Sehat Susah, Sakit Lebih Susah

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
6 September 2019 9:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi rumah sakit. Foto: Pxhere
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rumah sakit. Foto: Pxhere
ADVERTISEMENT
Suatu ketika saya mampir di sebuah warung kopi. Kebetulan saat itu hujan turun dengan cukup deras. Karena belakangan Jakarta jarang sekali hujan, saya pun mengabaikan jas hujan yang biasanya disimpan di jok motor. Entah kenapa pagi itu saya keluarkan. Terpaksa saya melipir, memarkirkan sepeda motor tepat di depan warung kopi yang saya singgahi.
ADVERTISEMENT
Di sana, saya tidak sendiri. Selain bersama penjaga warung, di samping saya ada penjual mi ayam. Kebetulan ia hendak pulang, sama seperti saya, dan terlihat gerobak dagangan yang sudah dalam posisi tertutup di pinggir jalan. Maklum, sudah sore, sudah waktunya bergumul dengan keluarga di rumah, dan yang pasti, kami disatukan dengan alasan yang serupa; berteduh dari hujan yang kian mengganas.
Ia tidak memesan apapun. Hanya saya saja yang memesan kopi ‘sobek’ yang diseduh di sebuah gelas kecil. Di tengah lebatnya hujan, penjual mi ayam itu memulai pembicaraan kepada saya.
“Adik mau pulang ya? Pulangnya ke mana?” Saya hanya jawab singkat sembari tersenyum, “Iya, pak, ke arah Bogor.” Dia pun bertanya lagi, “Adik masih kuliah ya?” Saya menjawab, “Alhamdulillah pak, saya sudah lulus, dulu kuliahnya di UI.”
ADVERTISEMENT
“Wah, hebat ya jadi anak UI,” celetuk si penjual mi ayam, dan saya hanya membalas balik dengan senyuman. Tidak berkata apapun.
Tiba-tiba saja, ia mengeluh kepada saya, “Pemerintah keterlaluan ya, kok iuran BPJS mau dinaikkan,” saya masih diam. Memperhatikan kalimatnya dengan seksama.
“Keluarga saya di rumah ada lima orang; saya, istri, dan tiga anak saya yang masih sekolah,” lalu, saya pun memancing dengan pertanyaan, “Memangnya bapak bayar iurannya berapa sebulan?”
“Seratus dua puluh ribuan, dik, dan katanya kan, mau naik dua kali lipat.”
Segera saya mengecek, ternyata bapak ini membayar iuran untuk kelas III, yang artinya iuran per orangnya adalah Rp 25.500. Karena pembayaran iuran sesuai dengan jumlah anggota yang tertera di kartu keluarga (KK), bisa dipastikan, ia membayar Rp 127.500 per bulan. Artinya, jika dinaikkan sesuai rencana pemerintah menjadi Rp 42.000 per bulan, nantinya ia akan membayar Rp 210.000 per bulan.
ADVERTISEMENT
Agaknya ini cukup menarik perhatian saya. Mengapa ia tidak mendaftarkan diri untuk skema Penerima Bantuan Iuran (PBI)? Bukankah dengan begitu tidak perlu terbebani iuran bulanan? Pertanyaan-pertanyaan itu saya lontarkan dengan nada agak sedikit merendahkan. Dalam bayangan saya, si penjual mi ayam ini orang susah yang layak dibantu negara.
Jawabannya justru meruntuhkan stigma yang telah saya lontarkan dengan spontan sebelumnya. Ia memang mengaku ‘orang kecil’, tapi ia menganggap bahwa dirinya masih mampu untuk membayar iuran.
“Saya masih punya pekerjaan, dik, dan saya membayar iuran itu setiap bulan. Saya mau memastikan bahwa keluarga saya bisa terjamin kalau tiba-tiba sakit, ya, mudah-mudahan selalu sehat. Memangnya siapa sih, yang mau sakit?”
Jawaban ini membuat saya terkagum, bahwa ternyata kesadaran itu bisa tumbuh di dalam dirinya. Ini semacam pukulan telak bagi saya yang menganggap bahwa orang-orang miskin itu mau enaknya saja. Bayar iuran kalau terpaksa berobat, dan setelah sehat, tidak membayar lagi. Tidak, tidak, anggapan itu tidak berlaku bagi dirinya.
