Konten dari Pengguna

Indonesia dalam Pusaran Krisis Demokrasi Global

Grady Nagara
Founder of Next Policy
30 November 2022 16:09 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang perempuan memegang papan bertuliskan "kami menuntut demokrasi" (Foto oleh Fred Moon/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang perempuan memegang papan bertuliskan "kami menuntut demokrasi" (Foto oleh Fred Moon/Unsplash)
ADVERTISEMENT
Demokrasi tengah menghadapi krisis paling pelik sejak menjadi norma global setidaknya dalam 30 tahun terakhir. Proyek Varieties of Democracy (V-Dem) melalui Democracy Report 2022 menunjukkan bahwa kualitas demokrasi global saat ini menurun hingga mencapai level seperti 1989 silam.
ADVERTISEMENT
Gejala semacam ini melanda terutama kawasan Asia Pasifik, Eropa, Asia Tengah, termasuk Amerika Latin hingga Karibia. Gelombang demokrasi mencapai puncaknya pada 2012 dan mengalami penurunan tajam dalam 10 tahun terakhir. Sebagian kalangan menyebut kemunduran ini sebagai "gelombang otoritarianisme baru".
V-Dem sendiri memiliki lebih dari 450 indikator terkait demokrasi dan menilai sekitar 200 negara dunia. Dari hasil pengukurannya, V-Dem menunjukkan kini (amatan terakhir pada 2021) terdapat 36 persen populasi dunia yang hidup di negara-negara otoriter (autokrasi). Meningkat drastis sejak 2011 yang saat itu hanya sekitar 5 persen.
Ada 35 negara demokrasi yang terancam akibat pemberangusan kebebasan sipil-politik (sipol) dan memburuknya polarisasi politik di 32 negara. Angka-angka itu, sekali lagi, mengalami peningkatan drastis hanya dalam satu dekade.
ADVERTISEMENT
Demokrasi macam apa yang sedang diukur? Ada beberapa model demokrasi yang berkembang dalam banyak studi, namun, paling lazim sebagaimana diukur oleh V-Dem adalah demokrasi liberal. Konsep demokrasi liberal sejatinya cukup sederhana: perpaduan antara demokrasi elektoral (terselenggaranya pemilu berkala secara bebas dan adil) dengan adanya jaminan kebebasan sipil-politik (sipol).
Kendati demikian, pencapaian demokrasi semacam itu mesti dilalui dengan proses berdarah-darah. Banyak negara yang memperjuangkan demokrasi dengan menelan jutaan korban. Namun perayaan demokrasi kini harus ditunda akibat kemunduran yang terjadi dalam waktu relatif singkat.
Maju-mundurnya demokrasi sebetulnya dapat dipetakan lewat spektrum tipe rezim yang secara umum dibagi menjadi empat bentuk. Bentuk pertama adalah autokrasi tertutup ditandai dengan tiadanya pemilu dan kebebasan sipol. Bentuk kedua adalah autokrasi elektoral ditandai dengan keberadaan pemilu namun tidak dilaksanakan secara bebas dan adil.
ADVERTISEMENT
Bentuk ketiga adalah demokrasi elektoral di mana pemilu sudah diselenggarakan bebas dan adil meskipun kebebasan sipol masih terancam. Sementara puncaknya adalah demokrasi liberal di mana pemilu bebas dan adil tersenggara dengan adanya jaminan kebebasan sipol. Apa yang diukur oleh V-Dem salah satunya adalah indeks demokrasi liberal yang ditempatkan pada rentang 0 (autokrasi tertutup) hingga 1 (demokrasi liberal).
Negara-negara Skandinavia menempati top 10 persen nilai indeks demokrasi liberal tertinggi (Swedia meraih skor paling tinggi yaitu 0,88). Sementara Jepang adalah negara Asia dengan nilai indeks tertinggi di kawasannya (skor 0,74).
Apa yang menarik, ternyata Timor Leste (skor 0,49) disusul Indonesia (skor 0,43) justru menempati kondisi demokrasi paling baik di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ini sebetulnya menjadi sisi positif terutama bagi Indonesia yang tengah mempertahankan performa demokrasi dalam 20 tahun terakhir pasca-Orde Baru kendati banyak pengamat justru mengatakan saat ini tengah terjadi regresi cukup serius.
ADVERTISEMENT
Memang saat ini hanya sekitar 15 persen negara-negara dunia yang berada dalam sistem autokrasi tertutup. Hal ini merupakan buah dari gelombang demokratisasi (ketiga) di mana banyak negara-negara yang awalnya autokrasi tertutup pada era Perang Dingin bergerak pesat menuju demokrasi liberal.
