Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Imajinasi Politik Permusuhan
29 April 2025 18:29 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Rasanya sulit untuk menolak kenyataan bahwa demokrasi Indonesia kini tengah mengalami erosi yang semakin dalam. Laporan terbaru Varieties of Democracy (V-dem) mengenai situasi demokrasi global hari ini (2025), misalnya, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang demokrasinya terperosok cukup dalam. Bahkan dikatakan mencapai titik terendah setelah melewati dua dekade reformasi politik di abad ke-21 ini.
ADVERTISEMENT
Institusi-institusi utama demokrasi tampak semakin tidak berfungsi. Korupsi dan nepotisme yang dipertontonkan secara nyata, serta ruang partisipasi dalam kebijakan publik semakin sempit. Namun anehnya, erosi demokrasi seakan tidak berdampak apapun di tengah masyarakat. Tingkat kepuasan terhadap pemerintah melampaui 80 persen. Angka ini sangatlah tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang tengah mengalami degradasi demokrasi serupa. Apa gerangan yang sebenarnya terjadi?
Populisme Otokratik
Tulisan Michael Ignatieff (ex-ketua Partai Liberal Kanada) soal “The Politics of Enemies” yang terbit di Journal of Democracy tahun 2022 sangat relevan untuk menjawab keresahan anomali politik kontemporer hari ini. Konsentrasi analisis Ignatieff tidak terletak pada persoalan kelembagaan/institusi yang sering diperbincangkan oleh kebanyakan scholars, melainkan “politik afektif” yang jauh lebih kultural dan emosional. Argumen utamanya adalah: para pemimpin populis yang cenderung otoriter ini membangun identitas politik berdasarkan logika “kita v.s. mereka.” Dalam lanskap ini, musuh (baca: oposisi pemerintah) seakan menjadi pusat gravitasi politik, di mana mereka yang berbeda bukan hanya dikritik, tetapi juga dideligitimasi secara moral.
ADVERTISEMENT
Jelas ini sangatlah berbeda dengan karakteristik demokrasi yang lebih pluralistik: bahwa persaingan dan perbedaan pendapat adalah hal yang harus “dinormalisasi,” dan lawan politik tidaklah otomatis menjadi musuh eksistensial. Pemimpin populis-otokratik menjungkirbalikkan logika demokrasi itu, dengan memosisikan “yang lain” (the others) sebagai ancaman dan musuh pemecah-belah bangsa. Mereka yang tidak setuju terhadap sikap dan kebijakan pemimpin, didelegitimasi sebagai manifestasi dari niat jahat, pengkhianatan, bahkan ancaman eksistensial terhadap negara atau identitas nasional.
Sebagaimana kata Ignatieff sendiri dalam tulisannya: politik permusuhan sangatlah personal, tujuannya adalah untuk mengingkari kedudukan lawan, mempertanyakan patriotismenya, dan menjadikan mereka sebagai musuh alih-alih pesaing.
Tulisan Ignatieff mengingatkan kita pada gagasan lawas Carl Schmitt tentang "The Political" (1932), bahwa esensi politik terletak pada distingsi antara teman dan musuh. Selama berdekade lamanya, proyek demokrasi (liberal) berupaya untuk “menjinakkan” ide Schmitt tersebut, dengan membangun mekanisme representasi dan deliberasi yang menetralkan konflik politik destruktif. Namun, para populis-otokratik membelokkan proyek tersebut: mereka kembali menyalakan logika antagonistik dengan cara yang jauh lebih terampil dan emosional. Mereka menggunakan simbolisme nasionalistik, dengan mengaburkan esensi politik oposisi sebagai mekanisme check and balances dan menggantinya jadi politik permusuhan serta kebencian.
ADVERTISEMENT
Modal Politik Rezim
Politik kontemporer tampaknya mengalami distorsi identitas yang semakin rentan terhadap narasi politik yang menawarkan kejelasan moral dalam bentuk musuh yang jelas. Masih cukup terngiang pidato Presiden Prabowo pada 24 Agustus 2025 (saat itu belum dilantik) yang menyebut bahwa oposisi bukanlah budaya Indonesia: “Jangan mau ikut-ikutan budaya lain, budaya barat itu mungkin suka oposisi, gontok-gontokan, enggak mau kerja sama.”
Imajinasi politik permusuhan begitu kentara dalam nuansa pemerintahan sekarang, yang sebetulnya bentuk modifikasi dan kelanjutan dari imajinasi serupa warisan pemimpin sebelumnya. Apa yang mengerikan dari imajinasi semacam ini adalah hilangnya arena kompetisi ide, yang dikonversi menjadi arena pengorganisasian identitas, rasa aman, dan bahkan legitimasi pemerintahan. Inilah yang menurut saya, menjadi alasan mengapa legitimasi politik pemerintah terhitung sangat tinggi, yang setidaknya terlihat dari hasil survei termutakhir.
ADVERTISEMENT
Konversi menjadi legitimasi politik terlihat dari cara-cara emosional agar mengajak warga negara terus mendukung pemerintah yang saat ini tengah “berjuang” mensejahterakan mereka. Pemimpin populis-otokratik berupaya mendeligitimasi kompetitor dengan tampil seperti pahlawan dan penyelamat. Di Indonesia, survei global semacam Survei Nilai-Nilai Dunia (World Values Survey, WVS) memperlihatkan bagaimana imajinasi tentang pemimpin yang kuat, tegas, dan cenderung militeristik masih cukup digandrungi.
Budaya politik tersebut tidaklah muncul tiba-tiba. Ini adalah desain yang ditinggalkan rezim Orde Baru selama tiga dekade. Proyek reformasi politik dan demokratisasi Indonesia tampaknya belum berhasil (atau bahkan gagal) dalam mengubur jauh warisan tersebut, yang saat ini mendapatkan momentum karena pengaruh kepemimpinan militeristik semakin kental (terlebih pasca revisi UU TNI disahkan). Perpaduan antara budaya politik dan imajinasi politik permusuhan inilah yang membuat legitimasi rezim tidak mudah digoyah, bahkan menjadi faktor pembeda dari negara-negara Barat yang kini tengah mengalami krisis kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Implikasi dari analisis ini sangat dalam: jika politik kontemporer semakin digerakkan oleh narasi permusuhan, maka regenerasi demokrasi tidak bisa hanya dilakukan dengan memperbaiki institusi atau membatasi kekuasaan eksekutif. Yang lebih mendasar adalah membangun kembali "imajinasi politik demokratik": yaitu kemampuan masyarakat untuk menerima perbedaan, mengelola konflik tanpa permusuhan, dan membangun solidaritas tanpa mengandalkan antagonisme.