Memerangi Ketimpangan Sosial Lewat Penguatan KPK

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
27 Januari 2020 13:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KPK. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Akhirnya kita semua dapat melihat dampak dari revisi UU KPK: Melambatnya agenda pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) urung menggeledah Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) ihwal belum mengantongi izin dari Dewan Pengawas KPK. Agaknya kenyataan ini membuat kita semakin mengelus dada.
Penggeledahan yang semestinya dilakukan sesaat setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) justru dibuat berhari-hari setelahnya. Barang bukti bisa dihilangkan, dan penjahat punya keleluasaan untuk meninggalkan jejak. Jelas sudah bahwa kini KPK berada dalam situasi yang kata banyak orang, “hidup segan, mati tak mau”.
Tidak berhenti sampai di sana. Kasus yang menyeret mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, tidak mampu menyeret petinggi PDIP Hasto Kristianto sekalipun diduga kuat terlibat. Hasto, yang telah diikuti jejaknya hingga Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) oleh para penyidik KPK, justru terkesan “dilindungi”. Pertama, petugas KPK yang terhalang karena ditahan oleh polisi. Kedua, kegagalan KPK dalam menggeledah Kantor DPP PDIP. Ketiga, yang menambah rasa pahit, pimpinan KPK menolak Hasto untuk dijadikan tersangka.
ADVERTISEMENT
Kejadian ini adalah bukti kuat bahwa benar taji KPK dalam memberantas korupsi semakin tumpul. Para politisi korup, terlebih oligarki yang hanya ingin mempertahankan kekayaannya, semakin sulit diringkus. Revisi UU KPK tidak mampu membuktikan dalih normatifnya yang menyebut bahwa agenda pemberantasan korupsi akan berjalan semakin adil dan menjunjung tinggi hak asasi. Sebaliknya, para koruptor justru semakin sewenang-wenang dalam merampok uang negara.
Tentu banyak alasan mengapa pada akhirnya UU KPK harus kembali pada format lama, yang membuat kewenangan KPK lebih powerful. Saya tidak bermaksud membahas aspek institusional yang harus dilakukan dalam rangka memperkuat KPK. Dengan mengambil perspektif yang lebih makro, sekaligus menguatkan premis tersebut, saya ingin menunjukkan bahwa melalui penguatan KPK, itu artinya kita sedang memerangi ketimpangan sosial. Argumen utamanya: Kemiskinan dan kesenjangan sosial terjadi akibat distribusi kekayaan dan kebijakan publik yang tidak adil sebagai ekses dari praktik korupsi.
ADVERTISEMENT
Korupsi, Ketimpangan Sosial, dan Pembajakan Demokrasi
Sudah banyak studi ilmiah yang membuktikan bahwa korupsi memperparah ketimpangan sosial dan kemiskinan. Di antaranya Rose-Ackerman (1978) dan Krueger (1974) yang menyebut bahwa korupsi memperparah ketimpangan pendapatan. Karstedt (2001) di 35 negara Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyebut bahwa negara dengan tingkat ketimpangan yang tinggi cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Senada dengan itu, Laporan Bank Dunia (2000) di negara-negara Eropa Timur dan Asia Timur menemukan korelasi positif antara tingkat korupsi dan ketimpangan: Semakin tinggi korupsi, semakin tinggi pula ketimpangan.
Pemikir ekonomi-politik aliran kritis seperti Vedi Hadiz dan Richard Robison (2013) meyakini bahwa distribusi kekayaan --sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan sosial-- yang seharusnya terjadi dalam sistem demokrasi justru dibajak oleh oligarki. Dalam hal ini, rantai kuasa oligarki telah membuat perumusan kebijakan publik hanya menguntungkan segelintir orang yang merupakan kelit-kelindan antara politisi, aparat negara, kelompok bisnis, hingga para preman-preman lapangan. Rantai kekuasaan ini terjadi dalam arena politik yang korup.
ADVERTISEMENT
Ada kecenderungan bahwa politik kesejahteraan hanya menyejahterakan pihak-pihak tertentu. Oleh sebab itu, argumen Kenneth Scheve dan David Stasavage (2017) dalam artikelnya Wealth Inequality and Democracy menyebut bahwa sistem demokrasi tidak akan serta-merta mewujudkan keadilan sosial apabila demokrasi itu sendiri dibajak. Dalam bahasa yang paling gamblang, Scheve dan Stasavage menyebutnya sebagai pembajakan demokrasi oleh orang-orang kaya (captured democracy by the wealthy).
Koichi Kawamura (2019) juga menyatakan hal yang serupa, meskipun melihatnya dalam sudut pandang sistem kepartaian. Menurut Kawamura, melemahnya ikatan ideologis (party ID) antara voters dengan partai politik, menyebabkan partai hanya menjalankan kepentingan kelompok elite: Menguatnya politik patron-klien sebagai sumber praktik korupsi.
Selain itu, tidak adanya partai yang merepresentasikan kepentingan massa membuat hampir-hampir tidak ada upaya dari parlemen yang mengutamakan kebijakan distribusi kesejahteraan secara adil. Dalam bentuk partai yang berorientasikan catch-all, kebijakan berbasis kesejahteraan seperti pengentasan kemiskinan, bantuan sosial, dan sejenisnya, hanya sebatas menarik simpati masyarakat (Krouwel, 2012). Tidak ada itikad serius dari partai politik untuk benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat dalam bentuk yang paling riil dan ideologis.