Walaupun kemunduran demokrasi tidak sampai pada titik autokrasi tertutup (kasus seperti Thailand adalah pengecualian), cukup banyak negara-negara yang kini tergelincir ke kondisi demokrasi elektoral hingga autokrasi elektoral jika merujuk pada spektrum di atas.
Indonesia sendiri tergelincir pada spektrum demokrasi elektoral oleh karena belakangan terjadi pemberangusan sistematis terhadap kebebasan sipol sebagaimana hasil observasi para pengamat.
Sebab Kemunduran
Mungkin ada yang mengira bahwa pandemi COVID-19 menjadi pendorong (driver) utama terjadinya gelombang autokrasi di berbagai dunia. Padahal dampaknya justru sangat terbatas. Memang benar ada sebagian pemimpin dunia memanfaatkan pandemi untuk mengkonsolidasikan dan memusatkan kekuasaan, namun gejala kemunduran demokrasi telah ada sebelum wabah terjadi.
ADVERTISEMENT
Democracy Report yang dikeluarkan V-Dem lima kali berturut-turut menyorot secara pesimis atas kondisi demokrasi dunia. Pada 2017 disebut bahwa demokrasi (sepertinya) telah memasuki usia senja (democracy at dusk); 2018 mempertanyakan apakah kini demokrasi adalah norma untuk semua (democracy for all); dan 2019 menyebut bahwa demokrasi tengah kesulitan akibat tantangan global (democracy facing global challenges). Memasuki 2020 hingga 2022 laporan tersebut justru menyoroti gejala kebangkitan autokrasi sebagai judul utamanya.
Penelusuran paling tampak sebagai sebab utama kemunduran adalah retaknya kepercayaan (distrust) sebagian besar penduduk (terutama di negara-negara Barat) terhadap praktik demokrasi liberal. Sederhananya, ada ketidakpuasan yang gejalanya semakin serius terhadap para pemimpin mereka yang menjadi representasi politik warga negara sebagai bentuk lazim dari demokrasi liberal. Ketidakpuasan itu membuat jurang besar antara konstituen dengan para pemimpin politik yang sebelumnya terpilih melalui pemilu.
ADVERTISEMENT
Beberapa contoh negara demokrasi dunia menunjukkan gejala demikian berdasarkan hasil survei terkini. Di Amerika Serikat, terjadi kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sejak awal rezim George W. Bush. Distrust yang sama juga terjadi di banyak negara-negara Eropa di mana lebih dari 50 persen publik tidak percaya terhadap pemerintah, partai politik, Uni Eropa, lembaga yudisial, media mainstream, bahkan Bank Sentral Eropa sendiri.
Gejala ini juga dipotret oleh Edelman (2022) melalui Trust Barometer di mana negara-negara Barat yang merupakan pelopor demokrasi liberal justru terjerembab pada krisis kepercayaan akut. Dibandingkan Western countries, negara-negara Asia kendati mengalami tekanan serupa namun tidak sampai jatuh pada jurang distrust. Kepercayaan itu masih relatif terjaga di mana India, Cina, dan Indonesia justru menempati skor kepercayaan terhadap pemerintah yang paling tinggi.
ADVERTISEMENT
Kejengahan yang merebak (terutama di Eropa dan Amerika) itu tidak berarti menyatakan ada ketidakpercayaan serius terhadap demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik saat ini (the only game in town). Apa yang patut disorot di sini justru adalah kepuasan demokratis (democratic satisfaction) di mana publik tidak puas terhadap kinerja (pelaksana) demokrasi.
Kejengahan atas kinerja demokrasi ini termanifestasi dalam bentuk pudarnya kepercayaan sebagian penduduk global terhadap kepemimpinan politik. Sebab-sebab itu antara lain lemahnya kinerja institusi (sektor) publik dalam menciptakan keadilan, menguatnya polarisasi politik yang memanfaatkan media digital, dan melebarnya kesenjangan sosial. Hal penting lainnya adalah ketidakpuasan atas respons kepemimpinan politik terhadap gejala krisis yang jaraknya semakin tidak terprediksi.
Misalnya, resesi dan financial crisis (terutama sejak 2008) menjadi pendulum yang membuat perekonomian dunia kian terperosok. Persoalannya, ada tren di mana event krisis ekonomi itu terjadi dalam jarak dan waktu yang semakin dekat menuju krisis berikutnya. Kepemimpinan politik yang merupakan produk demokrasi liberal dianggap gagal dalam merespons rangkaian krisis terus-menerus. Hal ini membuat distrust meningkat dan meledak menjadi serangan terhadap demokrasi.
