Konten dari Pengguna

Ketika Emas dan Minyak Sawit Menyalakan Lampu, Tapi Lampu Tidak Menyinari Semua

Chester Zalfa O'berlin
Seorang mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah FEB manajemen
10 Juni 2025 13:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Chester Zalfa O'berlin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di Timika, saat matahari belum sempat menyentuh tanah, sekelompok pekerja tambang sudah mengikat tali helm dan menyelam ke dalam perut bumi.
ADVERTISEMENT
Di waktu yang hampir bersamaan, di Jayapura dan Jakarta, sekelompok manajer berseragam korporat membuka rapat efisiensi dengan proyektor yang berpendar. Papua menampilkan dua panggung: satu bergerak dengan keringat dan suara mesin berat, satu lagi bergerak dengan angka, margin, dan diplomasi kebijakan.
Namun, keduanya menari dalam irama yang sama: kompetisi global, inflasi domestik, dan tekanan efisiensi yang tak pernah surut. Di tengah narasi bonus tambang dan neraca ekspor sawit, ada suara lain yang pelan—para pekerja yang merasa mereka hanya roda cadangan dalam mesin besar bernama pembangunan.

Tak Semua Emas Menyejahterakan

Di tanah kaya tambang dan hutan seperti Papua, geliat ekonomi tidak pernah sederhana. Data terakhir dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa, meskipun Papua menyumbang nilai ekspor tambang yang tinggi, sebagian besar masyarakatnya belum merasakan peningkatan signifikan dalam kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Di balik kilauan tembaga dan emas yang terus mengalir dari wilayah pegunungan, ketimpangan sosial tetap mencolok. Laporan-laporan tahunan dari perusahaan besar seperti Freeport Indonesia mencatat peningkatan produksi, sementara laporan dari organisasi masyarakat sipil mencatat semakin intensifnya konflik lahan dan ketegangan antara pengusaha dan warga lokal.
Di lapangan, cerita-cerita tentang pekerjaan kasar, keterbatasan akses pendidikan, dan pengabaian terhadap suara masyarakat adat bukanlah hal yang asing. Dari sini, konflik antara kebutuhan manajemen usaha dan kehidupan sosial masyarakat Papua menemukan bentuk yang rumit—seolah dua dunia yang terus saling tarik ulur di tanah yang sama.
Ekonomi Papua dalam dua tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang paradoksal. Di satu sisi, Freeport dan sektor tambang mendominasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), menyumbang lebih dari 30% total ekonomi provinsi. Di sisi lain, banyak kabupaten di Papua Barat Daya dan Pegunungan tetap bertahan dengan pendapatan per kapita yang jauh di bawah rata-rata nasional.
ADVERTISEMENT
Inflasi Papua mencapai puncaknya pada awal 2024, didorong oleh harga logistik dan pangan akibat keterisolasian wilayah. Di tengah kondisi itu, UMKM terseok. Menurut catatan Dinas Koperasi Papua, lebih dari 600 UMKM tutup dalam satu tahun terakhir karena kesulitan bahan baku, rendahnya literasi digital, serta minimnya akses pembiayaan dari pusat.

Di Lapangan: Buruh Tambang dan Perkebunan yang Menanti Kepastian

Di balik kesepakatan kerja bersama Freeport 2024–2026 yang diumumkan penuh senyum, buruh tambang masih menyimpan rasa jemu dan lelah.
“Kesejahteraan itu bukan hanya gaji, tapi rasa aman dan dihargai,” kata Markus, operator alat berat asal Nabire.
Meskipun gaji tambang tergolong tinggi, banyak buruh asli Papua mengaku sulit naik ke jabatan teknis atau pengawas.
ADVERTISEMENT
“Kami tetap di lapisan bawah. Pelatihan ada, tapi kesempatan jarang,” ucapnya.
Sementara itu, di kawasan Tanah Merah dan Boven Digoel, masalah buruh lebih mendasar. Laporan organisasi Pusaka dan Greenpeace menyebutkan bahwa banyak petani lokal yang tanahnya digunakan untuk perkebunan sawit justru tidak menjadi bagian dari rantai ekonomi baru.
“Kami kehilangan hutan dan air, tapi tidak mendapatkan apa-apa selain pekerjaan borongan yang tidak menentu,” ungkap seorang warga Awyu dalam sidang gugatan lingkungan.

Manajemen: Di Antara Tekanan Ekspor dan Legalitas Sosial

Manajemen perusahaan tambang dan perkebunan menyadari tantangan besar. Kenaikan biaya operasional, fluktuasi harga komoditas global, dan ketatnya regulasi lingkungan membuat margin menyempit.
“Kami bukan tidak peduli, tapi perlu menjaga kelangsungan investasi,” ujar seorang petinggi perusahaan sawit yang enggan disebutkan namanya.
ADVERTISEMENT
Freeport, sebagai pemain besar, mulai menyusun program transisi pascatambang: pelatihan UMKM bagi karyawan menjelang pensiun, serta pembukaan jalur pelatihan teknologi digital bagi pemuda lokal. Namun, transformasi seperti ini memerlukan waktu dan komitmen lintas lembaga.

Titik Temu: Apakah Ada Meja yang Cukup Panjang untuk Semua?

Beberapa titik terang mulai terlihat. Sidang gugatan masyarakat adat Awyu menjadi momentum publik untuk meninjau ulang cara izin konsesi dikeluarkan. Pemerintah daerah mulai mendorong keterlibatan adat dalam skema plasma sawit. Di sisi tambang, ada program magang teknis untuk lulusan lokal, meskipun kuotanya masih terbatas.
Namun, mediasi belum menyentuh akar: pengakuan terhadap hak budaya, redistribusi nilai tambah, dan transparansi dalam pengambilan keputusan investasi. Sejauh ini, dialog masih sering terjadi antarmeja, bukan di satu meja yang sejajar.
ADVERTISEMENT

Penutup Reflektif: Siapa yang Diingat dalam Laporan Keuangan?

Papua mungkin menjadi halaman depan setiap laporan tahunan korporasi—dengan grafik ekspor, CSR, dan rencana keberlanjutan.
Namun, apakah dalam rapat itu, suara buruh kontrak, nelayan sagu, dan perempuan pemanggul kayu turut dipertimbangkan?
Apakah sistem ekonomi kita dirancang untuk memeluk semua, atau hanya memilih siapa yang boleh duduk dalam konferensi pers?
Sebab, sementara lampu tambang terus menyala sepanjang malam, di kampung-kampung sekitar, listrik masih padam sebelum makan malam selesai. Dan ketika jalan aspal dibuka untuk truk CPO, tak banyak yang tahu apakah jalan itu juga membawa anak-anak desa ke sekolah, atau justru makin menjauhkan mereka dari hutan dan tanah yang dulu mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Artikel ini ditulis berdasarkan data dari BPS Papua, laporan tahunan Freeport Indonesia, Pusaka Foundation, dan hasil wawancara lapangan fiktif yang digambarkan berdasarkan pola peristiwa faktual. Semua narasi disusun untuk menyampaikan kondisi sosial ekonomi Papua secara kritis dan berimbang.