Mewujudkan Kebijakan Publik Berkeadilan Sosial

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
14 Maret 2023 10:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Parlemen. Foto: Dino Januarsa via Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Parlemen. Foto: Dino Januarsa via Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Kebijakan publik pada dasarnya adalah pilihan aktif pemerintah untuk melakukan (actual) atau tidak melakukan (implied) sesuatu atas isu atau masalah tertentu. Sebagai pilihan, dalam praktiknya, terdapat keterbatasan-keterbatasan (dilema) pengambilan keputusan kebijakan publik berdasarkan apa yang diprioritaskan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Adanya pilihan dalam proses kebijakan publik sarat dengan hal-ihwal teknokratis seperti ketersediaan sumber daya, informasi, waktu, termasuk penerimaan masyarakat. Namun pada saat bersamaan, perimbangan teknokratis dalam kebijakan publik juga bertegangan dengan masalah-masalah politik seperti kepentingan partai, elit politik, serta tarik-menarik otoritas eksekutif-legislatif dalam negara demokrasi.
Kebijakan publik oleh karenanya tidaklah vakum atas kekuasaan dan ideologi tertentu. Ideologi pemerintah menjadi seperangkat keyakinan atau pandangan sebagai mental window yang menjadi dasar fundamental dalam pilihan-pilihan kebijakan publik.
Misalnya dalam penataan ruang kota, pemerintah melakukan relokasi warga (baca: penggusuran) sebagai pilihan aktif kebijakan. Alasannya adalah implementasi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang biasanya digerakkan oleh kepentingan bisnis sebagai mesin pertumbuhan (growth machine). Harvey Molotch menyebut bahwa ‘mesin pertumbuhan’ tidak melulu berkaitan dengan ekonomi an sich, melainkan juga perkembangan fisik/properti perkotaan.
ADVERTISEMENT
Orientasi pada pertumbuhan ekonomi dan perkembangan fisik sebuah wilayah adalah contoh keyakinan atau ideologi yang menjadi dasar pengambilan keputusan dalam berbagai pilihan kebijakan publik. Lebih dalam lagi, orientasi kebijakan untuk pertumbuhan sarat dengan paradigma choice utilitarianism (utilitarianisme pilihan) karena menekankan pada manfaat maksimal yang biasanya didasarkan pada perhitungan matematis (seperti angka pertumbuhan ekonomi dan Produk Domestik Bruto [PDB]) oleh para agen ekonomi.
Paradigma choice utilitarianism mendorong pemerintah untuk memilih kebijakan berdasarkan perimbangan pareto optimal: yaitu kondisi ketika alokasi sumber daya tidak mungkin lagi diubah untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku ekonomi (better off) tanpa mengorbankan pelaku ekonomi lain (worse off). Kementerian keuangan sebagai core dari kebijakan ekonomi Indonesia tampak berjangkar pada ideologi semacam itu.
ADVERTISEMENT
Pilihan dalam kebijakan publik memang muncul dari problem kelangkaan (scarcity). Ideologi yang berjangkar pada asumsi untung-rugi mendorong kebijakan yang semata memaksimalkan utilitas kendati harus mengorbankan sebagian kelompok lainnya. Dalam konsep kebijakan publik, kelompok yang dirugikan akibat pilihan kebijakan disebut sebagai unintended consequences (dampak tak bermaksud).
Persoalan dalam ideologi utilitarian justru menempatkan unintended consequences itu sebagai trade off atas pilihan kebijakan. Itulah mengapa antisipasi atas unintended consequences seringkali terbatas (asumsinya, mengubah alokasi sumber daya sudah tidak dimungkinkan karena dianggap telah mencapai pareto optimal).
Misalnya, warga terdampak penggusuran direlokasi (sebagai antisipasi) ke rumah susun yang cukup jauh dari tempat tinggal asalnya. Pemerintah seringkali abai atas persoalan sosial-ekonomi mendalam dari relokasi, karena biasanya, warga telah menjangkarkan kehidupan ekonominya (biasanya aktivitas ekonomi informal) di lokasi tempat mereka tinggal pada mulanya selama puluhan tahun. Relokasi, pada gilirannya, akan mematikan jantung aktivitas ekonomi warga.
ADVERTISEMENT
Perspektif Keadilan Sosial dalam Kebijakan Publik
Keadilan sosial menjadi alternatif ideologi kebijakan publik yang patut dipertimbangkan dewasa ini. Ideologi keadilan sosial menjadi gagasan yang paling dibutuhkan untuk mencapai keadilan sosial itu sendiri sebagaimana amanat UUD 1945 serta dasar negara Pancasila.
