Konten dari Pengguna

Salah Kaprah Pembedaan Tarif KRL

Grady Nagara
Founder of Next Policy
29 Desember 2022 11:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
KRL memasuki stasiun Kampung Bandan, Jakarta Utara. Foto: Fasyah Halim/Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
KRL memasuki stasiun Kampung Bandan, Jakarta Utara. Foto: Fasyah Halim/Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Wacana kebijakan pemerintah untuk membedakan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) berdasarkan kelompok ekonomi patut dipertanyakan. Kendati tampak berpihak pada golongan miskin, kebijakan semacam ini sebetulnya sangat bermasalah.
ADVERTISEMENT
Pemberlakuan tarif lebih mahal bagi ‘orang kaya’ dikhawatirkan menjadi disinsentif yang membuat ‘orang kaya’ itu justru beralih menggunakan kendaraan pribadi sebagai basis mobilitasnya. Padahal sudah sangat jelas bahwa mobilitas berbasis kendaraan pribadi menimbulkan kekacauan, inefisiensi, dan berdampak negatif bagi lingkungan.
Subsidi transportasi publik justru bertujuan untuk meningkatkan penumpang. Artinya, penggunaan kendaraan pribadi dapat semakin berkurang. Bukankah menteri perhubungan (menhub) sendiri yang menargetkan penumpang KRL sebesar 2 juta per hari? Bagaimanapun, peningkatan penumpang ini tidaklah memperhatikan status sosial-ekonomi.
Memang benar bahwa subsidi tanpa pembedaan tarif tidak efektif dalam hal efek redistributif karena kelompok pendapatan yang berbeda mendapatkan subsidi yang kurang lebih sama. Namun sebagaimana kasus di Stockholm, subsidi tanpa adanya pembedaan (diskriminasi tarif) telah menekan dengan efektif penggunaan kendaraan pribadi dan meningkatkan jumlah penumpang. Tujuan subsidi bukan masalah redistribusi, melainkan mendorong agar transportasi publik menjadi basis utama mobilitas terutama di kawasan perkotaan. Orientasinya adalah keadilan ruang.
ADVERTISEMENT
Di sini juga tampak bermasalah cara pandang pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan. Sudut pandang yang ditonjolkan adalah biaya dari sebuah layanan publik, dan oleh karenanya, layanan angkutan umum seperti KRL dilihat dalam kacamata untung-rugi. Asumsinya jika mengeluarkan di satu area, akan ada area lain yang dikorbankan. Efisiensi anggaran ditempatkan sebagai tujuan.
Cara pandang kebijakan semacam ini jelas keliru serta menjebak para pembuat kebijakan sehingga tidak lincah dan dinamis. Pemerintah semestinya berambisi dalam mencapai apa yang dikatakan oleh Mariana Mazzucato sebagai public purposes. Tujuan publik yang intinya mengentaskan masalah publik itu sendiri. Dengan berambisi pada tujuan (mission-oriented), pemerintah akan mencari berbagai cara agar tujuan publik itu tercapai tanpa berkurang sama sekali. Pada saat bersamaan, ini mendorong pemerintah untuk lebih adaptif, inovatif dan kolaboratif.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Singapura baru-baru ini akan menaikkan tarif transportasi sebesar 1 sen untuk setiap perjalanan. Alasannya karena krisis energi global yang menyebabkan peningkatan harga energi hingga 117% dibandingkan tahun sebelumnya. Antisipasinya, pemerintah Singapura menyediakan bantuan berupa voucher angkutan umum bagi rumah tangga berpenghasilan menengah ke bawah. Yaitu rumah tangga yang pendapatan bulanannya tidak lebih dari 1.600 SGD.