ADVERTISEMENT
Dalam demokrasi yang digerakkan oleh uang, sangat wajar hal ini terjadi. Partai politik dan politisi membutuhkan uang untuk meraih kekuasaan. Lewat tangan orang-orang kaya, mereka bisa mengakses uang dan modal untuk meraih maupun mempertahankan jabatan publiknya. Sedangkan dalam demokrasi elektoral, suara rakyat sangat penting untuk mengantarkan mereka pada gerbang kuasa tersebut. Oleh sebab itu, citra personal politisi yang tampak peduli rakyat kecil santa ditonjolkan.
Korupsi telah membajak demokrasi yang membuat kebijakan-kebijakan berorientasi kesejahteraan dan keadilan sosial gagal diwujudkan. Para politisi korup, dalam konteks ini, hanya memanfaatkan sistem demokrasi untuk melegitimasi kekuasaannya. Sedangkan dalam praktiknya, mereka justru lebih melayani segelintir orang yang kemudian disebut sebagai elite ekonomi dan politik.
Mengapa Harus Memperkuat KPK?
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan singkat di atas, saya ingin mengatakan bahwa korupsi tidak hanya dilihat dalam definisi legal-formal belaka. Korupsi, adalah relasi sosial yang memungkinkan setiap orang untuk mengutip keuntungan di mana seharusnya hal itu diperuntukkan bagi kemaslahatan banyak orang. Koruptor adalah pembajak demokrasi yang sesungguhnya.
Untuk melihat contoh riil bagaimana korupsi dapat menghalangi distribusi kesejahteraan dan mengapa KPK harus diperkuat, hasil riset yang dilakukan Herry Purnomo et al (2017) sangat bagus dalam memotret korupsi di sektor kehutanan dan lahan. Dalam artikelnya yang berjudul Fire Economy and Actor Network of Forest and Land Fires in Indonesia, Purnomo et al menunjukkan jalinan relasi patron-klien yang kompleks dan sangat korup. Salah satu yang paling terlihat adalah praktik jual-beli lahan antara elite lokal setempat dengan para pengusaha kawakan dari kota besar seperti Jakarta.
ADVERTISEMENT
Pada mulanya, elite lokal menyiapkan lahan kosong dengan membakar hutan yang berada di atasnya. Membakar lahan, adalah cara yang paling mudah dan murah, dan tentu saja lebih menguntungkan bagi pihak penjual maupun pembeli. Elite lokal ini bisa berwujud para birokrat seperti lurah, camat, hingga tingkat kepala daerah. Para birokrat itu dengan mudah mengeluarkan izin penggunaan lahan, dengan imbalan uang yang menggiurkan. Kemudian untuk menutup informasi, keuntungan itu dibagikan kepada jejaring yang terlibat dan turut melancarkan prosesnya.
Siapa yang dirugikan? Jelas masyarakat. Hingga saat ini, kebakaran hutan masih menjadi masalah serius yang rutin dihadapi akibat pemicu musim kemarau. Padahal, lahan hijau adalah sumber kehidupan dan kekayaan yang seharusnya dinikmati bersama. Hal ini menjadi gagal terwujud akibat ulah manusia yang koruptif.
ADVERTISEMENT
Sekarang bayangkan bagaimana dengan taji yang dimiliki KPK sekarang. Apakah KPK mampu membongkar kasus-kasus korupsi yang jejaring pelakunya sangat kompleks, bahkan melibatkan politisi kawakan hingga pengusaha kelas kakap? Sayangnya tidak. Birokratisasi agenda pemberantasan korupsi membuat praktik korup yang kompleks -- seperti kasus korupsi di balik pembakaran lahan -- semakin sulit disentuh. Kerja KPK akan terhambat di izin, dan lebih rentan diveto karena tidak lagi berdiri secara independen.
Banyak orang berdalih bahwa revisi UU KPK adalah cermin penegakan hak asasi manusia (HAM) terhadap para ‘korban’ KPK. Tapi kita lupa bahwa banyak masyarakat yang tercabut HAM-nya akibat korupsi. Sumber daya alam, lahan, dan kekayaan bumi lainnya tidak bisa dinikmati oleh semua orang kecuali terhadap segelintir manusia yang memupuk kekayaan.
ADVERTISEMENT
Tanpa Lembaga antirasuah yang kuat, kita telah membiarkan kesejahteraan masyarakat terampas. Ketimpangan sosial semakin memburuk. Konsentrasi kekayaan akan semakin terpusat di segelintir orang. Jeffrey Winters (2013) menghitung ketimpangan yang sangat luar biasa di antara segelintir orang kaya dengan masyarakat pada umumnya. Winters mengatakan bahwa rata-rata kekayaan 40 orang terkaya adalah lebih dari 630.000 kali lipat PDB per kapita di Indonesia. Simulasi yang saya lakukan untuk tahun 2018 lalu, rata-rata kekayaan 50 orang terkaya adalah 654.571 kali lipat PDB per kapita. Jumlahnya ternyata meningkat.
Memang benar bahwa ketimpangan sosial adalah keniscayaan. Namun, korupsi telah memperburuknya. Sekarang kita harus segera mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan: Memperkuat KPK dengan kembali pada UU KPK yang lama. Tanpa usaha ini, jangan harap kesejahteraan dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT