Konten dari Pengguna

Memperjuangkan Palestina di Media Sosial

Grady Nagara
Founder of Next Policy
17 Mei 2021 14:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga melakukan Aksi Bela Palestina di Surabaya, Jawa Timur, Senin (17/5/2021). Foto: Didik Suhartono/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Warga melakukan Aksi Bela Palestina di Surabaya, Jawa Timur, Senin (17/5/2021). Foto: Didik Suhartono/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pertarungan narasi untuk membela Palestina menjadi semakin penting di era media digital. Meskipun pemerintah Indonesia telah menyatakan sikap untuk mendukung Palestina bersama Malaysia dan Brunei Darussalam, nyatanya, perdebatan “dalam negeri” di media sosial cukup kuat di antara mereka yang mendukung Israel maupun Palestina.
ADVERTISEMENT
Kalangan pro-Israel berargumen bahwa tindakan Israel melakukan agresi militer dibenarkan karena melawan terorisme. Hamas, bagi mereka adalah organisasi radikal-teroris yang melakukan penyerangan lebih dulu; sehingga, apa yang dilakukan militer Israel adalah tindakan bela diri. Ada pula yang menggunakan dalil bahwa penggusuran Israel terhadap tanah Palestina dibenarkan atas dasar “tanah yang dijanjikan” (the promised land).
Ketika banyak orang terhubung secara virtual, jutaan informasi tersebar dengan masif dan menjadi konsumsi massal. Munculnya pengamat karbitan yang sesungguhnya tidak memahami konteks dan situasi permasalahan, kemudian berargumen seolah-olah pendapat mereka berdiri di atas gagasan yang sahih. Namun situasi ini memang wajar terjadi, sejak teknologi digital memungkinkan terjadinya jejaring sosial yang padat, informasi di media sosial (terlepas benar atau tidak) akan menjadi sumber rujukan utama.
ADVERTISEMENT
Tetapi apakah pertarungan narasi terjadi secara seimbang antara mereka yang berdiri membela Palestina maupun Israel? Nyatanya tidaklah demikian. Studi-studi empiris terdahulu menunjukkan kuatnya bias pemberitaan pro-Israel di media Barat yang mengerdilkan narasi pro-Palestina (Deprez & Raeymaeckers, 2010).
Salah satunya adalah jumlah korban dari dua kubu. Jumlah korban yang dilaporkan sering kali ambigu. Meskipun jauh lebih banyak orang Palestina yang menjadi korban, media-media tersebut justru memberitakan korban lebih banyak dari kalangan Israel.
Data Statista yang dikutip dari PBB sejak 2008 hingga 2020 menunjukkan kenyataan yang sesungguhnya. Korban dari kalangan Palestina jumlahnya selalu berkali lipat lebih banyak dibandingkan korban dari kalangan Israel dari tahun ke tahun. Pada 2018, jumlah korban dari Palestina mencapai 31.558 jiwa dibanding Israel sebesar 130 jiwa.
ADVERTISEMENT
Bias lainnya adalah penekanan narasi, judul, dan konten yang menyudutkan perjuangan bangsa Palestina. Media-media tersebut cenderung menggunakan istilah teroris atau kawasan yang diperdebatkan (disputed territories), alih-alih menggunakan istilah wilayah yang dijajah (occupied territories) maupun pejuang kebebasan (freedom fighters). Pembingkaian narasi media tersebut adalah cara lama yang digunakan sampai dengan konflik Israel-Palestina baru-baru ini.
Observasi saya dengan memerhatikan bagaimana media-media Amerika Serikat memberitakan organisasi Hamas, kata kunci yang paling menonjol adalah “kelompok militan” dan “teroris”. Persis dengan klaim PM Israel Benjamin Netanyahu bahwa tindakan kejahatan yang mereka lakukan adalah “hak untuk mempertahankan diri dari serangan teroris”.
Perpanjangan tangan dari narasi pro-Israel ternyata cukup kuat di Indonesia, meskipun gelombang pro-Palestina di sisi lain juga sangat besar. Dengan mengutip narasi tentang terorisme-radikalisme, kalangan pro-Israel Indonesia menyatakan bahwa tindakan pemerintah Israel menyerang Palestina adalah “bentuk pembelaan diri dari serangan teroris”. Pernyataan seperti “Israel tidak akan menyerang kalau Hamas tidak memulai duluan” juga jamak kita temui di media sosial.
ADVERTISEMENT
Namun hal yang paling menyedihkan adalah kalangan yang memosisikan diri seolah-oleh netral sekaligus “pro-kemanusiaan”, dengan menyebutkan kedua kubu memiliki kesalahan yang sama. Narasi ini juga digaungkan oleh beberapa influencer tanah air yang mendaku well-educated. Padahal, pernyataan tersebut justru mengabaikan konteks historis panjang bahwa orang-orang Palestina memang sejatinya korban kekejaman dan penggusuran. Perjanjian gencatan senjata pernah dilakukan dan dilanggar sendiri oleh Israel.