Perhatikan ungkapan yang ditulis dalam situs resmi ministry of transport Singapura: “Untuk memastikan generasi yang akan datang terus menikmati layanan bus kota dan kereta berkualitas tinggi, kami harus memastikan bahwa sistem ini berkelanjutan secara finansial”. Kendati ada penyesuaian tarif, orientasi utama pemerintah Singapura tetaplah memastikan bahwa transportasi publik menjadi basis utama mobilitas warganya. Tidak bergeser sama sekali.
ADVERTISEMENT
Menjadi ironi di negara Indonesia – tentu tanpa harus membandingkan dengan Singapura yang tidak apple-to-apple – ketika pada saat bersamaan pemerintah justru mensubsidi mobil listrik. Diwartakan bahwa kebijakan subsidi mobil listrik itu akan dimulai pada 2023. Kebijakan ini justru menjadi insentif bagi peningkatan kendaraan pribadi, sesuatu yang sangat bertentangan dengan semangat penciptaan sistem transportasi publik. Logika umum sederhana: mengapa pemerintah harus bersikeras mensubsidi mobil listrik, bukan menggunakannya untuk meningkatkan kualitas transportasi publik tanpa harus membebankannya kepada warga?
Penyebutan istilah ‘orang kaya’ yang dikatakan menhub juga perlu ditelisik lebih lanjut. Apa ukuran ‘orang kaya’ di sini? Rata-rata pengeluaran per kapita Jakarta kurang lebih Rp2,3 juta berdasarkan angka 2021. Merujuk kriteria Bank Dunia, proporsi aspiring middle class dengan pengeluaran antara Rp532.000 – Rp1.200.000 per bulan adalah yang paling besar di Jakarta (44%). Proposi kelas atas hanya berkisar 1,2%. Proporsi yang kecil untuk kawasan aglomerasi urban juga mesti dilihat lagi angka pengguna KRL. Apakah nantinya ini signifikan?
ADVERTISEMENT
Persoalan pembedaan tarif secara teknis juga berpotensi menimbulkan masalah. Tidak adanya data terpadu terkait kondisi sosial-ekonomi membuat penetapan ‘orang kaya’ begitu problematis. Kekhawatirannya justru kelompok kelas menengah yang jelas bukan ‘orang kaya’ terkena dampaknya. Dengan wacana tarif hingga lebih dari Rp10.000, sebagaimana disebut di muka, menjadi disinsentif serius yang menurunkan jumlah penumpang KRL. Potensi untuk beralih kendaraan pribadi seperti sepeda motor menjadi lebih besar.
Kita harus memposisikan KRL sebagai transportasi publik. Penyematan kata ‘publik’ di sini jelas mengedepankan kesetaraan. Termasuk tidak ada pembedaan secara status sosial-ekonomi. Kebijakan diskriminatif hanya tepat jika didorong untuk menciptakan kesetaraan itu sendiri. Misalnya, tempat duduk prioritas bagi lansia, kelompok difabel dan ibu hamil; atau pemberlakuan gerbong khusus perempuan guna meminimalisasi kejadian kekerasan seksual. Pembedaan tarif berdasarkan golongan ekonomi justru menciptakan ketidak-setaraan.
ADVERTISEMENT
Subsidi yang maksimal terhadap transportasi publik menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap warganya tanpa terkecuali. Banyak studi yang menunjukkan bahwa subsidi ini mampu mengurangi kesenjangan sosial. Ini bukan hanya soal tarif yang dibayar ‘orang miskin’ lebih murah. Akan tetapi, eksternalitas negatif dari turunnya penumpang angkutan umum seperti KRL menimbulkan kesenjangan sosial pada situasi lain.
Semakin besarnya penggunaan kendaraan pribadi telah memperburuk ketimpangan karena justru ‘orang miskin’ yang tidak memiliki kendaraan terus-menerus menjadi warga kelas dua. Mereka dirugikan karena mobilitas mereka semakin terhambat dan berbiaya tinggi. Bukankah efektivitas dan efisiensi seharusnya menjadi milik semua tanpa terkecuali?