Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Fetisisme dan UU Cipta Kerja
19 Oktober 2020 14:09 WIB
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya sedang tidak membahas pria bernama Gilang, yang tempo hari ramai di media sosial akibat fetish terhadap objek kain jarik. Fetish yang saya maksudkan di sini adalah pikiran irasional dan mitos yang diciptakan manusia dalam menilai suatu komoditas. Mari kita sebut selanjutnya sebagai fetisisme komoditas.
ADVERTISEMENT
Anda mungkin mengenal merek semacam Crocodile dan Hush Puppies: brand ternama yang memproduksi macam-macam aksesoris berbahan kulit asli seperti tas dan sepatu. Hampir semua orang tahu bahwa produk aksesoris yang mereka jual terhitung mahal, dan tentu saja hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Fakta menariknya, industri kulit yang menjadi bahan dasar merek terkenal itu berlokasi di kabupaten Garut, tepatnya di kawasan Sukaregang.
Sukaregang memang terkenal sebagai sentra industri kulit. Produk-produk aksesorisnya sangat berkualitas, dan tak heran jika digandeng merek terkenal. Jika telah menyandang brand ternama, harga jualnya di pasar dapat mencapai 10 kali lipat, bahkan mungkin lebih. Lalu sekarang pertanyaannya adalah, mengapa brand terkenal membuat harga barang naik berkali lipat, padahal biaya produksinya sama? Di sinilah diskusi tentang fetisisme komoditas dimulai, yang disebut oleh pencetus istilah tersebut, Karl Marx, bahwa komoditas yang sederhana ternyata penuh dengan keruwetan metafisis.
ADVERTISEMENT
Agaknya memang benar jika komoditas itu penuh dengan keruwetan metafisis, bahkan menjadi sistem kepercayaan tertentu layaknya agama. Crocodile dan Hush Puppies, atau mungkin sebut saja Hermes, Chanel, dan Gucci adalah brand terkenal, sekaligus sangat mahal. Hermes, Chanel, dan Gucci bukan hanya menyandang status nilai-guna sebagai tas, melainkan juga status sosial yang melekat di dalamnya. Anda akan dipandang terhormat sebagai orang kaya jika memakai salah satu dari ketiga merek tersebut di ruang publik.
Pemujaan terhadap brand tersebut membuat komoditas yang diproduksi berpengaruh terhadap nilai. Secara misterius, fetish yang melekat pada komoditas menjadikan harganya melambung tinggi, jauh melampaui biaya produksinya. Bukankah ini aneh dan irasional? Jika dalam seks, fetish disebut sebagai anomali karena menyematkan hasrat pada obyek non-genital, demikian juga fetish terhadap komoditas. Kita menyematkan nilai barang terhadap hal-hal irasional seperti simbol, gaya hidup, dan status sosial di luar kegunaan utama dari barang tersebut.
ADVERTISEMENT
Sekarang mari kita kaitkan fetisisme komoditas dengan problem pekerja, dan menyinggung ihwal UU Cipta Kerja yang banyak ditentang publik.
Fetisisme telah memutar balik, atau menjadi topeng yang menutup realita atas komoditas itu sendiri. Pertama, seperti yang saya contohkan di atas, fetisisme telah memalsukan nilai asli dari komoditas. Kedua, yang menjadi problem, fetisisme komoditas telah mengaburkan -- dalam bahasa rumitnya -- kenyataan relasi-relasi sosial di dalamnya. Kapitalisme telah memunculkan retorika bahwa komoditas itu seolah “mendefinisikan diri sendiri” -- layaknya brand aksesoris mahal yang menentukan posisinya sebagai sesuatu yang bernilai bagi masyarakat.
Dalam kapitalisme, fetisisme komoditas telah menjadi formasi yang mengaburkan banyak kenyataan relasi sosial. Ada fetisisme uang sebagai komoditas bernilai paling tinggi, sehingga kita sama-sama meyakini bahwa setiap keseluruhan aktivitas kerja hanya dibayar melalui upah. Dalam moda produksi, pekerja dinilai berdasarkan fetisisme angka-angka yang kemudian disebut sebagai produktivitas. Lalu, kita merasa terhina ketika Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan tingkat produktivitas yang sangat rendah.
ADVERTISEMENT
Rendahnya produktivitas membuat investor enggan untuk menanamkan modalnya. Dibuatlah Omnibus Law UU Cipta Kerja dengan maksud meningkatkan produktivitas, yang diharapkan nantinya membuat daya saing pekerja Indonesia meningkat. Dengan demikian, Indonesia diyakini akan kebanjiran investasi sebagai syarat membuka lapangan pekerjaan. Sesuai namanya, UU ini dapat menjadi landasan regulasi untuk menghadirkan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Jangan ditanya, tentu saja lapangan kerja yang dimaksud adalah kerja-kerja upahan berlandaskan pada fetisisme akan uang dan kapital.
Saya jadi teringat pernyataan Bank Dunia ihwal UU Cipta Kerja yang dengan bangga dikutip oleh presiden Jokowi: By removing heavy restrictions on investment and signaling that Indonesia is open for business, it can help attract investors, create jobs and help Indonesia fight poverty . Katanya, kesejahteraan rakyat Indonesia dapat meningkat apabila lapangan kerja upahan semakin banyak.
ADVERTISEMENT
Pekerja di Indonesia telah dihantam dengan upah rendah, suatu bentuk kerja abstrak yang tidak banyak menghadirkan kesejahteraan. UU Cipta Kerja telah mendorong fleksibilitas pasar tenaga kerja, sebagai syarat meningkatkan produktivitas, namun membuat kehidupan pekerja semakin rentan dan tidak pasti. Lalu sangat meyakini bahwa Indonesia akan sejahtera apabila banyak warganya yang terserap menjadi pekerja upahan (meskipun dibayar lebih rendah).
Logika kesejahteraan Bank Dunia -- yang sialnya diaminkan dan dibanggakan presiden -- berdasarkan pada fetisisme kapital yang banyak mengaburkan kenyataan sosial masyarakat Indonesia. Jika kita melihat dalam konteks lokal, saya yakin banyak masyarakat yang sejahtera jika mendapatkan kecukupan dari hasil alam sebagai bentuk kerja konkret mereka. Manusia menggunakan sumber daya alam di sekitar mereka untuk kemudian mereka kelola, dan dinikmati oleh masyarakat mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Kenyataannya definisi kesejahteraan pada konteks lokal justru banyak diabaikan oleh negara selama bertahun-tahun: hutan dibabat, pulau dihajar tambang, dan sumber-sumber ekstraktif dikeruk habis-habisan. Negara menggusur lahan-lahan produktif masyarakat dengan dalih membuka lapangan kerja. Padahal, lahan itu dapat dimanfaatkan masyarakat lokal untuk bekerja, dan memanen hasil alam untuk mereka sendiri.
UU Cipta Kerja ini dalam banyak hal jelas berbahaya bagi kesejahteraan warga sesungguhnya. Fetisisme akan uang dan modal membuat kita tertipu bahwa seolah-olah semua orang hanya butuh upah dari aktivitas pekerjaan, padahal tidak melulu demikian.
Grady Nagara. Peneliti Next Policy