Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Memperbincangkan Korupsi dan Kemiskinan
9 Desember 2019 15:31 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apakah korupsi menyebabkan kemiskinan? Diskusi tentang hubungan kausalitas antara korupsi dengan kemiskinan telah disorot banyak peneliti sejak tiga dekade ke belakang. Rose-Ackerman (1978) dan Krueger (1974) menyebut bahwa korupsi menyebabkan ketimpangan pendapatan (income inequality). Senada dengan hal tersebut, riset yang dilakukan Gupta et al (1998) menemukan bahwa korupsi telah memperburuk ketimpangan sosial dan kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Lembaga internasional seperti Bank Dunia juga tidak ketinggalan untuk melakukan riset serupa. Dalam laporannya tahun 2000 silam untuk negara-negara Eropa Timur dan Asia Tengah, Bank Dunia menemukan bahwa tingkat korupsi yang rendah berkorelasi kuat dengan rendahnya tingkat ketimpangan. Hal ini didukung pula dengan temuan Karstedt (2001) di 35 negara OECD yang menyebut bahwa negara dengan tingkat ketimpangan yang tinggi cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi pula. Intinya, semua riset berbasis statistik di atas memiliki hasil yang serupa: semakin tinggi korupsi, semakin tinggi pula ketimpangan dan kemiskinan.
Tanpa pengujian ilmiah sekalipun, mungkin kita sudah sangat yakin bahwa korupsi memang membuat kemiskinan kian parah. Korupsi telah membatasi akses warga negara terhadap sumber daya yang seharusnya dapat dinikmati bersama. Beberapa peneliti aliran kritis memandang bahwa korupsi yang memperburuk ketimpangan sosial diakibatkan oleh struktur politik yang oligarkis. Dalam perspektif ini, demokrasi yang seharusnya menghadirkan distribusi kesejahteraan justru dibajak oleh para oligark yang korup. Para oligark -- segelintir orang yang sangat berkuasa atas dasar sumber daya material -- hampir-hampir memiliki kekayaan yang tidak terbatas. Sebaliknya, masyarakat awam memiliki tingkat kekayaan yang sangat terbatas.
ADVERTISEMENT
Bentuk ketimpangan antara segelintir oligark dengan masyarakat pada umumnya dapat dilihat dari perbandingan kekayaan bersih (net worth). Misalnya pada 2010, hasil perhitungan yang dilakukan Winters (2013) menemukan bahwa rata-rata kekayaan bersih 40 oligark terkaya di Indonesia lebih dari 630.000 kali lipat PDB per kapita Indonesia. Meskipun kaum oligark itu kurang dari 2 per 1.000.000 jumlah penduduk, gabungan aset mereka setara dengan 10 persen PDB. Untuk data 2018, saya juga melakukan perhitungan serupa dan menemukan bahwa kekayaan bersih 50 oligark terkaya di Indonesia adalah 654.571 kali dari PDB per kapita Indonesia di tahun yang sama. Akumulasi kekayaan mereka mencapai 12 persen dari total PDB 2018. Jika dibuat visualisasi distribusi kekayaan masyarakat di Indonesia, akan tampak seperti piramida di mana kekayaan sangat terkonsentrasi pada segelintir orang.
ADVERTISEMENT
Rasanya tidak salah jika dikatakan bahwa oligarki sangat mudah berkelindan dengan korupsi. Dalam hal ini, korupsi tidak hanya terbatas pada sekat-sekat aturan legal, melainkan lebih kepada manipulasi atas distribusi sumber daya material yang bertujuan untuk mempertahankan kekayaan. Kembali pada argumen Winters (2013), para oligark memiliki kekuasaan yang sangat besar di hadapan negara, yang dalam banyak kasus membuat negara harus tunduk. Dengan kekayaan, oligark bisa mengendalikan lembaga peradilan, sekaligus juga terhadap institusi-institusi demokratis seperti DPR dan lembaga eksekutif.
Hadiz dan Robison (2013) bahkan memandangnya dengan jauh lebih skeptis lagi. Menurut mereka, masuknya era reformasi justru membuat oligarki menyesuaikan diri dari struktur politik otoritarian menjadi demokratis. Bahkan, oligarki tampak terlokalisasi pasca kebijakan desentralisasi. Mereka meyakini bahwa banyaknya peminggiran hak-hak atas masyarakat, terutama kaum miskin, terjadi karena politik lokal yang tercengkeram oligarki. Struktur oligarkis itu berkelindan antara pemerintah lokal dengan kelompok bisnis koruptif yang semata-mata hanya ingin mempertahankan kekuasaan dan kekayaan.