ADVERTISEMENT
Alasan lain yang membuat ia memilih membayar iuran adalah soal kualitas layanan. Menurutnya, kalau gratis, layanannya buruk sekali. Dengan membayar, ia berpikir bisa mendapatkan pelayanan yang lebih baik daripada gratis. Walaupun sebetulnya, dalam hati saya bergumam, bukankah pembedaan kelas itu hanya soal ruang rawat inap? Tapi pertanyaan itu tidak saya sampaikan.
“Kalau naik dua kali lipat, itu lumayan sekali, dik. Uang seratus ribu itu sangat berharga bagi saya. Uang segitu bisa dibeli macam-macam untuk keperluan rumah. Kalau iurannya naik, itu artinya ada yang harus saya kurangi. Padahal, penghasilan saya itu sudah sangat pas sekali untuk kebutuhan sehari-hari, belum lagi harus beli bahan-bahan untuk jualan. Masa kita-kita yang sehat ini harus dibuat sengsara juga?”
ADVERTISEMENT
Wajahnya datar saja di depan saya. Lontaran kalimat-kalimat itu membuat saya bertanya pada diri sendiri: sakit itu memang menyusahkan, tapi, apakah saat sehat juga harus dibuat susah?
***
Tercatat, saat ini jumlah peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebanyak 223,3 juta jiwa, dan 82,9 juta jiwa di antaranya adalah peserta non-PBI. Jumlah peserta non-PBI memang lebih kecil dibanding peserta PBI, angkanya sekitar 37 persen. Bisa dipastikan bahwa negara harus menanggung biaya berobat bagi 63 persen peserta JKN.
Di antara peserta non-PBI, ada 32,5 juta jiwa peserta bukan penerima upah (PBPU). Jenis ini adalah bagi mereka yang tidak terikat dengan institusi tertentu secara formal, sehingga melakukan pendaftaran kepesertaan JKN secara mandiri. Sama seperti kisah penjual mi ayam di atas, mereka harus membayar iuran rutin kepada BPJS kesehatan, entah kelas I, II, atau III.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, para peserta yang rutin membayar dari PBPU hanya separuhnya saja. Jelas saja ini membuat BPJS semakin tekor. Tahun ini defisit BPJS kesehatan diperkirakan mencapai Rp 28 triliun. Naik signifikan dari realisasi tahun lalu yang defisitnya sebesar Rp 9,8 triliun. Kalau merujuk dari pengakuan pemerintah, rendahnya kepatuhan peserta dalam membayar iuran itu didominasi oleh pekerja di sektor informal atau memiliki upah tidak tetap.
Kenyataan ini cukup menarik. Jika kita merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, pekerja di sektor informal sebanyak 58,4 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Meski jumlahnya turun dibanding tahun-tahun sebelumnya, persentase itu bisa dibilang masih besar. Celakanya, di tengah rendahnya tingkat kepatuhan peserta, terutama pekerja sektor informal dalam membayar iuran, justru pemerintah ingin menaikkan besarannya. Bukankah ini sebuah paradoks?
ADVERTISEMENT
Yang lebih mengerikan lagi, cara negara untuk memaksa warganya adalah dengan pendekatan sanksi. Salah satu skema yang kabarnya akan dilakukan adalah door to door. Ibarat debitur yang mendatangi langsung ke setiap rumah orang-orang yang tidak mau membayar utang. Seketika saya teringat pada tetangga saya di perkampungan dekat rumah yang harus terjerat oleh utang berbunga. Mereka sangat takut sekali jika tiba-tiba dikunjungi oleh debt collector yang terkenal sangar dan terkadang membawa preman.
Tentu saya yakin pemerintah tidak akan sampai segitunya. Hanya saja kalau saya lihat, pendekatan sanksi untuk meningkatkan kepatuhan ini rasanya akan sulit efektif karena tidak menyelesaikan di jantung permasalahan.
