Konten dari Pengguna

Mengapa Angkutan Kota di Jabodetabek Harus Dibenahi?

Grady Nagara
Founder of Next Policy
30 Juli 2019 9:16 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Angkot Onlline TRON di GOR Patriot, Bekasi. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Angkot Onlline TRON di GOR Patriot, Bekasi. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
ADVERTISEMENT
Membicarakan transportasi publik di kawasan Jabodetabek, bukan hanya soal moda transportasi massal seperti bus besar, Kereta Rel Listrik (KRL), atau bahkan Mass Rapid Transit (MRT). Kalau kita merujuk pada si “penguasa” jalanan, perbincangan akan terfokus pada bus kecil lincah yang berdaya tampung lebih sedikit. Bus kecil itu sejak lama kita kenal dengan sebutan angkutan kota (angkot).
ADVERTISEMENT
Kementerian Perhubungan tahun 2015 merilis total angkot untuk jenis mikrolet berjumlah 24.000 unit. Kota Depok dan Kota Bekasi memiliki jumlah mikrolet paling banyak dibanding kota lain di mana masing-masingnya sebesar 4.200 ribu unit dan 4.000 unit. Di Jakarta sendiri, angkot tidak hanya terbatas pada jenis mikrolet saja, melainkan ada juga Angkutan Pengganti Bemo (APB) dan angkutan Koperasi Wahana Kalpika (KWK). Jika dijumlah keseluruhan, totalnya mencapai 13.500 ribu unit.
Situasi di atas tidak lepas dari konteks historis kegagalan pemerintah Orde Baru dalam menyediakan moda transportasi publik yang memadai bagi warga kota. Demi menunjang mobilitas, pemerintah kala itu melakukan modernisasi angkot yang pada dasarnya adalah moda exsisting bahkan sejak era kolonial. Berdasarkan pengalaman di Jakarta, moda seperti opelet diubah menjadi mikrolet, becak motor (bemo) diganti menjadi APB, sedangkan omprengan menjadi angkot KWK yang berwarna merah.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya modernisasi, pada 1980-an pemerintah juga melakukan inkorporasi angkot ke dalam bentuk koperasi. Kita mengenal koperasi angkutan seperti Kopamilet Jaya, Komika Jaya, KWK, dan sebagainya. Bagi pengusaha yang memiliki modal besar, pengelolaan dilakukan dengan membentuk Perseroan Terbatas meski secara kuantitas lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang bergabung dengan koperasi.
Hasilnya? Bukanlah membaik, justru angkot menjadi sumber masalah dalam sistem transportasi perkotaan kita hari ini.
Ilustrasi transportasi publik. Foto: Shutterstock
Mencari Akar Masalah
Masifnya angkot ternyata tidak hadir dalam ruang hampa. Ruang itu dipenuhi dengan kepentingan elite pengusaha angkot yang saling berebut ruang produksi. Jika kita memahami ruang produksi perkotaan adalah lahan, dalam bisnis angkutan, ruang itu adalah trayek. Para pengusaha angkot mengoptimalkan trayek sebagai basis akumulasi keuntungan. Dengan demikian, penjagaan trayek adalah hal yang sangat krusial.
ADVERTISEMENT
Fariz Panghegar (2014) dalam bukunya yang berjudul Berebut Ruang: Dinamika Politik Trayek Angkot di Jakarta menunjukkan bahwa pengelolaan angkot berada dalam kondisi relasi kuasa yang timpang. Para pengusaha yang memiliki modal besar adalah bos bagi trayek-trayek yang mereka bina.
Sedangkan para pengusaha yang tidak memiliki trayek, akan menyewa trayek tersebut dengan catatan mengikuti aturan pemilik trayek dan membayar fee yang telah ditentukan. Skema ini mirip dengan model penguasaan lahan di mana para tuan tanah (landlord) menyewakan lahannya kepada para penyewa yang hendak mencari keuntungan.
Relasi dalam penguasaan trayek ini menciptakan distribusi pekerjaan secara masif terutama bagi pengemudi, keamanan, bahkan termasuk warung kaki lima. Relasi kerja dengan pengemudi sebagai operator utama angkot pun tidak dilakukan secara formal.
ADVERTISEMENT
Setiap hari, pengemudi menyetorkan sejumlah uang yang ditentukan kepada pemilik usaha, dan memasukannya ke kocek pribadi setelah dikurangi jumlah setoran (Panghegar 2014: 45). Apabila tidak mencapai jumlah uang yang disetorkan, akan menjadi utang yang harus dibayarkan pengemudi di kemudian hari.
