Pendidikan (Seharusnya) di Era Digital

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
19 Maret 2021 22:14 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Siswa mengerjakan tugas sekolah di rumahnya di Pekanbaru, Riau, Kamis (16/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Rony Muharrman
zoom-in-whitePerbesar
Siswa mengerjakan tugas sekolah di rumahnya di Pekanbaru, Riau, Kamis (16/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Rony Muharrman
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Entah sudah berapa kali banyak orang, terutama para pejabat publik menggaungkan “kita berada di era digital”, “revolusi industri four point zero”, “inovasi”, “digitalisasi”, dan seterusnya. Kata-kata itu menjadi tema pidato, seminar, lokakarya, dan mantra di berbagai pertemuan. Segala permasalahan yang diangkat menjadi tema, selalu diikuti dengan frasa semisal “era digital” dan “revolusi industri 4.0”. Walaupun saya meyakini bahwa, para pejabat publik itu tidak memahami secara persis apa yang sedang mereka ucapkan.
ADVERTISEMENT
Saya mencari sumber di internet dengan kata kunci “pendidikan di era digital” dan belum mendapatkan jawaban memuaskan: seperti apa seharusnya pendidikan saat ini dijalankan? Semua penjelasan sangat normatif. Menyebut era digital sebagai tantangan bagi dunia pendidikan, di mana peserta didik haruslah kreatif, inovatif, dan kritis. Tapi sayangnya tidak ada proposal praktis dari apa yang seharusnya dilakukan. Menjelaskan latar belakang “era digital” pun hanya sebatas beralihnya aktivitas luring ke dalam cyberspace. Soal pendidikan, latar belakang penjelasan hanya terbatas pada beralihnya aktivitas belajar-mengajar tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Ironinya saya menemukan sumber-sumber normatif itu dari situs kementerian, baik dalam tulisan maupun tema-tema seminar. Ini menunjukkan bahwa pemangku kebijakan sejatinya tidak paham persoalan apa yang sedang dihadapi. Atau jangan-jangan justru gagasan normatif itu sengaja diproduksi guna melanggengkan suatu sistem pendidikan yang ujungnya menguntungkan kelompok masyarakat tertentu?
ADVERTISEMENT
Untuk itu saya berusaha untuk menjabarkan secara ringkas, apa masalah yang sedang dihadapi dan proposal praktisnya.
Cara Kerja Masyarakat Digital
Pertama-tama kita perlu mengetahui bagaimana masyarakat digital bekerja. Beralihnya sebagian besar aktivitas masyarakat ke dalam cyberspace adalah penjelasan yang menurut saya masih permukaan (the tip of the iceberg). Melihat dari penetrasi digital masyarakat Indonesia yang semakin tinggi, intensitas akses internet dan jumlah kepemilikan device seperti telepon pintar sering disimbolisasi sebagai “era digital”. Masalahnya itu semua tidaklah menjelaskan bagaimana masyarakat digital bekerja: bagaimana strukturnya dan apa yang menjadi basis kerjanya.
Masyarakat digital seringkali dikaitkan dengan konsep “masyarakat informasi” dan “masyarakat jejaring”. Manuel Castells dan Jan van Dijk lebih menekankan pada istilah network society (masyarakat jejaring). Walaupun istilah “informasi” juga sama pentingnya untuk menjelaskan apa yang diproses dan dikerjakan dalam masyarakat jejaring. Saya berusaha menjelaskan dalam suatu konteks sejarah singkat.
ADVERTISEMENT
Dahulu ketika revolusi industri berkembang, masyarakat telah melampaui transformasi teknologi yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Teknologi seperti telegram hingga telepon, kemudian transportasi seperti kereta uap, bahkan pesawat, termasuk bangkitnya media massa seperti koran-koran pada dasarnya membangun konektivitas antarmanusia. Jejaring konektivitas manusia semakin meluas di mana teknologi bertindak sebagai enabler. Dari sinilah masyarakat mulai mengenal istilah globalisasi karena teknologi seolah memisahkan sekat batas antarnegara (karena membangun konektivitas tersebut).