***
Dari kisah obrolan saya dengan penjual mi ayam, saya merasa bahwa ada ‘lubang besar’ yang selama ini tidak diperhatikan dalam kebijakan menaikkan iuran JKN: sensitivitas terhadap kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah boleh jadi berbangga diri bahwa tahun 2018 yang lalu, angka kemiskinan di Indonesia mencapai titik terendah sepanjang sejarah, yaitu 9,66 persen. Itu berarti ada 25,14 juta jiwa yang dikategorikan miskin di negara ini.
BPS menetapkan garis kemiskinan adalah Rp 401.220 per kapita per bulan. Dengan indikator ini, penjual mi ayam yang saya temui tidak dikategorikan sebagai miskin. Ia mengaku bahwa rata-rata penghasilan bersih dalam satu bulan adalah tiga juta, dan itu melebihi batas kemiskinan keluarganya yang berkisar di angka dua juta – jumlah per kapita dikali lima anggota keluarga.
Tapi mengapa ia begitu terguncang dengan kabar kenaikan iuran JKN? Letak masalahnya adalah karena daya beli itu sangat sensitif, terutama pada kalangan yang berada di titik rawan kemiskinan. Mereka bisa sewaktu-waktu miskin apabila terjadi lonjakan harga-harga kebutuhan dasar, dan penjual mi ayam itu tidak sendiri. Masih ada 70 juta orang lainnya yang berada di titik nadir ini.
ADVERTISEMENT
Alih-alih melihatnya dari angka, saat kita menaruh empati pada masyarakat menengah ke bawah ini, sangat terasa sekali kesulitan-kesulitan hidup yang harus dilalui. Cerita tentang mereka yang mengeluhkan daya beli tidak hanya ditemui pada satu atau dua orang saja. Silakan turun ke kantong-kantong masyarakat kelas menengah bawah, banyak keluhan yang tidak terekam oleh angka-angka statistik.
Itu kalau mereka sehat. Jika ada anggota keluarga yang sakit, mereka akan lebih susah lagi. Sekali pun di-cover oleh BPJS, berobat yang harus memakan waktu bolak-balik dan jarak tempuh dari rumah ke rumah sakit itu membuat beban mereka bertambah. Biaya transportasi itu mahal, karena akses angkutan umum yang sulit. Belum lagi jika mendapat pengalaman tidak menyenangkan di rumah sakit karena pelayanan yang buruk.
ADVERTISEMENT
Saya sangat paham, pemerintah berada dalam situasi dilema. Beban BPJS kesehatan sudah terlalu besar. Apabila semua peserta patuh membayar iuran, itu saja dikatakan masih di bawah asumsi aktuaria. Dengan rendahnya tingkat kepatuhan, jelas saja jika pembengkakan defisit kian besar.
Di sisi lain, saya tidak habis pikir. Bisa-bisanya ada pejabat negara yang menyebut bahwa sehat itu mahal. Masyarakat dipaksa ‘ikhlas’ untuk menerima kenaikan iuran sebagai bentuk pengorbanan. Ini kan ironis sekali. Seolah-olah pemerintah tidak mau tahu dan menutup mata terhadap alternatif solusi yang lain.
Mengapa banyak peserta yang tidak membayar iuran? Apakah benar bahwa mereka adalah orang yang mau enaknya saja seperti yang dituduhkan? Bagaimana kaitannya dengan faktor-faktor lain, semisal, tingginya biaya hidup? Masa iya, mereka harus ditekan untuk hidup hemat sedangkan hidup mereka sendiri sudah ‘sangat hemat’?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan kompleksitas persoalan menjadi hilang begitu saja. Godaan untuk mengambil jalan pintas dengan menaikkan iuran dan meningkatkan sanksi bagi yang tidak patuh justru lebih besar.
Apakah pemerintah akan serius melirik masalah tarif layanan kesehatan, harga obat-obatan, dan alat-alat kesehatan yang kian membumbung tinggi? Padahal itu menentukan unit cost dari beban yang harus ditanggung BPJS kesehatan. Yang lebih serius lagi, apakah pemerintah telah membenahi sektor hulu layanan kesehatan yang sarat pasar bebas?
Ah, saya terlalu banyak bertanya. Toh, suara dari orang-orang tidak signifikan seperti saya, tidak punya pengaruh apa-apa. Hanya saja, saya begitu miris. Sudah saat sehat dibuat susah, sakit pun lebih susah.