaan, masing-masing kota ditantang untuk mewujudkan KLA. Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, meski belum mencapai predikat utama, Kota Depok mampu menyaingi kota dan kabupaten yang lain. Di antara kota dan kabupaten di Jawa Barat, Depok meraih nilai KLA yang paling tinggi. Artinya, inovasi Kota Depok dan rangkaian kebijakan yang dilakukan guna mewujudkan KLA memiliki hasil yang memuaskan.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, ini bukan soal kebanggaan bagi Depok, terutama pemerintah kotanya. Melainkan ini adalah sinyal positif bahwa masyarakat Depok secara perlahan bisa menjadi bagian dari warga kota secara layak. Karena kehidupan kota yang layak, terutama bagi anak-anak, adalah hak-hak dasar agar mereka berkembang dan menjadi manusia-manusia yang unggul di masa depan.
Meskipun lagi-lagi perwujudan hak-hak warga yang paripurna, terutama bagi anak, adalah perkara panjang yang tidak bisa dicapai hanya melalui program 'sekali pukul'. Ada aspek sistematis yang harus dibenahi secara bertahap dengan mengerahkan segala potensi sumber daya yang ada.
Oleh sebab itu, mari kita tunggu pembuktian pemerintah Kota Depok dalam mewujudkannya.
*Grady Nagara
Manajer Program NEXT Policy