Dengan pengelolaan seperti itu, sangat wajar jika pelayanan angkot menjadi buruk. Survei yang dilakukan Kompas tahun 2015 menunjukkan bahwa sebagian besar warga di Jakarta mengeluhkan buruknya keamanan dan kenyamanan angkot.
Tujuh dari 10 responden mengeluhkan ketidakefisienan waktu tempuh angkot. Pengemudi tidak memprioritaskan kenyamanan dan keselamatan penumpang karena mengejar perolehan uang setoran, dan terutama untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-harinya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dalam hal ini juga tidak memiliki daya tawar yang kuat karena perannya hanya sebagai regulator dalam menciptakan trayek-trayek yang baru. Pengusaha dapat mengajukan izin pembuatan trayek baru selama mampu mengelolanya. Oleh sebab itu, pengusaha yang memiliki modal besar dapat lebih mudah mengusulkan penciptaan trayek karena mereka yang paling mampu melakukan pengelolaan.
Fakta lain yang menjadi ironi adalah penciptaan ruang trayek ternyata jauh dari rencana tata ruang kota. Banyak trayek yang saling tumpang tindih, di mana bagi pengusaha, yang terpenting adalah trayek tersebut mampu menghasilkan keuntungan yang besar. Sialnya, masyarakat sebagai pengguna utama justru tidak dilibatkan dalam proses penciptaan trayek.
Ilustrasi angkot. Foto: Ainul Qalbi/kumparan
Membenahi Angkot
Pemerintah pusat melalui Perpres nomor 55 tahun 2018 telah mencanangkan Rencana Induk Transportasi (RIT) Jabodetabek. Gagasan dalam RIT adalah memadukan layanan transportasi perkotaan sehingga memudahkan mobilitas warga dari satu tempat ke tempat yang lain.
ADVERTISEMENT
Targetnya cukup menarik. Salah satunya adalah setiap daerah harus memiliki layanan angkutan lokal sebagai pengumpan (feeder) bagi angkutan utama. Dalam konteks integrasi, angkutan feeder dibutuhkan karena terkait dengan aksesibilitas masyarakat terhadap transportasi publik.
Berdasarkan catatan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, hingga tahun 2016 hanya 16 persen penduduk Jabodetabek yang mempunyai akses layak ke angkutan massal. Artinya, Jabodetabek belum memiliki angkutan feeder yang memadai.
Dalam RIT Jabodetabek, dikatakan bahwa hingga 2029, target aksesibilitas jalan kaki ke transportasi publik, baik dalam konteks first mile trip maupun perpindahan antar moda, adalah maksimum 500 meter. Sebagai transportasi berbasis jalan, terlepas dari masalah klasik yang meliputinya, angkot sebagai kendaraan exsisting dapat menjadi feeder bagi kendaraan pengangkut massal.
ADVERTISEMENT
Alasan yang paling utama karena angkot memiliki karakteristik yang lebih gesit dan mampu menjangkau wilayah pemukiman yang sempit. Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen perhubungan darat tahun 2002 (SK.687/AJ/206/DRJD/2002), angkot (bus kecil) adalah prasarana yang termasuk dalam trayek ranting dengan lebar jalan hanya 5 meter. Dengan lebar jalan seperti itu, moda seperti bus ukuran sedang tidak akan bisa menjangkaunya karena minimal lebar jalan yang bisa dijangkau adalah 7 meter.
Terlebih situasi ini tidak lepas dari karakteristik kawasan pinggiran Jakarta (Bodetabek) sebagai sub-urban yang cenderung dijadikan wilayah pemukiman. Maka sangat wajar jika angkot diposisikan sebagai angkutan penunjang first and last mile trip.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, pemerintah daerah (pemda) mau tidak mau harus mengambil alih kontrol atas trayek tersebut sebagai langkah pembenahan. Dengan demikian, pemda dapat lebih mudah untuk meningkatkan kualitas layanan angkot, termasuk di dalamnya rerouting trayek agar sesuai dengan rencana integrasi transportasi publik di Jabodetabek.
Dalam “Panduan Reformasi Angkutan Umum di Indonesia” yang dirilis ITDP Indonesia tahun 2019, membenahi angkot pertama kali dapat menjadi insentif bagi masyarakat untuk mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi menjadi transportasi publik. Logika sederhananya seperti ini: warga akan menggunakan transportasi umum apabila terjangkau dari pemukiman dengan fasilitas yang aman dan nyaman.
