news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mereka yang Ingin Hidup Lebih Baik

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
9 Juli 2020 11:35 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kampus Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kampus Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Barangkali Anda masih ingat nama Raeni, anak tukang becak yang meraih gelar sarjana ekonomi dengan IPK cum laude dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada 2014 silam. Siapa sangka kesuksesan Raeni tidak berhenti sampai di sana. Lulusan terbaik Fakultas Ekonomi Unnes itu kini telah meraih gelar setingkat doktor dari kampus di Inggris melalui beasiswa pendidikan milik pemerintah LPDP. Kisah inspiratif Raeni ini menunjukkan bahwa latar belakang sosial-ekonomi orang tua tidak menutup peluang kesuksesan seseorang selama memiliki tekad kuat dan perjuangan yang pantang menyerah.
ADVERTISEMENT
Tentu banyak orang yang ingin hidup lebih bahagia, sejahtera, dan sukses dibandingkan dengan apa yang telah dicapai orang tua mereka. Seperti Raeni, terutama mereka yang lahir dari keluarga miskin, satu-satunya modal yang dimiliki adalah tekad untuk berjuang dan semangat pantang menyerah. Raeni memang memetik hasil kerja kerasnya, namun sangat sedikit orang-orang di luar sana yang meraih nasib serupa seperti Raeni. Apakah karena mereka tidak berjuang seperti Raeni? Mungkin sebagian jawaban menunjukkan iya, tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Karena berjuang bagi orang miskin tidak serta-merta membuat mereka keluar dari status kemiskinannya. Masalah ini dalam kajian akademik disebut sebagai kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural adalah situasi di mana orang-orang miskin akan terus terjebak pada status miskinnya meskipun sudah bekerja keras siang dan malam. Pendidikan adalah contoh paling mudah untuk mengilustrasikan masalah struktural tersebut.
ADVERTISEMENT
Keluarga yang miskin tentu memiliki sumber daya (uang) yang sangat terbatas. Orang tua mereka hanya mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah dengan fasilitas serba minim, dan biasanya tidak dapat membiayai hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Banyak dari anak-anak mereka hanya lulusan SD, kemudian karena tekanan finansial, anak-anak itu membantu orang tua mereka bekerja. Sudah dapat dipastikan bahwa penghasilan anak-anak lulusan SD itu sangat minim, dan akhirnya mereka mengulang siklus kemiskinan yang dialami orang tuanya.
Dalam perspektif kritis, pendidikan pada akhirnya menjadi institusi yang menjalankan fungsi reproduksi sosial: pendidikan bagi keluarga miskin menghasilkan anak-anak yang kelak menjadi orang miskin juga. Tidak semuanya memang mengalami siklus menyedihkan itu. Karena kalau begitu, tidak mungkin kita mendengar berita menggembirakan dari sosok inspiratif seperti Raeni. Ada orang-orang yang berhasil keluar dari jerat kemiskinan orang tuanya seperti Raeni dan anak-anak beruntung lainnya, meskipun jumlahnya sangat sedikit.
ADVERTISEMENT
Hasil studi SMERU tahun 2019 menunjukkan bahwa anak-anak usia delapan hingga 17 tahun dari keluarga miskin memiliki tingkat pendapatan 87 persen lebih rendah dibandingkan anak-anak dari keluarga tidak miskin. Kemiskinan, menurut hasil studi itu, memiliki efek yang mirip seperti orang-orang dengan keterbatasan fisik pada pasar tenaga kerja: sama-sama memiliki penghasilan yang rendah.
Titik persoalannya terletak di mobilitas sosial. Orang-orang miskin hampir tidak memiliki daya dalam memobilisasi dirinya untuk keluar dari tekanan kemiskinan yang dialami keluarganya.
Problem Mobilitas Sosial
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Forum Ekonomi Dunia (WEF) mengeluarkan indikator kesejahteraan baru yang disebut Social Mobility Index (SMI) pada 19 Januari 2020. SMI ini mengukur mobilitas (pergerakan) status sosial individu apakah di atas atau di bawah orang tua mereka. Dalam pengertian absolut, SMI adalah kemampuan seorang anak untuk memiliki kehidupan lebih baik dari orang tuanya. Sedangkan dalam pengertian yang relatif, SMI adalah ukuran untuk menilai dampak latar belakang sosial-ekonomi terhadap kualitas hidup seseorang.
ADVERTISEMENT
Lima variabel yang menurut WEF sangat memengaruhi mobilitas sosial yaitu, kesehatan; pendidikan (akses, kesetaraan, dan keadilan); teknologi; pekerjaan (jabatan, upah, dan kondisi kerja); serta jaminan sosial dan institusi demokratis. Secara global WEF menemukan bahwa persoalan mobilitas sosial paling berat adalah upah murah, lemahnya institusi jaminan sosial, dan tidak berdayanya sistem pendidikan. Variabel-variabel ini saling berkelindan satu sama lain yang membuat masalah mobilitas sosial semakin kompleks.