Baik jejaring maupun informasi pada dasarnya bukanlah hal yang baru. Tapi konektivitas dan pemrosesan informasi sebelum revolusi digital hanya sebatas memperluas konektivitas manusia. Van Dijk menyebut era ini sebagai mass society. Konektivitas antarindividu masih banyak terhubung di dalam institusi sosial yang mana individu terpaut kepadanya: keluarga, komunitas, hingga level negara.
ADVERTISEMENT
Membangun budaya kepatuhan dan disiplin bagi anak-anak jelas mudah di era tersebut. Sebab anak-anak hanya menerima nilai dan norma yang diajarkan oleh institusi sosial di sekitarnya. Orang tua di dalam keluarga, guru-guru di sekolah, dan para pemuka agama yang ada di lingkungan sekitar masih cukup efektif membangun karakter anak.
Ketika apa yang disebut “era digital” berkembang pesat, terutama sejak kebangkitan web 2.0 (media sosial dan rekanannya) jejaring di dalam masyarakat tidak hanya semakin meluas, melainkan juga semakin dalam. Individu-individu yang ada di dalam komunitas dapat terhubung dengan individu lain atau bahkan kelompok-kelompok yang tidak ada elemen belonging terhadap individu tersebut.
Inilah yang disebut sebagai masyarakat jejaring, dan informasi sebagai substansi kerjanya. Masyarakat jejaring adalah formasi sosial, atau kita sebut struktur masyarakat baru dengan derasnya arus informasi. Setiap individu memproses informasi dan merefleksikannya dengan membuat konten informasi baru.
ADVERTISEMENT
Castells menyebutnya sebagai mass-self communication karena orang-orang di dalam masyarakat jejaring dapat memproduksi konten informasinya sendiri. Sedangkan van Dijk menyebutnya gejala “individualisasi” di dalam masyarakat jejaring. Orang seperti Dadang Subur mungkin tidak pernah membayangkan dapat berurusan dengan pecatur internasional seperti Levy Rozman. Shock yang dialami Dadang Subur terjadi karena ada kontradiksi norma dan nilai antara lingkungan sosialnya dengan virtual space yang ia terlibat di dalamnya.
Lalu bayangkan kembali anak-anak di keluarga Indonesia. Walaupun tidak semua, gejala individualisasi sangat terasa karena mereka terhubung ke dalam virtual space. Dalam jejaring yang tidak lagi melulu terhubung ke keluarga atau sekolah, mereka mendapatkan beragam nilai, norma, dan sudut pandang baru dari ruang-ruang virtual. Informasi yang mereka proses tidak hanya dari keluarga atau sekolah, melainkan ruang virtual tempat mereka beraktivitas.
ADVERTISEMENT
Gim seperti Dota dan PUBG bukan hanya sarana hiburan bagi masyarakat. Melainkan juga menjadi ruang virtual di mana para pemain saling bertukar nilai dan norma, dan mereka memprosesnya dengan penafsiran masing-masing. Itulah mengapa Castells menyebut sifat masyarakat jejaring di era digital tidak lagi memiliki institusi otoritatif yang menentukan norma dan nilai. Norma dan nilai sebagai informasi yang diproses begitu beragam dan menyebar.
Pendidikan yang Semestinya
Situasi ini menjelaskan alasan banyaknya orang tua dan guru mengeluh karena anak-anak mereka sulit ditertibkan. Semisal makin banyak anak yang tidak patuh bahkan terkadang dianggap tidak sopan, bisa jadi karena memproses informasi dari ruang virtual yang bahkan tidak dipahami orang tua mereka. Padahal bisa jadi “pemberontakan” atau sikap yang dianggap tidak sopan terbentuk karena anak-anak memproses informasi baru di luar lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, kegagapan saat ini sebetulnya terjadi karena kesalahan sistem pendidikan yang telah tertanam bertahun-tahun. Sejak lama, pendidikan diarahkan untuk membangun budaya patuh dan diam. Pendidikan berjalan layaknya perbankan di mana para guru mendepositokan wawasan kepada anak-anak. Para guru melakukan ceramah dan memaksa anak-anak untuk menghafal berbagai konsep tanpa diberikan ruang berbeda pendapat. Jika berbeda pendapat, artinya mendapatkan nilai kosong, dan akibatnya tidak dapat naik kelas.