Langkah ini juga dapat meminimalkan penolakan dari pengusaha angkot yang merasa tersaingi dengan adanya angkutan massal (ITDP Indonesia 2019). Sebab, skema ini tidak akan menghilangkan aktivitas usaha mulai dari pemilik, hingga para operator lapangan seperti pengemudi. Bayangkan jika eksistensi mereka digeser, akan berapa banyak orang yang harus kehilangan sumber penghasilan mengingat ruang produksi usaha angkot paling besar.
Ilustrasi angkot Jak Lingko. Foto: Instagram/@regensilalahi
Pengalaman di Jabodetabek
ADVERTISEMENT
Jakarta sebagai kota utama telah memulainya. Jak Lingko adalah inovasi transportasi publik yang diusulkan Gubernur Anies melalui program sebelumnya yang bernama Ok Otrip. Ide dasarnya sederhana: mengintegrasikan sistem transportasi dari kendaraan berkapasitas kecil hingga besar termasuk kendaraan berbasis rel milik pemprov seperti MRT, LRT, dan sebagainya. Dishub DKI Jakarta menargetkan pada 2021 sebanyak 10.018 unit angkutan umum akan terintegrasi dalam Jak Lingko.
Program Ok Otrip sejak pertama diusung, hingga bertransformasi menjadi Jak Lingko, menggagas pembenahan dimulai dari para pengusaha bus kecil alias angkot. Rencana pemda DKI Jakarta dalam hal ini ingin mengintegrasikan angkot dengan angkutan massal dengan menjadikannya sebagai feeder.
Alih-alih melihatnya secara teknis, program Jak Lingko ini adalah inovasi untuk mengatasi masalah transportasi publik di Jakarta yang kian politis. Bukan hanya soal integrasi sistem, melainkan juga menggeser kuasa atas trayek yang sebelumnya digenggam oleh para landlord trayek menjadi milik pemda DKI Jakarta. Daya tawar pemda DKI Jakarta seharusnya menguat secara perlahan.
ADVERTISEMENT
Selain Jakarta, kota Bekasi juga sudah mulai membenahi angkot. Inovasi pemda dilakukan dengan menerapkan angkot berbasis sistem daring bernama TRON yang diresmikan pada Mei 2019.
Cara kerja angkot ini adalah menjemput penumpang di wilayah pemukiman yang melakukan pemesanan melalui gawai namun tidak mengubah trayek yang telah ada. Tampak bahwa inovasi ini didukung pengusaha angkot karena tidak menjadikan angkot TRON sebagai pesaing bagi pemain lama, melainkan menggunakan armada yang telah ada.
Di kota Tangerang, pemda akan memberikan subsidi untuk biaya operasional bagi pengusaha angkot yang memiliki izin operasi di wilayah tersebut. Meskipun masih dalam proses pembuatan payung hukum, nantinya pemerintah dapat mengatur rute trayek yang sebelumnya banyak bersinggungan dengan jalan protokol ke wilayah pemukiman.
ADVERTISEMENT
Di kota Bogor, upaya rerouting trayek juga sudah mulai dilakukan untuk mengatasi rute yang saling tumpang tindih. Wali Kota Bogor Bima Arya juga menyebut bahwa upaya ini dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas warga kota terhadap transportasi publik.
Begitu pun di Kabupaten Bogor, agenda pembenahan angkot direncanakan dan akan dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Meski dalam tahap perencanaan, ide besarnya adalah menjadikan angkot sebagai feeder bagi moda transportasi massal.
Sedangkan di Depok, sejauh ini pemda baru merencanakan proses peremajaan angkutan. Organda kota Depok sendiri juga sudah mulai mengusulkan agar pemda menerapkan kebijakan layanan angkot hingga ke wilayah pemukiman. Kita masih menunggu langkah serius pemkot Depok untuk membenahi angkot mengingat moda ini tidak lagi diminati oleh warganya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kita harus apresiasi inisiatif masing-masing pemda yang sudah mulai melakukan pembenahan angkot. Tanpa langkah awal ini, sulit rasanya untuk bisa mewujudkan integrasi sistem transportasi publik. Sebab, pembenahan angkot adalah cara yang tepat untuk mewujudkan skema integrasi transportasi umum, alih-alih menghapuskannya. Soal implementasinya, silakan masing-masing pemda berlomba-lomba dalam inovasi.
*Grady Nagara. Manajer Program NEXT Policy