Studi WEF menemukan bahwa kawasan nordik seperti Finlandia, Norwegia, Swedia, Denmark, dan Islandia adalah negara dengan nilai SMI yang paling tinggi. Sebagian negara Eropa juga memiliki nilai yang tinggi seperti Jerman dan Prancis, kemudian Kanada, dan disusul negara industri di Asia yaitu Jepang. Posisi terbawah diduduki oleh negara-negara di benua Afrika. Lalu bagaimana dengan posisi Indonesia? Kabar buruknya, negara yang baru saja dinobatkan Bank Dunia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, hanya meraih SMI dengan skor 49,3 atau berada di urutan ke 67 dari 82 negara yang dinilai WEF.
ADVERTISEMENT
Profil sosio-ekonomi masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan faktor-faktor pembentuk skor SMI sesungguhnya sangat menyedihkan. Kondisi kesehatan, akses, dan kualitas pendidikan hanya diberikan skor di kisaran 50. Institusi demokratis yang ditandai dengan rendahnya korupsi juga diberikan skor yang sama seperti kesehatan dan pendidikan. Paling buruk adalah variabel distribusi upah yang adil dan jaminan sosial, masing-masing skornya 26,3 dan 28,4. Upah murah memang menjadi problem paling pelik bagi sektor perburuhan di negara kita. Sedangkan jaminan sosial yang diwujudkan lewat institusi BPJS justru keteteran dan menaikkan iuran anggotanya.
Fakta menyedihkan lainnya adalah, negara-negara yang memiliki skor SMI rendah juga memiliki tingkat ketimpangan sosial yang tinggi. Hasil uji korelasi antara skor SMI dengan tingkat penguasaan kekayaan nasional terhadap satu persen penduduk paling kaya (publikasi Credit Suisse, “Global Wealth Report”) telah membuktikan fakta tersebut. Negara-negara nordik yang telah saya sebutkan memiliki distribusi kekayaan yang lebih merata. Sedangkan Indonesia dengan skor SMI relatif rendah, juga dihadapi ketimpangan sosial yang cukup serius. Ketimpangan dan skor SMI negara kita berdekatan dengan Thailand dan Turki.
ADVERTISEMENT
Ingin mengetahui seberapa parah tingkat ketimpangan kekayaan Indonesia? Silakan hitung perbandingan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dengan total kekayaan bersih (net worth) 50 orang-orang paling kaya di Indonesia menurut Forbes. Hasil simulasi saya untuk data 2018, menunjukkan rata-rata net worth dari top 50 adalah 654.571 kali dari PDB per kapita Indonesia.
Dengan kata lain, ketimpangan kekayaan (diukur dari pendapatan) sangat menentukan daya mobilitas sosial dari masyarakat di sebuah negara. Privilege (keistimewaan) yang hanya dimiliki anak-anak dari keluarga tidak miskin (bahkan kaya) masih sangat menentukan nasib kehidupan anak tersebut di masa depan.
Privilege Menentukan Segalanya
Raeni memang sukses dari hasil kerja keras dan bukan karena privilege keluarga. Tapi banyak anak selain Raeni justru terhambat akibat tidak memiliki privilege karena lahir dari keluarga yang miskin. Orang yang memiliki sumber daya finansial mampu menghidupi anak-anaknya dengan kualitas gizi, akses kesehatan, dan pendidikan terbaik.
ADVERTISEMENT
Mereka yang tidak miskin lebih mampu membiayai anak-anaknya sekolah hingga jenjang pendidikan tinggi. Anak-anak dengan modal ijazah pendidikan tinggi memiliki peluang untuk mendapatkan tingkat penghasilan jauh lebih tinggi dibanding mereka yang lulusan SMA, bahkan hanya lulusan SD.
Setiap orang memang ingin sejahtera, tapi semua orang tidak dapat menentukan takdirnya untuk lahir dari orang tua yang kaya. Disebabkan latar belakang keluarga tempat seseorang dilahirkan bersifat given (pemberian Tuhan), maka negara yang seharusnya bertanggung jawab untuk memastikan akses layanan dasar bagi mereka.
Kuasa anggaran triliunan yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan untuk mengatasi problem ketimpangan sosial dan menghadirkan akses seluas-luasnya bagi masyarakat. Dari sistem yang dibuat negara, kemampuan mobilitas sosial masyarakat akan semakin terberdaya.
ADVERTISEMENT
Sudahlah, jangan terlalu bangga jadi negara kelas menengah atas!
Grady Nagara. Peneliti Next Policy