Saatnya Mengakhiri Privatisasi Air di Jakarta!

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
29 Juli 2019 10:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
PDAM DKI Jakarta
zoom-in-whitePerbesar
PDAM DKI Jakarta
ADVERTISEMENT
Tren pengembalian air sebagai barang publik yang sebelumnya di-privatisasi (remunisipalisasi air) di wilayah perkotaan secara global semakin meningkat. Hasil riset Transnational Institute (2014) menunjukkan kenaikan dari hanya 3 kasus pada 2000, menjadi 180 kasus di 2014. Remunisipalisasi air banyak terjadi di high-income countries yaitu sebanyak 136 kasus, sedangkan pada low and middle-income countries sebanyak 44 kasus. Di antara negara yang terbanyak adalah Amerika Serikat sebanyak 59 kasus, menyusul Prancis sebanyak 49 kasus yang termasuk di dalamnya, kota Paris.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, mengapa banyak kota di dunia yang menghentikan privatisasi air, dan mengembalikan “marwah” air sebagai barang publik yang idealnya dikelola negara?
Pada mulanya, banyak pemerintah lokal meyakini bahwa privatisasi air akan meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan air bagi publik perkotaan. Rumus ini muncul dari problem klasik pengelolaan barang publik oleh negara: inefisiensi dan kualitas pelayanan yang buruk.
Di Jakarta, PAM Jaya sebagai satu-satunya perusahaan negara pengelola air hingga 1990-an telah gagal menyediakan pelayanan air yang berkualitas kepada masyarakat. Total pengairannya bahkan hanya 40 persen dari populasi penduduk kota. Situasi ini dianggap tak lepas dari kekeliruan pemerintah lokal dalam pricing dan staffing yang berujung pada masalah finansial perusahaan, serta suntikan modal yang tidak digunakan untuk merehabilitasi ataupun meningkatkan sistem operasi pengairan (Braadbaart 2007). Intinya terletak pada mismanajemen.
ADVERTISEMENT
Bak malaikat, di tengah krisis yang dihadapi PAM Jaya, pada Juni 1991, World Bank dan Japan’s Cooperation Agency mengucurkan pinjaman hingga 92 juta USD. Kedua institusi ini mempromosikan agenda privatisasi air di Jakarta.
Singkat cerita, tahun 1997, secara resmi pemerintah memberikan konsesi kepada dua perusahaan swasta dalam pengelolaan air di Jakarta, yaitu PT. PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) untuk wilayah barat dan PT. Aetra Air Jakarta (Aetra) untuk wilayah timur.
Sampai dengan 25 tahun sejak saat itu, keduanya menjadi pemain penting dalam tata kelola air di DKI Jakarta.
Kegagalan Privatisasi Air
Menurut Transnational Institute (2014), penghentian privatisasi air di dunia hampir memiliki alasan yang seragam. Kota-kota besar di Afrika seperti Dar Es Salam, Accra, dan Maputo menghentikan privatisasi air karena performa buruk perusahaan swasta dalam mengelola air. Di Grenoble, Paris, dan Berlin, privatisasi dihentikan karena lemahnya transparansi keuangan dan sulitnya monitoring kinerja operator-operator swasta. Bahkan mantra privatisasi yang konon meningkatkan kualitas pelayanan tidak ampuh di Atlanta dan Indianapolis. Sebaliknya, di kedua kota tersebut pelayanan penyediaan air oleh perusahaan swasta sangat buruk.
ADVERTISEMENT
Di Jakarta, privatisasi air tak lepas dari problem di atas. Public Services International (2015) menyebut setidaknya ada empat permasalahan yang terjadi.
Pertama, tarif yang semakin mahal. Pada awal konsesi, tarif yang dikenakan yaitu Rp1.700/m3. Sebagai dampak dari automatic tariff adjustment policy, perlahan namun pasti tarif yang tercatat pada 2012 menjadi Rp7.020/m3. Tarif ini termasuk yang paling mahal dibanding kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, Bekasi, Makassar, dan Semarang.
Kedua, performa pelayanan yang buruk. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya keluhan pelanggan yang menyebut bahwa baik kualitas maupun pengadaan aliran air masih kurang memadai. Area pelayanan yang tercapai hanya 59,01%, di bawah target yang sebelumnya dicanangkan sebesar 66,37%. Dapat dibayangkan bahwa hanya setengah populasi Jakarta yang dapat menikmati air bersih. Sisanya? Bagi kalangan menengah atas barangkali membuat sumber pengairan sendiri masih bisa dilakukan (seperti penggalian sumur). Problemnya justru bagi mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah sangat jauh dari kata cukup untuk mendapatkan air bersih.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kerugian yang harus ditanggung negara, terutama PAM Jaya tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan. Pada 2019, temuan total kerugian yang harus ditanggung PAM Jaya mencapai Rp1,2 triliun yang berkaitan dengan kerjasama antara DKI Jakarta dengan perusahaan swasta. Jika dirunut pada masa-masa sebelumnya, seperti tahun 2011, aset PAM Jaya merosot dari Rp1,49 triliun menjadi Rp204,46 miliar. Fakta ini menjadi ironi karena di satu sisi PAM Jaya harus menanggung kerugian yang besar, sedangkan perusahaan swasta tersebut justru lebih mementingkan profit dibanding pelayanan publik.