ADVERTISEMENT
Serangan populisme yang memanfaatkan distrust tersebut memunculkan narasi-narasi alternatif sebagai “perlawanan” terhadap kegagalan demokrasi liberal. Sebut saja narasi anti-globalisasi yang membuat Inggris hengkang dari Uni Eropa (Brexit); kemenangan Trump di Amerika Serikat pada waktu yang tidak terlalu jauh; serta bangkitnya pemimpin populis di banyak negara.
Narasi anti-kemapanan pada saat bersamaan membuat kelompok ultra-nasionalis mendapat momentumnya. Bahkan xenofobia (sentimen negatif / ketakutan terhadap orang asing) sebagai ekses ultra-nasionalisme ikut menguat pada negara demokrasi mapan seperti Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark (para pemimpin politik di sana beraliansi dengan kelompok xenophobic).
Kinerja Demokrasi Indonesia
Dengan perspektif komparatif, sebetulnya demokrasi Indonesia tampak tidak terlalu buruk. Bahkan dengan forecast tool yang disediakan V-Dem, risiko Indonesia untuk kembali pada autokrasi (elektoral) seperti era Orde Baru peluangnya relatif kecil (kurang lebih peluangnya 5 persen). Demokrasi Indonesia boleh dikatakan sehat terutama jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasannya.
ADVERTISEMENT
Dugaan paling kuat mengapa Indonesia tidak terseret dalam gelombang krisis demokrasi adalah masih tingginya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Berbagai survei skala nasional menunjukkan bahwa mayoritas publik merasa puas dengan kinerja pemerintahan Joko Widodo kendati grafiknya begitu dinamis.
Walaupun indeks persepsi korupsi masih relatif rendah (dipersepsikan masih banyak korupsi), nyatanya hal tersebut hanya berkontribusi kecil atas tingkat ketidakpuasan publik terhadap pemerintah. Satu-satunya faktor penting yang melemahkan kepercayaan (berdasarkan survei) adalah ketidakpuasan atas kenaikan harga-harga barang pokok. Namun, tampaknya hal tersebut masih dapat dikendalikan melalui serangkaian kebijakan ekonomi belakangan ini.
Para pengamat menyebut gejala tergelincirnya demokrasi di Indonesia justru terjadi akibat penggelembungan eksekutif (executive aggrandisement) yang disebut oleh Allen Hicken (2021) “lebih licik” dibanding manipulasi hasil pemilu. Penggelembungan itu sebetulnya terjadi akibat executive takeover di mana kekuatan eksekutif justru melemahkan demokrasi dari dalam.
ADVERTISEMENT
Secara prosedural memang tidak ada yang dilanggar: parlemen dan lembaga yudikatif tetap eksis, pemilu terselenggara rutin, dan konstitusi tetap berdiri tegak. Tindakan mereka bahkan “dapat dibenarkan” karena dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi negara.
Executive takeover yang menyebabkan penggelembungan itu dilakukan melalui pemosisian para loyalis di berbagai sektor publik termasuk kekuasaan kehakiman dan melemahkan kekuasaan legislatif yang mengawasi roda pemerintahan. Dengan demikian tidak terjadi praktik check and balances dan pelemahan terhadap akuntabilitas serta transparansi.
Lewat kekuasaan yang menggelembung, dengan mudah memberangus kebebasan sipol secara perlahan. Para loyalis yang ada di institusi publik membenarkan kebijakan anti-demokratis seolah-olah membela demokrasi. Sementara di bawah, polarisasi tampak dipelihara untuk mengaburkan kritik substantif ke dalam narasi-narasi yang sangat hitam-putih.
ADVERTISEMENT
V-Dem sendiri menempatkan Indonesia ke dalam tipe demokrasi elektoral. Ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia cenderung “tirani mayoritas” di mana ada kelompok-kelompok minoritas yang masih terpinggirkan. Masih ada hambatan terhadap kebebasan sipil, lemahnya penegakan hukum, dan tidak efektifnya check and balances dalam lingkaran kekuasaan.
Kendati ada bayang-bayang akan kerinduan autokrasi Orde Baru, rasanya peluang untuk kembali ke masa itu masih kecil. Nyatanya demokrasi masih menjadi tata politik yang didukung kebanyakan masyarakat. Alih-alih disebut mundur, sebetulnya demokrasi Indonesia kini cenderung stagnan. Masih tetap berada dalam posisi yang sama.