Menakar Prospek Depok Sebagai 'Kota Bebas Sampah'

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
25 Juli 2019 9:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sampah plastik Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sampah plastik Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan kota tidak pernah lekang dari masalah sampah. Pola konsumsi masyarakat dan kebiasaan buruk warga kota yang abai terhadap lingkungan, digadang-gadang menjadi sumber masalah yang kian kronis ini. Kawasan penyangga Jakarta seperti Kota Depok, setiap harinya menghasilkan sampah hingga 1.300 ton. Dengan populasi penduduk sebesar 2,2 juta jiwa, diperkirakan setiap orang memproduksi sampah seberat 0,6 hingga 0,8 kilogram dalam satu hari.
ADVERTISEMENT
Tanpa pengelolaan yang benar, jumlah sampah yang fantastis ini akan menghasilkan masalah serius. Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung, tinggi timbunan sampah sudah mencapai hampir 30 meter. Itu pun hanya tertumpuk pada satu kolam, karena dua kolam di antaranya sudah terlampau penuh. Jika ini dibiarkan terus-menerus, tidak hanya soal bau yang menyengat, tapi juga memperburuk pencemaran lingkungan, terutama air sebagai sumber kehidupan bagi warga kota.
Praktis sejak 2012, Pemkot Depok mulai menaruh perhatian terhadap isu pengelolaan sampah. Pemkot kala itu menekankan pada pemilahan sampah menjadi dua unsur, yaitu organik (seperti sisa makanan) dan non-organik (dapat didaur ulang), yang dilakukan oleh warga Depok sendiri.
Mekanismenya pun cukup sederhana. Setiap rumah tangga diwajibkan memilah sampah organik dan non-organik pada ember kecil, dan kemudian dikirimkan ke wadah ember besar yang menaungi sekitar 30 rumah tangga. Sampah yang sudah dipilah dari ember besar, kemudian dikirimkan ke unit pengelola sampah (UPS). Sampah-sampah organik akan diproses menjadi pupuk kompos, sampah non-organik dikirimkan ke industri pengolahan untuk proses daur ulang, sedangkan sampah residu dikirimkan ke TPA.
ADVERTISEMENT
Sebagai penunjang program, Depok juga memiliki 600 bank sampah. Di sini warga dapat menukarkan sampahnya dengan sejumlah uang, sesuai nilai yang ditentukan. Dengan skema yang sama seperti bank pada umumnya, setiap warga dapat menyetorkan sampah yang kemudian dicatat sebagai nasabah. Jika telah mencapai nilai yang ditetapkan, warga dapat mengambilnya sewaktu-waktu dalam bentuk uang sebagai imbal jasa.
Intinya, warga didorong untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sampah. Dengan skema tersebut, Pemkot Depok mengklaim dapat mengurangi volume sampah sebesar 56 persen pada tahun 2019 ini.
Pencapaian Program
Secara teknis, pengelolaan sampah dengan skema tersebut memunculkan hasil yang cukup memuaskan. Menurut hasil penelitian Ismiyati dan kawan-kawan (2015) dalam 'Effectiveness of Environmental Management Based on Trash in The City of Depok', setidaknya ada dua aspek pencapaian Pemkot Depok dalam hal tata kelola sampah.
ADVERTISEMENT
Pertama, regulasi yang ada berjalan cukup efektif. Pengelolaan sampah dalam hal ini dikukuhkan melalui peraturan daerah (perda) nomor 5 tahun 2014. Kunci utama dari peraturan ini adalah pelibatan langsung masyarakat, terutama dalam pemilahan sampah. Titik tekannya adalah sistem yang terintegrasi dan proses pengelolaan dimulai dari warga Depok hingga level pemkot.
Selain itu, Pemkot Depok juga menegakkan sanksi ketat bagi warga yang membuang sampah sembarangan maupun yang tidak melakukan pemilahan sampah. Sejauh ini sudah ada 300 warga yang ditindak karena tidak melakukan pemilahan sampah dan 66 orang yang ditindak karena membuang sampah sembarangan.
Kedua, kesadaran publik untuk menciptakan lingkungan yang bersih semakin meningkat. Dari segi teknis, cara pemilahan sampah disimulasikan dengan gencar melalui program 'Partai Ember'. Simulasi ini menjadi panduan bagi warga untuk melakukan pemilahan sampah organik dan non-organik setiap harinya. Satu hal yang juga penting dalam konteks kesadaran publik adalah insentif yang dihasilkan dari program bank sampah.
ADVERTISEMENT
Program ini bukan hanya memotivasi warga untuk mengumpulkan sampah, melainkan juga memahamkan warga bahwa sampah yang dikelola dengan baik dapat menghasilkan surplus nilai yang berguna bagi warga sendiri. Secara kuantitas, tumbuhnya kesadaran ini ditandai dengan lebih dari 100.000 rumah tangga dan lebih dari 2000 Rukun Warga turut berpartisipasi, tidak lama setelah program diluncurkan.
Tidak mengherankan jika 2017 silam Kota Depok untuk pertama kalinya meraih piala adipura dari Kementerian Lingkungan Hidup. Bahkan Depok disebut-sebut sebagai garda terdepan kota di Indonesia yang memiliki mekanisme tata kelola sampah yang efisien.