ADVERTISEMENT
Hasil riset yang dilakukan Purnomo et al (2017) mengenai kebakaran hutan akibat praktik korupsi adalah contoh bagus untuk melihat bukti empirisnya pada level mikro. Riset tersebut membuktikan bahwa di balik praktik pembakaran hutan yang merugikan banyak orang, ada relasi koruptif antara elite lokal setempat seperti kepala desa, camat, dan lurah dengan para pengusaha dari kota besar di pulau Jawa. Kebakaran asap bukan hanya merusak lingkungan, melainkan juga mencabut hak-hak masyarakat atas udara bersih. Akibatnya adalah masyarakat semakin rentan terhadap penyakit berbahaya, menurunkan usia harapan hidup, dan menghambat mobilitas vertikal untuk lepas dari jerat kemiskinan.
Dari sini kita bisa melihat watak orang-orang super kaya seperti oligark cenderung mempertahankan kekayaannya sekalipun harus korupsi. Meminjam argumen Dabla-Norris dan Wade (2002), praktik korupsi yang diambil oleh oligark adalah semata-mata pilihan rasional: korupsi memiliki biaya yang lebih rendah guna memaksimalkan keuntungan. Jika para oligark memiliki kapasitas finansial yang sangat besar untuk memengaruhi keputusan publik, selama itu dapat mempertahankan kekayaan, mengapa tidak untuk dilakukan?
ADVERTISEMENT
Sekarang masalahnya, Indonesia menghadapi problem ketimpangan sosial yang tidak hanya diukur dari indeks gini saja, melainkan juga kerapuhan pondasi masyarakat akibat jerat kemiskinan. Memang benar bahwa angka kemiskinan mencapai titik terendah dengan indeks gini yang menurun pada 2018 lalu, namun sayangnya gambaran itu tak dapat memotret realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Misalnya dalam kasus korupsi agraria, betapa banyak peminggiran sosial di mana kebijakan tidak berpihak pada masyarakat: sulitnya izin pemanfaatan lahan oleh masyarakat, pelepasan kawasan hutan yang bukan untuk masyarakat, dan pemberian konsesi kepada pengusaha secara tidak terkendali (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2015).
Contoh riil dari rapuhnya pondasi sosial akibat ketimpangan dan korupsi adalah di masa-masa pemilihan umum. Riset yang dilakukan Aspinall dan Berenschot (2019) baru-baru ini menemukan bahwa suara masyarakat sangat mudah 'dibeli' dengan keuntungan material mulai dari uang, proyek, pekerjaan, maupun keuntungan lainnya. Usaha yang dilakukan Aspinall dan Berenschot membuktikan bahwa praktik demokrasi Indonesia masih rentan dikendalikan uang, yang tentu saja hanya bisa dilakukan oleh kalangan orang kaya maupun oligark. Di sisi yang lain, mudahnya arah suara masyarakat yang dikendalikan uang dikarenakan jeratan kemiskinan yang membuat mereka mau mengambil keuntungan material meskipun harus 'menjual' suara dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Ini jelas adalah ironi. Betapa banyak masyarakat yang frustrasi karena kemiskinan akibat praktik korupsi membuat mereka melakukan hal-hal yang merugikan: kerusuhan, tawuran, pencurian, hingga terlibat dalam premanisme demi pekerjaan.
Kemudian lihat sumber kekayaan dari kebanyakan oligark di Indonesia. Sebagian besarnya berasal dari sumber ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan, bahkan merambah ke bisnis lahan seperti real estate. Padahal, core bisnis yang mengandalkan dari sumber daya alam, berpotensi besar terhadap praktik korupsi ekstraktif yang sangat merugikan masyarakat.
Kita telah memasuki perayaan hari anti-korupsi di tahun 2019. Saya meyakini bahwa persoalan yang sedikit diulas di atas masih jauh dari kata selesai. Tampaknya kita akan menghadapi masa-masa yang berat dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada dua alasan. Pertama, agenda pemberantasan korupsi tidak menjadi prioritas pemerintahan baru. Pidato pelantikan Presiden Jokowi sayangnya sama sekali tidak menyinggung ihwal korupsi dan problem turunannya. Kedua, lemahnya taji Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca-revisi UU KPK. Melemahnya KPK, di tengah gempuran korupsi struktural, adalah kabar baik bagi koruptor untuk semakin mengoptimalkan kekayaan dan kekuasaan yang mereka miliki.
Grady Nagara. Manajer program Next Policy