Keempat, adanya kecenderungan korup karena abai terhadap transparansi dan akuntabilitas. Dalam catatan Public Services International (2015), sampai dengan 2013 dokumen kerjasama antara PAM Jaya dengan korporasi swasta tidak pernah diungkap di publik. Dalam investigasi majalah Tempo edisi 14-20 Juni 2014, pernah terjadi penyalahgunaan dana sebesar Rp561 juta melibatkan PAM Jaya dan korporasi swasta yang diduga berhubungan erat dengan pilkada DKI Jakarta 2012.
ADVERTISEMENT
Dampak serius lain dari privatisasi air adalah penurunan permukaan tanah (land subsidence). Hal ini dikarenakan privatisasi air mendorong warga Jakarta untuk menggunakan air tanah dalam jumlah massal. Sepanjang 2000 hingga 2010, rata-rata penurunan tanah yaitu sampai dengan 5 cm per tahun. Angka penurunan tanah ini jauh melebihi dari tahun-tahun sebelum adanya kebijakan privatisasi yaitu sekitar 1,9 cm per tahun. Diprediksi jika penurunan tanah ini tidak terkontrol, pada 2050, total penurunan tanah di Jakarta mencapai 6 meter.
Berbagai masalah di atas adalah bukti empirik yang menegaskan bahwa privatisasi air tidak pernah berujung pada peningkatan kualitas pelayanan. Air sebagai barang publik sudah semestinya dikembalikan kepada publik agar tidak terjadi pengurangan manfaat apabila dikonsumsi sebagian orang terhadap sebagian yang lainnya. Saat logika swasta masuk, yang terjadi justru hanya bisa dinikmati oleh sebagian orang saja. Itu pun dengan catatan mereka yang mampu menghadirkan keuntungan bagi perusahaan.
ADVERTISEMENT
Mengakhiri Privatisasi Air
Memutus kontrak bisa dibilang solusi progresif yang dapat dilakukan. Nyatanya itu dilakukan oleh banyak negara di dunia. Dalam skala global, sebanyak 92 kasus remunisipalisasi dilakukan dengan memutus kontrak sebelum masa expire, sedangkan 69 kasus dilakukan dengan tidak memperpanjang kontrak setelah habis masa. Bagi negara-negara yang memutus kontrak sebelum habis masa tentu saja ada kerugian yang harus bertambah sebagai kompensasi. Namun, dengan fakta bahwa sebagian besar kasus remunisipalisasi dilakukan dengan memutus kontrak, menunjukkan bahwa kerugian yang ditanggung akan lebih kecil jika dibanding dengan efek jangka panjangnya.
Pertanyaan berikutnya: apakah dengan mengembalikan sepenuhnya pengelolaan air kepada negara dapat memperbaiki kualitas pelayanan? Seharusnya bisa.
Prancis adalah salah satu negara yang bisa dijadikan contoh. Di Paris, remunisipalisasi air terjadi sejak Januari 2010 setelah masa kontrak dengan perusahaan Suez dan Venolia telah habis. Pada tahun pertama operasi, perusahaan air milik pemerintah kota, Eau de Paris, berhasil melakukan penghematan 35 Juta Euro, dan bisa menurunkan tarif hingga 8 persen. Remunisipalisasi di Paris ini menjadi simbol perlawanan atas privatisasi air mengingat kota ini adalah kantor pusat multinasional air di dunia – salah satunya Lyonnaise des Eaux yang telah mendapat konsesi di Jakarta melalui Palyja.
ADVERTISEMENT
Di Jakarta, desakan untuk segera mengakhiri privatisasi air semakin gencar dalam dekade belakangan ini. Pada 2013, Joko Widodo yang saat itu menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta pernah mewacanakan penghentian privatisasi air. Pendekatan yang digunakan oleh pemprov DKI kala itu adalah business to business: hendak membeli kembali Palyja dan Aetra melalui BUMD seperti PAM Jaya sebagai jalan tengah. Hingga beralih ke gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias BTP, tampak pemprov DKI masih belum berani mengambil langkah serius untuk menghentikan privatisasi air. Mengingat hingga 2016 (akhir kepemimpinan BTP), desakan untuk segera mengakhiri privatisasi air masih mengalir deras.
Padahal secara institusional, UU Sumber Daya Air yang sarat privatisasi telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, praktik privatisasi air di Indonesia, termasuk dalam hal ini di Jakarta dapat bermakna inkonstitusional. Terlebih pada 2017, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan kasasi yang menyatakan bahwa kerja sama antara PAM Jaya dengan perusahaan swasta adalah ilegal, dan pengelolaan air harus dikembalikan kepada PAM Jaya. Meskipun dalam perkembangan terbaru, MA mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Kementerian Keuangan atas putusan kasasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari polemik hukum yang terjadi, menghentikan privatisasi air sekarang juga adalah tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah DKI Jakarta, dan memang sudah saatnya. Memutus kontrak sebelum expire bisa dilakukan mengingat banyak pemerintah kota di berbagai negara telah melakukannya. Apalagi MK telah mengeluarkan keputusan no.85 tahun 2015 mengenai pembatasan dalam pengusahaan air. Keputusan MK ini menjadi alasan yang kuat untuk segera menghentikan privatisasi air.
Pada 2019, gubernur Anies Baswedan kembali mengangkat isu penghentian privatisasi air melalui skema perjanjian induk atau Head of Agreement (HoA) antara PAM Jaya dengan Aetra dan Palyja. HoA dianggap sebagai langkah awal untuk mengakhiri rezim privatisasi air di Jakarta.
Apakah gubernur Anies akan berhasil dengan segera untuk menghentikan secara total di periode kepemimpinanya? Menarik untuk disimak.
ADVERTISEMENT
*Grady Nagara. Manajer Program NEXT Policy