Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kesalahan Fatal Penambahan Jumlah Kementerian
8 Mei 2024 11:23 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menambah jumlah kementerian menjadi 40 sudah sepatutnya kita gugat. Sekalipun dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan, secara paradoks justru berpotensi melanggengkan masalah struktural yang telah lama mengganggu efisiensi pemerintahan kita.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya di periode pertama pemerintahan Jokowi pada 2014, terdapat upaya signifikan untuk merampingkan birokrasi. Pada saat itu, upaya perampingan ini dilakukan dengan mengkonsolidasikan beberapa lembaga dan kementerian yang tumpang tindih untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi birokrasi yang berlebihan.
Inisiatif ini dianggap sebagai langkah progresif menuju pemerintahan yang lebih efektif dan responsif. Ia berfokus pada pengurangan redundansi fungsional daripada sekadar penambahan struktur baru yang mungkin tidak meningkatkan kinerja pemerintahan secara substansial.
Selain itu, rencana penambahan kementerian ini juga bertentangan dengan Pasal 15 UU Kementerian Negara yang secara eksplisit membatasi jumlah kementerian maksimal 34. Tentu, aturan mungkin saja diubah. Akan tetapi, kita harus melihat bahwa UU ini didesain untuk mendorong reformasi birokrasi melalui efisiensi dan pengurangan redundansi. Jangan sampai wacana Prabowo justru kontradiktif dengan semangat tersebut.
ADVERTISEMENT
Menambah jumlah kementerian tanpa evaluasi mendalam atas efektivitas fungsi yang ada, hanya akan memperburuk kerumitan administratif tanpa secara substansial menyelesaikan masalah fundamental pemerintahan.
Setidaknya ada dua persoalan prioritas yang seharusnya dievaluasi dan diperbaiki oleh pemerintahan baru sebelum berbicara mengenai jumlah kementerian: [1] persoalan diskoneksi perencanaan dan penganggaran, serta [2] persoalan kekacauan koordinasi antarkementerian.
Diskoneksi Perencanaan dan Penganggaran
Pada 2016 silam, presiden Jokowi pernah meminta seluruh menteri di kabinetnya untuk meninggalkan paradigma money follow function (kebutuhan dana mengikuti fungsi) dan menggunakan paradigma money follow program (kebutuhan dana mengikuti program). Jokowi menginginkan paradigma money follow program sebagai pendekatan anggaran yang berfokus pada program yang terkait langsung dengan prioritas nasional.
Sudah lebih delapan tahun sejak pernyataan tersebut diucapkan, sayangnya, penganggaran kita masih terpaku pada fungsi-fungsi kelembagaan dan kementerian yang seringkali tidak match dengan program yang telah direncanakan. Ada diskoneksi antara perencanaan dan penganggaran.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki dua undang-undang yang mengatur ihwal ini: UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) dan UU Keuangan Negara (UU KN). Yang pertama berbasis pada paradigma program (perencanaan), sementara yang kedua fokus pada paradigma fungsi (penganggaran).
Ketidaksinkronan ini mengakibatkan rencana yang ambisius seringkali tidak didukung oleh alokasi anggaran yang memadai. Sebaliknya, dana dapat terbuang sia-sia karena proyek tidak direncanakan dengan matang.
Bappenas sebagai badan yang berwenang melakukan perencanaan tidak memiliki keterlibatan langsung pada proses penganggaran yang sepenuhnya dikendalikan oleh Kementerian Keuangan (bersama Kementerian/Lembaga lain).
Studi Knowledge Initiative Sector (KSI) pada 2018 menunjukkan bahwa Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang dirumuskan Bappenas mengalami deviasi hingga lebih dari 30% ketika memasuki Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) oleh Kementerian/Lembaga, yang sebelumnya telah dirancang pagu sementaranya oleh Kemenkeu.
ADVERTISEMENT
Ambisi yang dirumuskan dalam dokumen perencanaan kerap kali terhambat oleh keterbatasan dana atau ketidakjelasan dalam prioritas penganggaran. Ini bukan hanya soal kekurangan dana, melainkan lebih kepada bagaimana dana tersebut dialokasikan dan digunakan.
Proyek-proyek besar yang direncanakan dengan penuh harapan seringkali terjebak dalam birokrasi penganggaran yang tidak efisien, di mana dana yang telah dialokasikan tidak kunjung terserap dengan baik atau malah digunakan untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan awal.
Solusi untuk paradoks ini memerlukan pendekatan keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran. Salah satu yang krusial, adalah memadukan UU SPPN dan UU KN menjadi satu regulasi yang integratif. Agar tidak terjadi kontradiksi antara perencanaan dan penganggaran yang selama ini bersandar pada dua UU dengan paradigma yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Mengatasi diskoneksi ini menjadi sangat krusial untuk memetakan kebutuhan jumlah kementerian ke depannya. Jangan sampai, penentuan jumlah kementerian ini tidak didasarkan pada evaluasi seberapa efektif dan efisien lembaga-lembaga sudah mengadministrasikan berbagai macam perencanaan dalam kebijakan.
Kekacauan Koordinasi Antarkementerian
Penambahan jumlah kementerian seringkali tidak membuahkan hasil dalam peningkatan kualitas layanan atau efektivitas pemerintahan. Sebaliknya, ini cenderung mengundang kompleksitas koordinasi dan menurunkan kecepatan pengambilan keputusan.
Pada intinya, masalah ini mengarah pada kerumitan dalam koordinasi antarlembaga yang berakibat pada redundansi dan kekacauan dalam penyampaian layanan kepada masyarakat.
Salah satu manifestasi dari kompleksitas ini adalah tumpang tindih data penerima bantuan sosial (bansos). Di Indonesia, beberapa instansi pemerintah seperti Kementerian Sosial, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Badan Pusat Statistik seringkali memiliki data yang berbeda mengenai penerima bantuan.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, terjadi ketidaksesuaian dalam penyaluran bantuan, di mana seringkali bantuan tidak tepat sasaran karena data yang tidak akurat atau terduplikasi. Misalnya, dalam penyaluran bansos pada masa pandemi COVID-19, banyak warga yang seharusnya berhak menerima bantuan, tetapi tidak tercatat dalam data, sedangkan beberapa orang lainnya tercatat di lebih dari satu database.
Tumpang tindih tugas dan fungsi (tupoksi) antarkementerian juga sering terjadi. Contohnya, pengelolaan bencana alam yang di Indonesia melibatkan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan Kementerian Sosial.
Keduanya memiliki peran dalam penanggulangan bencana, tetapi seringkali terjadi ketidakjelasan dalam pembagian tanggung jawab, yang dapat menghambat respons cepat dalam situasi darurat.
Peningkatan jumlah kementerian memang dapat terlihat sebagai upaya untuk memperdalam spesialisasi dan meningkatkan fokus pada isu-isu tertentu. Namun, tanpa koordinasi yang efektif dan integrasi data yang baik, penambahan tersebut hanya akan menambah lapisan birokrasi tanpa meningkatkan kinerja pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pengelolaan bencana, misalnya, respons yang cepat dan efisien lebih diutamakan daripada struktur organisasi yang kompleks.
Solusi yang mungkin untuk mengatasi masalah ini adalah melalui reformasi birokrasi yang tidak hanya menambah jumlah kementerian, tetapi lebih kepada memperkuat kapasitas koordinasi antarkementerian.
Integrasi platform data yang memungkinkan berbagi informasi secara real-time antarinstansi bisa menjadi langkah awal. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi modern dapat membantu dalam pengelolaan data yang lebih akurat dan efisien.
Agenda Tata Kelola Prabowo-Gibran
Saya berharap, para teknokrat yang bekerja di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran telah memahami dan berkomitmen untuk mengentaskan dua persoalan di atas di awal masa pemerintahannya. Karena, dua persoalan fundamental di atas juga berimplikasi pada tata kelola politik ke depan.
ADVERTISEMENT
Diskusi tentang koneksi antara perencanaan dan penganggaran dapat berlanjut pada kemungkinan penganggaran APBN multi-tahun. Mengapa demikian? Karena perencanaan tidak terbatas pada waktu satu tahun, dan jika terintegrasi, penganggaran juga mesti disesuaikan dengan situasi tersebut.
Ini dikarenakan perlu adanya keberlanjutan pendanaan dan kewaspadaan fiskal. Jangan sampai program prioritas justru mandeg akibat ketidakstabilan penganggaran.
Artinya, ruang bagi kepentingan politik untuk “mem-veto” pun semakin sempit. Ini dapat meminimalisasi berbagai program semata-mata populis yang berkaitan dengan agenda politik kelompok tertentu.
Evaluasi terhadap dua persoalan tersebut juga dapat menutup celah bagi-bagi jabatan, karena implikasinya, pembagian kekuasaan mau tidak mau didasarkan pada merit. Dengan koalisi partai dan pendukung Prabowo-Gibran yang sangat gemuk, tentu saja ini menjadi tantangan kepemimpinan mereka.
ADVERTISEMENT
Sekarang pertanyaannya: Apakah perjalanan pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan akan didikte penuh kepentingan politik? Atau dapatkah mereka menjadikan teknokrasi berbasis bukti ilmiah sebagai panglimanya?