Lalu ketika masyarakat jejaring muncul, anak-anak memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi pengetahuan dari berbagai tempat. Pelajaran di kelas makin tidak berarti karena mereka dapat mengaksesnya dari ruang virtual. Karena toh, isi ceramah guru di kelas dengan mudah didapatkan dari internet (atau jangan-jangan justru sang guru browsing di malam hari sebelumnya).
ADVERTISEMENT
Alih-alih banyak orang menyebut era digital adalah tantangan bagi pendidikan, justru bagi saya situasi ini adalah bukti bahwa sistem pendidikan telah berjalan di atas rel yang salah sejak dulu. Lalu secara normatif pemangku kebijakan hanya menyebut pendidikan harus inovatif dan kreatif, dan tidak jelas bagaimana praktiknya.
Kenyataannya sistem pendidikan harus diubah secara radikal. Dugaan saya dimulai dari mengubah kurikulum. Guru-guru harus menerapkan cara pengajaran yang dialogis. Murid bukanlah subordinat bagi guru, melainkan mereka berada dalam posisi yang setara. Dalam proses belajar-mengajar, guru semestinya berdialog dengan para murid dan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk berbeda pendapat, mengkritisi, atau bahkan menggugat pengetahuan yang disampaikan. Guru bukanlah sumber pengetahuan, melainkan fasilitator yang membangun kesadaran para murid tentang pengetahuan dan realitas sosial yang mereka hadapi.
ADVERTISEMENT
Cara dialogis seperti ini jelas berbeda dengan model ceramah satu arah yang menekankan keseragaman pemahaman. Pengajaran dialogis memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mencari tahu berbagai pengetahuan dengan dasar berpikir kritis.
Itulah mengapa bagi saya, kesalahan sejatinya terletak pada sistem pendidikan, dan bukan semata-mata kesalahan teknologi digital. Apabila pendidikan dijalankan secara dialogis, di mana anak-anak dirangsang rasa ingin tahunya yang memang menjadi sifat asli manusia melalui berpikir kritis, tentu sergapan digitalisasi bukan menjadi masalah berat.
Para orang tua tidak perlu terlalu khawatir karena anak-anak mereka telah memiliki landasan berpikir kritis. Anak-anak dapat menggugat informasi dan pengetahuan baru yang mereka dapatkan di media sosial.
Saya membayangkan apabila setiap mata pelajaran dilandasi dengan metode pengajaran dialogis. Layaknya di universitas, anak-anak tidak diminta untuk menghafal rumus ataupun konsep-konsep, melainkan menalar sekaligus memiliki ruang untuk mengutarakan pandangannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Guru mengajarkan logika sebagai prinsip dasar matematika kepada para murid. Anak-anak tidak diminta menerima begitu saja bahwa 1 + 1 = 2. Melainkan guru memberitahu bagaimana proses logika matematis sehingga bisa mendapatkan jawaban itu. Lalu para murid diberikan kesempatan untuk menalar dan mungkin saja mengajukan argumen atau jalan logika yang berbeda.
Guru sejarah tidak memaksa anak-anak untuk menghafal kapan kerajaan Majapahit berdiri dan apa isi perjanjian Renville. Melainkan mereka menalar pengetahuan tersebut untuk memahami konteks peristiwa dan bagaimana perspektif ilmu pengetahuan dapat berbeda dalam menafsirkan sejarah.
Begitupun guru-guru mata pelajaran lain, yang dipraktikkan adalah pembelajaran dialogis guna membangun nalar kritis para murid. Dengan bekal nalar kritis, anak-anak menjadi lebih mampu berpikir bijak terutama memproses derasnya informasi. Ini adalah pondasi penting bagi bangunan literasi digital, yang belakangan ini sering digaungkan banyak orang.
ADVERTISEMENT
Para pemangku kebijakan, ironinya justru tampak enggan melakukan perubahan radikal ini. Padahal, konsep pedagogi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti “kepemimpinan anak”. Artinya, pendidikan harusnya direksional dan transformatif.