Bias pemberitaan ketiga adalah produk jurnalistik yang tidak cover both-side. Aktor-aktor yang dikutip sebagai sumber berita jauh lebih banyak dari kalangan Israel, dan sangat jarang dari kalangan Palestina. Dengan sedikitnya ruang bersuara kalangan pro-Palestina di media arusutama, berimplikasi pada bias yang justru merugikan orang-orang Palestina sebagai korban.
Memperjuangkan Narasi Pro-Palestina
ADVERTISEMENT
Memperjuangkan narasi pro-Palestina di ranah virtual bukanlah hal yang mudah. Terpecahnya suara dan pertarungan asimetris menjadi tantangan besar untuk menyuarakan kepentingan bangsa Palestina. Adanya usaha untuk meminggirkan suara-suara pro-Palestina di media sosial menjadi persoalan serius yang tidak bisa diabaikan.
Omar Zahzah, dalam artikel berjudul Digital Apartheid di Aljazeera berargumen bahwa korporasi digital raksasa telah mengeksklusikan suara pro-Palestina dari platform mereka. Omar mengambil contoh pemblokiran yang dilakukan platform Zoom, Facebook, dan YouTube terhadap kegiatan akademik “Whose Narratives? What Free Speech for Palestine?” pada April 2021 lalu. Penyensoran konten media sosial tentang Sheikh Jarrah juga menjadi bentuk riil dari penyingkirian suara-suara pro-Palestina. Mengingat bias dan penyingkiran representasi suara pro-Palestina bukanlah hal baru, menjadi bukti kuat bahwa orang-orang Palestina memang dibunuh dan dikekang kebebasannya hingga berlipat ganda.
ADVERTISEMENT
Jika dianalisis lebih dalam, persoalan ini sangatlah relevan dilihat melalui kacamata ekonomi politik global. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk menyatakan adanya kelit-kelindan antara bisnis media digital dan kepentingan politik yang lebih luas. Platform seperti Facebook dan Google bukanlah media netral yang mengakomodasi segala kepentingan. Dengan logika akumulasi kapital, tentu korporasi digital akan melayani pihak-pihak yang dianggap dapat mengamankan posisi bisnisnya.
Sebagai awam barang tentu kita tahu bahwa Amerika Serikat adalah pendukung utama Israel. Maka tidak menutup kemungkinan dengan kuasa politiknya, korporasi digital juga dikendalikan untuk mengakomodasi kepentingan yang menguntungkan penguasa. Terlebih pola serupa bukanlah hal yang baru, mengingat bias-bias media Barat yang menyingkirkan narasi pro-Palestina telah terjadi sejak puluhan lalu, bahkan sejak era pra-media sosial.
ADVERTISEMENT
Kapitalisme media digital dan perspektif ekonomi politik menjadi kritik paling tajam terhadap potensi demokratisasi melalui media sosial (Fuchs, 2014). Pembacaan ini juga mengantarkan kita pada eksistensi ketimpangan modal di antara media-media digital jurnalistik dengan korporasi digital pemilik Google tempat mereka bergantung.
Ini menjadi tantangan besar dalam menggaungkan suara pro-Palestina. Meskipun media-media pro-Palestina telah berkembang pesat dan tersebar di berbagai negara secara global, kekuatan kapital mereka masih kalah jauh dibandingkan korporasi raksasa digital. Ketidakcukupan modal ini menjadi kesulitan besar untuk mengarusutamakan narasi pro-Palestina. Oleh karena belum menjadi narasi arusutama, tampaknya masih sulit untuk membangun gerakan sosial-politik global untuk menentang penjajahan Israel.
Meskipun demikian, kita tidak dapat mengerdilkan perlawanan global yang telah dilakukan berbagai negara. Di Indonesia, suara pro-Palestina masih cenderung kuat diduga karena dua hal. Pertama, akar historis di mana sikap presiden Sukarno yang sangat keras menentang kolonialisme dan posisi tegasnya dalam membela Palestina. Pembukaan UUD yang berbunyi “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan” menjadi pemantik semangat dan dalil konstitutif untuk menolak kolonisasi Israel atas tanah Palestina.
ADVERTISEMENT
Kedua, tradisi Islam yang mengakar memunculkan rasa persaudaraan erat dengan bangsa Palestina. Kuatnya rasa persaudaraan ini memunculkan sikap yang tidak perlu lagi preposisi argumentatif untuk membela Palestina secara utuh. Rangkaian demonstrasi hingga menggalang donasi adalah bentuk luapan emosi yang wajar terjadi ketika melihat saudara mereka ditindas; bahwa luka Palestina adalah luka Indonesia.
Namun lagi-lagi, memperjuangkan narasi pro-Palestina juga menjadi pekerjaan yang berat. Menggalang dukungan di tengah polarisasi dan ketimpangan kekuatan modal di arena digital membutuhkan strategi dan proses panjang. Seberapapun sulitnya, kita harus terus menyuarakan narasi pro-Palestina sekuat-kuatnya. Sebab, perjuangan narasi juga tidak kalah penting dari perjuangan lapangan, dan inilah satu-satunya jalan yang dapat kita lakukan di tengah terbatasnya jarak fisik dan keterbatasan lainnya.
ADVERTISEMENT