news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Enaknya jadi Kandidat Petahana

Grady Nagara
Founder of Next Policy
11 April 2019 10:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi & Prabowo di KPU. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi & Prabowo di KPU. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
Menjadi kandidat petahana dalam pemilu itu memang menguntungkan. Sumber daya negara bisa menjadi 'fasilitas' yang menyenangkan untuk kepentingan kampanye. Lebih enaknya lagi, hal itu bisa dilakukan tanpa melanggar aturan hukum manapun selama berada dalam wilayah penyelenggaraan pemerintahan dan tidak ada penyelewengan di dalamnya. Walaupun masalahnya, perilaku demikian tentu saja sangat berpotensi abuse of power.
ADVERTISEMENT
Contoh praktik abuse of power untuk mempertahankan kekuasaan yang paling nyata adalah apa yang dilakukan Soeharto sepanjang 32 tahun. Melalui jalur A-B-G (ABRI, Birokrasi, dan Golkar), Soeharto secara masif memanfaatkan angkatan bersenjata untuk mempertahankan stabilitas pemerintahan: militer dikeluarkan dari barak, kemudian mereka mengisi jabatan-jabatan politik, dan memukul setiap elemen yang mengganggu kursi kekuasaan Presiden. Birokrasi sentralistis yang cenderung melayani kepentingan penguasa, dan birokrat sebagai regulator utama pembangunan Orde Baru. Serta yang tidak kalah penting adalah peran Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) sebagai kendaraan politik yang memuluskan Soeharto untuk terus-menerus mempertahankan posisinya.
Dalam konteks pemilu, Golkar adalah organisasi sosial politik (orsospol) yang menaungi ABRI dan pegawai negeri. Para pegawai negeri ini disatukan dalam wadah Korps Pegawai Negeri (Korpri) yang dikekang dalam loyalitas tunggal kepada Presiden. Tak ayal, meski pemilu rutin dilakukan, Golkar dan Soeharto terus berkuasa dengan perolehan suara mayoritas. Pemilu di era itu hanya formalitas untuk melegitimasi Soeharto sebagai Presiden.
ADVERTISEMENT
Meski Orde Baru sudah berlalu, kecenderungan dari mereka yang telah memiliki jabatan publik untuk mempertahankan posisinya masih terlihat. Para kandidat dari kalangan petahana yang memiliki akses terhadap birokrasi, anggaran, termasuk kalangan militer, seringkali offside dalam memanfaatkan berbagai akses tersebut.
Salah satu contohnya adalah tren kenaikan dana bantuan sosial (bansos) di tahun-tahun diselenggarakannya pemilu. Pada kasus pemilihan kepala daerah (pilkada), banyak kandidat kepala daerah petahana yang menggunakan pos APBD untuk memberikan bansos kepada kelompok-kelompok masyarakat pendukung kandidat. Pemberian dana tersebut diharapkan dapat meningkatkan loyalitas dan dukungan kepada kandidat petahana.
Pada 2008, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menemukan ada 18 daerah yang sedang melakukan pilkada memiliki anggaran bansos yang lebih besar dari tahun sebelumnya. Anggaran tersebut kemudian turun kembali di tahun-tahun setelah pilkada tidak sedang diselenggarakan.
ADVERTISEMENT
Pada tingkat nasional, tren peningkatan anggaran untuk bansos juga terjadi di tahun-tahun diselenggarakannya pemilu. Tahun 2009, dana bansos yang dianggarkan sebesar Rp 73,81 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 57,74 triliun, dan menurun kembali di tahun setelah pemilu (tahun 2010) yaitu menjadi Rp 68,61 triliun. Kemudian tahun 2014, anggaran bansos sebesar Rp 97,92 triliun meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 92,14 triliun. Peningkatan pada 2014 yang bertepatan dengan pemilu tidak terlalu signifikan. Tampaknya hal dikarenakan tidak ada kandidat dari kalangan petahana.
Namun untuk tahun ini, tahun diselenggarakannya pemilu, anggaran bansos kembali meningkatdengan sangat fantastis menjadi Rp 103,24 triliun, dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 77,26 triliun.
Jokowi Tinjau Penyerahan Dana Bantuan Gempa Lombok di Lombok Timur. (Foto: Dok. Agus Suparto - Presidential Palace)
Pemerintah boleh berdalih bahwa dana tersebut untuk kepentingan pengentasan kemiskinan. Dan seperti yang saya katakan, hal itu sama sekali tidak melanggar aturan. Meskipun tentu saja fakta bahwa anggaran bansos meningkat di tahun pemilu akan membuat kita “bersuudzan” bahwa kandidat petahana ingin menaikkan citra positifnya di mata masyarakat dengan memberikan bantuan langsung yang terasa manfaatnya.
ADVERTISEMENT
Kenaikan anggaran bansos untuk tahun 2019 ini berada di era pemerintahan Jokowi, yang juga menjadi kandidat presiden petahana. Ini bisa jadi satu celah bagi kita untuk menduga bahwa kandidat petahana Jokowi memanfaatkan anggaran tersebut untuk menaikkan elektabilitasnya pada pemilu kali ini.
Selain anggaran bansos yang dinaikkan, beberapa fakta juga menunjukkan bahwa kandidat Presiden Jokowi juga cukup ambisius untuk memenangi lagi kontestasi pilpres tahun ini. Contohnya TNI diminta untuk mensosialisasikan pencapaian pemerintah kepada masyarakat – sesuatu yang berpotensi keluar dari tupoksi militer. Kemudian mendagri juga meminta para ASN untuk tidak “netral” dan turut mensosialisasikan pencapaian kinerja pemerintah. Jadi, kira-kira kalau kita analogikan, baik TNI maupun ASN ditempatkan layaknya humas pemerintah.
Mereka yang memberikan dukungan diberikan perlindungan oleh pemerintah. Sebaliknya, kalau ada yang resek, ya tinggal dipukul saja. Cukup berikan mereka label radikal dan pengganggu NKRI sehingga masyarakat memandang apa yang dilakukan pemerintah adalah benar.
ADVERTISEMENT
Kalau ada yang protes karena menganggap presiden telah memanfaatkan jabatan untuk kampanye, tinggal bilang: "Lho, yang saya lakukan ini untuk kepentingan bangsa dan negara."
Nah, enak kan, jadi kandidat petahana?