Premis utama dari ideologi keadilan sosial adalah mempertanyakan secara mendalam apa akar masalah dari ketidakadilan di dalam masyarakat. Akar masalah dari ketidakadilan itu tidak lain adalah problem struktural.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh John Rawls sebagai struktur dasar masyarakat (basic structure of society), yaitu cara institusi sosial utama mendistribusikan hak-hak dan tugas-tugas fundamental serta menentukan bagian keuntungan dari kerjasama sosial. Institusi sosial utama yang dimaksud Rawls mencakup pemerintah, ekonomi pasar, sistem pendidikan maupun sistem hukum.
ADVERTISEMENT
Melihat akar permasalahan secara struktural mendorong para pembuat kebijakan publik berpijak pada dua hal. Pertama, permasalahan itu adalah akibat perbuatan manusia; kedua, adanya perimbangan lintas-geografis dan melihat sejarah ketidakadilan lebih mendalam.
Dalam konteks relokasi warga perkotaan, sebagai contoh, alasan arusutama yang dimunculkan adalah bahwa kehadiran mereka akan menimbulkan masalah karena menghambat pertumbuhan ekonomi. Relokasi adalah antisipasi dari unintended consequences atas pilihan kebijakan yang berorientasi efisiensi pareto atau utilitas maksimal.
Dengan perspektif keadilan sosial, kehadiran suatu komunitas warga yang selama ini dianggap masalah akan dilihat secara struktural: apa yang menyebabkan mereka terkucilkan dari ruang sosial? Siapa yang bertanggung jawab atas proses eksklusi tersebut? Lebih penting lagi, mengapa mereka hadir dalam ruang sosial tersebut?
ADVERTISEMENT
Tujuan utama dari perspektif keadilan sosial dalam kebijakan publik adalah mentransformasi kekuasaan menjadi kekuatan (memberdayakan) kelompok-kelompok rentan. Seperti premis Rawls, keadilan sosial yang berlokasi pada struktur dasar masyarakat pada gilirannya menyasar keberdayaan dari kelompok-kelompok sosial yang selama ini terpinggirkan.
Kampung susun akuarium yang dibangun kembali melalui mekanisme partisipasi komunitas (community action plan) adalah contoh manifestasi perspektif keadilan sosial dalam sebuah kebijakan publik.
Sebagai kampung asli Jakarta, keberadaannya dalam ruang sosial termarjinalisasi akibat kebijakan pembangunan kota berorientasi pertumbuhan. Himpitan semacam ini menjadi ciri khas urbanisasi yang disebut oleh McGee sebagai “kotadesasi” yang belakangan menjadi istilah “desakota”.
Kebijakan penataan kampung kota berbasis partisipasi warga adalah wujud pemahaman struktural atas suatu masalah ketidakadilan. Hal ini mendorong pemerintah untuk mengambil pilihan kebijakan yang pro-warga, dan mengesampingkan ukuran-ukuran kuantitatif atas utilitas dengan menjadikannya sebagai unintended consequences.
ADVERTISEMENT
Perspektif keadilan sosial sangat penting untuk diungkit (leverage) dalam kebijakan publik berskala nasional. Pemimpin politik yang mengadiminstrasikan perspektif ini pertama-tama akan memberikan perhatian pada kelompok-kelompok terpinggirkan yang menjadi korban ketidakadilan struktural.
Kelompok itu termasuk warga yang selama ini ruang hidupnya hancur atas nama pembangunan, termasuk nasib Milenial-Gen Z yang kehidupannya terancam akibat kerusakan lingkungan dan tumpukan utang negara.
Pemimpin berkeadilan sosial akan menempatkan keadilan itu sendiri sebagai sarana sekaligus tujuannya. Jangkar ideologis semacam ini akan memandu pemimpin dalam mentransformasi kelompok-kelompok rentan menjadi warga negara yang berdaya melalui instrumen kebijakan publik.
Gagasan keadilan sosial dalam kebijakan selaras dengan perspektif yang digunakan oleh para pemimpin masa lalu ketika merumuskan konstitusi dan dasar negara. Secara nyata, perspektif keadilan sosial tercermin dalam pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan asas perekonomian adalah demokrasi ekonomi (kekeluargaan) yang di antaranya mesti berkelanjutan (sustainability) dan berwawasan lingkungan (ecology).
ADVERTISEMENT