Habibie Dalam Kenangan

Grathia Pitaloka
Girl Behind The Show
Konten dari Pengguna
3 Oktober 2019 9:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grathia Pitaloka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar dari @KomikFaktap
zoom-in-whitePerbesar
Gambar dari @KomikFaktap
ADVERTISEMENT
Habibie Dalam Kenangan
“Lihat saya berhasil melampaui catatan kemarin,” kata Bacharuddin Jusuf Habibie sembari menunjukan jumlah langkah yang sudah dia jalani pagi itu. Dengan penuh kehangatan beliau bercerita tentang olah raga yang baru saja dilakukan. Tak ada kecanggungan apalagi kejemawaan, meski pagi itu merupakan pertemuan pertama perdana kami. “Panggil saya eyang, kalian ini merupakan cucu yang akan meneruskan perjuangan saya membangun Indonesia,” kata Habibie, sesuai dengan yang diwanti-wanti Pak Rubijanto, asisten pribadinya.
ADVERTISEMENT
Habibie merupakan salah satu narasumber yang paling berkesan sepanjang karir saya sebagai wartawan. Demi bisa mewawancarai Habibie untuk program 1 Indonesia NET, saya harus bersiasat supaya dapat menaklukan orang-orang di sekitarnya. Mulai dengan menghadapi Rubijanto, asisten pribadi yang telah bekerja dengan Habibie selama lebih dari tiga dekade dan membuat filosofi dari setiap pertanyaan yang akan diajukan. Hingga melalui screening akhir dengan “diwawancarai” secara mendetail oleh alm Ahmad Watik Pratiknya. “Seandainya terjadi hal di luar kesepakatan, kamu sebagai produser yang akan saya kejar untuk bertanggungjawab,” kata Pak Watik setengah mengancam.
Ternyata para eyang di sekitar Habibie hanya galak di depan, setelah kenal mereka sangat ramah dan terkadang suka bercanda. Apa yang mereka lakukan semata-mata untuk menjaga Habibie. Mereka semua rata-rata sudah bekerja lebih dari satu dekade dengan Habibie. Sehingga tak terlihat lagi relasi kuasa di antara mereka, yang tampak hanya hubungan kasih sayang antar keluarga.
ADVERTISEMENT
Wawancara dengan Habibie dilakukan di beberapa tempat. Lokasi pertama pengambilan gambar adalah di Taman Makam Pahlawan, tempat jasad Hasri Ainun bersemayam. Setiap Jumat pagi, Habibie rutin mengunjungi pusara pujaan hatinya, membawakan bunga sambil mengenakan selendang yang terakhir Ainun gunakan semasa hidup. Di sana ia membaca doa, puisi bahkan bercakap. “Saya percaya Ainun di dimensi yang berbeda dapat mendengar kata-kata saya,” ujarnya dengan mata penuh binar.
Pulang dari makam, kami diajak bersantap siang. Ternyata selain mahir mengutak-atik rumus yang berkaitan dengan pesawat terbang, Habibie juga piawai memadupadankan bumbu dapur. Siang itu kami dihidangkan menu-menu andalannya mulai dari apel goreng hingga bubur manado. “Ayo coba,” katanya saat kamera masih menyala. Saya hanya mengangguk dan memberi isyarat akan mencicipi setelah syuting selesai. Tapi Habibie menggunakan hak “veto-nya” dengan terus menyodorkan piring berisi apel goreng, akhirnya kami pun menyerah. Dalam makan siang itu, Habibie juga berkenan melantunkan lagu favoritnya “Sepasang Mata Bola” dengan penuh ekspresi.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancara yang berlangsung hampir seharian itu, saya sedikit sekali mengajukan pertanyaan terkait politik. Hal itu saya lakukan sesuai kesepakatan dengan para aki. Namun di sela syuting, ketika kamera mati saya sempat “nakal” menanyakan ke Habibie kenapa dia belum membuat buku putih tentang semua hal yang dituduhkan kepadanya. Jawaban beliau, saya tidak mau menimbulkan polemik yang kontra produktif. Ia menuturkan, setelah purna sempat lebih banyak di Jerman ketimbang di Indonesia supaya tidak terlalu banyak orang yang sowan. “Nanti saya dikira sedang menghimpun kekuatan,” ujarnya sembari terkekeh.
Dari sana saya mengenangnya sebagai negarawan. Habibie tahu kapan Ia harus berhenti dan mengenyampingkan hasrat berkuasa (yang bagi sebagian orang menjadi candu) demi kepentingan yang lebih besar. Rela menjadi martir yang pembuka keran demokrasi. Selamat jalan Eyang, selamat berkumpul kembali dengan si Gula Jawa di surgaNya.
ADVERTISEMENT