Inklusivitas vs Pertumbuhan: Apa yang Perlu Berubah dari Pembangunan Ke Depan?

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
21 September 2023 17:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Konflik Pulau Rempang. Sumber Foto: Twitter @m_nurfatoni
zoom-in-whitePerbesar
Konflik Pulau Rempang. Sumber Foto: Twitter @m_nurfatoni
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembangunan inklusif menjadi paradigma penting dalam suatu rezim politik negara-bangsa. Paradigma ini termanifestasi pada pemenuhan kebijakan publik yang lebih mengakomodasi beragam kepentingan terutama kelompok sosial yang selama ini rentan dan tidak dilibatkan. Paradigma tersebut dapat terlihat ketika seorang pemimpin mengadministrasikannya dalam agenda pembangunan di bawah lanskap rezim politik: apakah mengedepankan inklusivitas atau justru sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat pada kebijakan pembangunan selama ini, terutama yang dijalankan dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) di bawah rezim Jokowi, justru ada kecenderungan untuk fokus semata pada investasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator keberhasilan pembangunan.
Masalahnya, seringkali hal ini dilakukan dengan mengorbankan kelompok-kelompok sosial yang rentan atau terpinggirkan. Investasi besar-besaran dalam infrastruktur atau industri berdampak langsung pada pergeseran tatanan sosial dan, lebih sering daripada tidak, membawa kerugian bagi masyarakat lokal.
Di bawah rezim Jokowi, PSN dikerjakan dengan kecepatan tinggi, tetapi ironisnya, itu juga meroketkan angka konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sepanjang 2016 sampai 2022, terjadi lebih dari 2000 kasus konflik agraria yang telah berdampak pada lebih dari 1,5 juta orang. Tahun 2022 lalu menjadi periode peningkatan konflik agraria hingga 212 kasus dengan 497 kasus kriminalisasi dialami oleh pejuang hak atas tanah di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Sebut saja kasus-kasus konflik agraria yang telah terjadi dalam lima tahun terakhir adalah pembangunan PSN PLTU Batang, Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, PSN di Desa Wadas, PSN kilang minyak di Air Bangis, hingga kasus yang sedang bergejolak saat ini adalah PSN Rempang Eco-City.
Rempang Eco-City seakan dipasarkan sebagai proyek hijau. Penggunaan kata “Eco” seolah membungkus proyek ini dalam label “berkelanjutan” dan “ramah lingkungan”. Sebaliknya, lahan seluas ribuan hektar berubah fungsi menjadi mesin investasi dan pertumbuhan, sementara masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari lahan tersebut digusur secara paksa.
Tidak lain ini adalah gentrifikasi modern yang paling brutal. Orang-orang bermodal besar dan berkuasa ambil alih, sedangkan yang paling berhak atas tanah dan kekayaan alam ini malah kehilangan segalanya.
ADVERTISEMENT
Efeknya, konflik agraria semakin membara. Masyarakat yang awalnya hidup sejalan dengan alam sekitar, kini terjebak dalam kerusakan yang melanda aspek sosial, ekonomi, dan lingkungannya. Lebih buruk lagi, mereka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Ini bukan hanya kegagalan proyek pembangunan, tapi juga kegagalan monumental dalam strategi pembangunan nasional di bawah rezim Jokowi.
Ironinya, semua ini terjadi sementara Indonesia seharusnya bergerak menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang secara eksplisit menuntut inklusivitas dan partisipasi semua pihak. Singkatnya, kebijakan saat ini nyatanya mengecewakan dan jauh dari memenuhi janji pembangunan inklusif yang sejalan dengan SDGs.
Memasuki kontestasi pemilihan presiden tahun 2024, ini adalah waktu yang tepat untuk merefleksikan dan mempertimbangkan kembali apa arti "pembangunan" dalam konteks Indonesia yang sangat kompleks ini. Jika pemimpin bangsa ini terus mengejar pembangunan fisik tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosial dan lingkungan, kita akan terjebak dalam siklus konflik dan ketidakadilan yang tidak pernah berakhir.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara, pemimpin masa depan harus berprinsip bahwa pembangunan yang sebenarnya adalah pembangunan yang memperhatikan hak-hak dasar warganya—termasuk hak atas tanah, air, dan sumber daya alam lainnya. Kita perlu memastikan bahwa proyek-proyek besar seperti PSN tidak hanya menjadi ajang pencitraan atau investasi yang menguntungkan segelintir orang atau perusahaan, tetapi juga menjadi medium untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Model kepemimpinan yang bisa menjembatani kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan inklusivitas menjadi sangat krusial. Apa yang kita butuhkan bukan hanya pemimpin yang efisien dalam meningkatkan angka-angka ekonomi, tetapi juga pemimpin yang memahami kompleksitas tatanan sosial dan kebutuhan ruang bagi seluruh lapisan masyarakat.
Tujuan Pembangunan berkelanjutan (SDGs) sejatinya memberikan kerangka yang baik untuk ini. SDGs tidak hanya bicara soal pembangunan dalam arti fisik, tetapi juga soal bagaimana pembangunan bisa berdampak pada peningkatan kualitas hidup. Dalam pendekatan sosio-spasial, kita bicara soal bagaimana ruang dan masyarakat saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, peran seorang pemimpin adalah untuk memastikan bahwa ruang dan sumber daya dibagi dan diakses secara adil oleh semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok yang paling rentan sekalipun.
ADVERTISEMENT
Apakah itu berarti kita membutuhkan seorang pemimpin yang 'populis'? Tidak juga. Populisme seringkali mengorbankan kebijakan jangka panjang untuk keuntungan jangka pendek dan kepuasan publik. Terpilihnya presiden Jokowi yang mulanya dianggap lahir dari DNA rakyat justru menjadi pemimpin terdepan yang ‘memukul’ rakyatnya sendiri. Janji pembangunan yang humanis semakin tidak terealisasi, dan justru sebaliknya, rezim Jokowi menjadi manifestasi konkret kepemimpinan yang melancarkan agenda neoliberal.
Kepemimpinan inklusif yang kita butuhkan adalah kepemimpinan yang didasarkan pada data, penelitian, dan dialog lintas sektoral serta partisipatif terutama bagi warga terdampak; yang mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap keputusan dan aksi; serta yang mampu menimbang kebutuhan beragam kelompok dengan keadilan.
Jadi, jika ditanya apa yang diinginkan dari pemimpin masa depan dalam pemilihan presiden 2024, jawabannya sederhana: bangsa ini membutuhkan pemimpin yang tidak hanya fokus pada angka pertumbuhan, tetapi juga pada distribusi dan kualitas pertumbuhan tersebut; dan yang mampu mengubah paradigma pembangunan dari yang eksklusif menjadi inklusif. Hanya dengan kepemimpinan semacam itu, kita bisa berharap Indonesia akan benar-benar maju dan adil, tidak hanya di atas kertas, tetapi juga dalam kenyataan yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT