Darurat Rasa Ingin Bunuh Diri

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
16 Juni 2020 10:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi depresi Foto: Hailey Kean
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi depresi Foto: Hailey Kean
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Paling tidak sejak 2000 hingga 2015 yang lalu, rasio kematian akibat bunuh diri (suicide mortality rate) per 100.000 penduduk di Indonesia cenderung menurun. Bank Dunia melaporkan rasionya menurun sejak 2000 sebesar 3,9, kemudian menjadi 3,8 pada 2005, lalu 3,6 pada 2010 dan terakhir dilaporkan 3,4 pada 2016. Rasio laki-laki selalu jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sedangkan dari segi usia, rasio lansia di atas 70 tahun jauh lebih tinggi dibanding pada usia-usia di bawahnya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya data di atas tidak tersedia lengkap secara tahunan -- atau mungkin saya yang luput --, sehingga kita tidak dapat melihat tren kasus bunuh diri secara lebih rinci. Data terakhir yang tercatat yaitu tahun 2016 dengan rasio yang tidak berubah dari satu tahun sebelumnya yaitu 3,4. Sejauh ini kita tidak mengetahui data suicide mortality rate pasca 2016 tersebut. Apakah mengalami peningkatan, atau justru semakin menurun?
Untuk mengisi kekosongan data sekaligus membuat prediksi, saya melakukan riset berdasarkan perilaku banyak orang ketika berselancar di internet. Saya meyakini bahwa jagat internet, terutama mesin pencari Google, adalah tempat yang paling lazim pertama kali dijajaki banyak orang untuk mencari tahu informasi termasuk kondisi kesehatan yang sedang mereka alami.
ADVERTISEMENT
Dari hasil amatan, saya menemukan fakta yang mengejutkan sekaligus mengerikan. Dugaan saya bahwa kondisi kesehatan mental orang Indonesia semakin tidak baik ternyata benar. Tren pencarian kata kunci yang berkaitan dengan kesehatan mental mengalami peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir. Dengan bantuan platform Google Trends, saya mengamati tren pencarian kata kunci seperti “depresi”, “cemas”, “gelisah”, “bunuh diri”, bahkan termasuk kata kunci yang spesifik yaitu “cara bunuh diri”.
Grafik di bawah ini adalah bukti yang mengerikan itu:
Rata-rata skor relatif tahunan sejak Januari 2010 hingga Mei 2020 untuk tren pencarian kata kunci “depresi”, “cemas”, “gelisah”, “bunuh diri”, dan “cara bunuh diri”. Google memberikan skor relatif (bukan angka mutlak) dari angka 100 (paling populer) hingga angka 0 bergantung pada kurun waktu yang ingin diamati (Sumber: Google Trends).
Pada dasarnya data pencarian yang ditampilkan Google Trends tidak dapat diinterpretasi tunggal begitu saja. Belum tentu pencarian seperti “depresi” menunjukkan bahwa orang yang mencarinya benar-benar sedang mengalami gejala mirip depresi. But, thanks to Google! Platform Google Trends menyediakan filtering sehingga grafik yang saya tampilkan di atas adalah kata kunci yang relevan dengan isu kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Pada pembuktian lebih lanjut, saya melakukan analisis statistik untuk melihat apakah ada asosiasi di antara kata kunci tersebut. Apakah peningkatan tren untuk masing-masing kata kunci hanyalah kebetulan semata dan tidak saling terkait? Atau justru setiap kata kunci tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain?
Ternyata hasil uji korelasi menunjukkan bahwa kata kunci “depresi”, “cemas”, “gelisah”, dan “bunuh diri” memiliki asosiasi satu sama lain, kecuali antara “gelisah” dan “bunuh diri”. Tingkat korelasinya memang moderat dan tidak terlalu kuat (koefisien di kisaran 0,33 hingga 0,48). Namun, untuk data acak seperti kata kunci pencarian Google sudah cukup membuktikan bahwa adanya asosiasi tersebut bukanlah suatu kebetulan belaka.
Dengan kata lain, ada kemungkinan yang cukup kuat bahwa orang-orang yang mencari kata kunci “bunuh diri” di Google, juga mencari kata kunci yang terkait seperti “depresi” dan “cemas”. Bukankah kasus bunuh diri sangat berkaitan dengan kondisi kesehatan mental? Hasil serupa juga ditunjukkan pada kata kunci “cara bunuh diri” yang memiliki asosiasi dengan “depresi” dan “cemas”. Sedangkan dengan kata kunci “gelisah” menunjukkan ada asosiasi meskipun cukup lemah.
ADVERTISEMENT
Saya secara sengaja mencari tahu kata kunci “cara bunuh diri” untuk membuktikan bahwa memang benar orang mencari tahu tentang bunuh diri di internet dikarenakan memang orang tersebut memiliki rasa ingin bunuh diri. Sebab pencarian kata kunci yang spesifik kemungkinan besar menunjukkan gejala spesifik yang sedang dialami orang tersebut. Terlebih saya semakin yakin bahwa tren orang mencari tahu cara bunuh diri juga berasosasi dengan gejala mental yang tidak sehat seperti depresi dan cemas.
Alarm Kesehatan Mental Bangsa Indonesia
Diduga ada asosiasi antara kata kunci “depresi”, “cemas”, “bunuh diri” dan “cara bunuh diri” dengan suicide mortality rate di Indonesia. Tren keempat kata kunci tersebut pada 2015 dan 2016 lebih rendah dari 2010 seperti data suicide mortality rate Bank Dunia. Hanya kata kunci “gelisah” yang justru semakin tinggi trennya. Agaknya memang benar bahwa kata kunci “gelisah” tidak terlalu berasosiasi dengan perilaku pencarian internet untuk orang-orang yang mengalami masalah pada kesehatan mentalnya.
ADVERTISEMENT
Hasil riset yang saya lakukan memberikan kesan kuat bahwa situasi kesehatan mental bangsa Indonesia kian memburuk dalam sepuluh tahun terakhir. Saya meyakini bahwa jika dihitung, suicide mortality rate tahun ini dapat jauh melampaui angka dari lima tahun sebelumnya.
Apakah karena pandemi COVID-19? Bisa jadi iya, tapi mungkin bukan menjadi pemicu utama. Sebab, tren pencarian di internet tentang “depresi”, “cemas”, “gelisah”, “bunuh diri”, dan “cara bunuh diri” peningkatannya terjadi secara konsisten dalam sepuluh terakhir ini.
Fakta ini adalah tantangan besar bagi pemangku kebijakan kesehatan di Indonesia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada 2016 lalu, rasio jumlah psikiater terhadap penduduk Indonesia adalah satu banding 323 ribu penduduk. Angka ini bahkan jauh dari jumlah rasio ideal yang direkomendasikan WHO yaitu satu banding 30 ribu penduduk. Penyebarannya juga tidak merata, di mana 70 persen psikiater ada di pulau Jawa, itupun masih terkonsentrasi di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Ini jelas menjadi masalah yang sangat berat. Mengingat tren yang meningkat, laju kematian akibat bunuh diri dikhawatirkan semakin sulit untuk dikendalikan.
Grady Nagara. Peneliti Next Policy