Terlepas dari itu semua, ternyata Kota Depok masih memiliki tugas besar untuk mencapai predikat kota bebas sampah (zero waste city) sebagaimana yang digaungkan. Lalu apa itu zero waste city, dan bagaimana prospek Kota Depok ke depannya?
Ilustrasi daur ulang Foto: Shutterstock
Tantangan Menuju Kota Bebas Sampah
ADVERTISEMENT
Zero waste city pada dasarnya adalah konsep suatu kota mampu mengurangi sampah hingga titik nol. Mengurangi sampah bukan hanya meniadakan tampilan fisik dari sampah itu sendiri. Lebih dari itu, seluruh sampah 100 persen dapat didaur ulang secara optimal. Jadi dapat dikatakan, proses menuju titik nol tersebut juga ramah lingkungan, seperti tidak dibakar (incineration) atau dialihkan pada tempat pembuangan (landfill). Prinsipnya sama seperti yang pernah kita pelajari di sekolah: digunakan kembali (reuse), didaur ulang (recycle), dan dikurangi (reduce).
Dengan pengertian zero waste city di atas, Depok saat ini masih jauh untuk dikatakan sebagai kota bebas sampah. Meski skema pengelolaan sampah di tingkat hulu sudah berjalan, nyatanya masih ada 700 ton sampah yang setiap hari dikirimkan ke TPA Cipayung. Padahal daya tampung TPA Cipayung sudah memasuki fase kritis. Cukup disayangkan, pemkot sepertinya belum memiliki rencana induk (masterplan) untuk mencapai zero waste city sesuai dengan amanat perda no.5 tahun 2014.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, yang terjadi justru mengambil solusi jangka pendek dengan mengalihkan pembuangan sampah ke landfill yang lain. Menurut Walikota Depok, Mohammad Idris, diharapkan tahun 2019 ini sebagian dari sampah di TPA Cipayung dapat dialihkan ke TPA Lulut Nambo, Bogor. Adapun jumlahnya sekitar 200-300 ton sampah yang akan dialihkan. Skemanya akan sama seperti yang pernah dilakukan Jakarta ke TPA Bantargebang dan pemkot akan membayar tipping fee per tonnya.
Padahal penggunaan landfill dalam tata kelola sampah menyalahi prinsip zero waste city yang justru meniadakan landfill. Karena hal yang paling penting dalam konsep zero waste city adalah bagaimana lingkungan kota juga sehat, terutama bagi warga kota itu sendiri. Kehadiran landfill justru membuat lingkungan jadi tercemar. Oleh sebab itu, mau tidak mau Pemkot Depok harus segera menyusun masterplan zero waste city, dan perlahan meninggalkan ide pengalihan sampah ke TPA Lulut Nambo. Jangan sampai Pemkot Depok tergoda untuk mengambil solusi jangka pendek yang menyalahi tujuan utamanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Menurut Atiq Uz Zaman dan Steffen Lehmann (2011) dalam 'Challenges and Opportunities in Transforming a City Into a Zero Waste City', ada lima kunci bagi sebuah kota untuk mencapai kondisi zero waste city. Pertama, adalah mengubah perilaku masyarakat untuk memiliki gaya hidup konsumsi berkelanjutan (sustainable consumption). Kedua, memperluas jangkauan tanggung jawab produsen agar lebih ramah lingkungan. Ketiga, 100 persen mendaur ulang sampah perkotaan (municipal solid waste). Keempat, melakukan pengaturan yang lebih ketat untuk meniadakan TPA dan pembakaran sampah (zero landfill and incineration). Terakhir, melakukan 100 persen pemulihan sumber daya yang ada di lingkungan dari pencemaran sampah.
Jadi, zero waste city itu sangat kompleks. Bukan hanya sekadar mengajak warga untuk memilah sampah, melainkan juga membangun pola konsumsi yang berkelanjutan, termasuk mengajak pelaku industri untuk menerapkan pola produksi yang ramah lingkungan. Itu pun tampak masih belum semua warga melakukan proses pemilahan, mengingat jumlah sampah yang dibuang ke TPA Cipayung masih lebih banyak daripada jumlah sampah yang berhasil didaur ulang.
ADVERTISEMENT
Setidaknya Kota Depok dapat memulai dari masterplan-nya, dengan mengubah perilaku masyarakat secara progresif, mengingat program yang sudah berjalan adalah pengentasan masalah sampah di level hulu.
Warga kota juga harus diedukasi dan dilatih untuk mulai menerapkan pola konsumsi berkelanjutan. Pola edukasi warga ini haruslah berbasiskan riset yang serius, bukan sekadar common sense belaka. Pemerintah Australia, sebagai contoh, menggandeng universitas untuk melakukan riset yang berkaitan dengan edukasi dan pelatihan konsumsi ramah lingkungan yang cocok dengan konteks lokal. Alih-alih menggelontorkan anggaran yang besar untuk membayar sewa landfill, justru lebih baik memberikannya kepada kampus untuk menjalankan riset mengenai pola perilaku konsumsi masyarakat lokal yang ramah lingkungan.
Kota Depok jelas sangat bisa melakukannya, karena program yang telah berjalan membuahkan hasil yang positif. Hanya saja tinggal bagaimana mengoptimalisasi partisipasi warga, dan mulai melakukan perencanaan yang lebih komprehensif guna mencapai zero waste city sebagaimana yang diimpikan.
ADVERTISEMENT
*Grady Nagara. Manajer Program NEXT Policy