Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perempuan dalam Pusaran Perkara
8 Desember 2019 12:53 WIB
Tulisan dari Grathia Pitaloka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang teman bertanya, mengapa banyak kasus penyalahgunaan kekuasaan disertai dengan terungkapnya perselingkuhan. Saya menjawab, kemungkinan pertama karena memang kebanyakan pemilik kekuasaan itu suka serong. Kedua karena kasus yang menjerat mereka akan lebih “renyah” bila diberi bumbu perselingkuhan.
ADVERTISEMENT
Sederhananya ambil contoh kasus yang sedang marak di media, “penyeludupan” motor Harley Davidson dan sepeda Bromton oleh bos maskapai plat merah. Kalau sekedar kasus penyeludupan yang dibahas maka khalayak yang peduli hanya para penikmat berita (yang mana jumlahnya tidak terlalu besar). Apalagi sampai saat ini kasus tersebut masih berada di ranah perdata (meski adanya kerugian negara membuka peluang kasus ini dibawa ke ranah pidana).
Namun ketika dibumbui tudingan perselingkuhan dengan pramugari, “daya ledak” perkara ini menjadi berlipat kali lebih besar. Tidak percaya? coba bandingkan dengan kasus dugaan suap yang membelit direktur utama (Dirut) sebelumnya. Tidak banyak yang tahu (atau peduli?) tentang kasus yang tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan turut menyeret pengusaha ternama Soetikno Soedarjo.
ADVERTISEMENT
Dengan memberikan bumbu perselingkuhan jangkauan publikasi perkara ini menjadi lebih luas. Tidak hanya menjadi konsumsi para penikmat berita, tetapi juga menjangkau emak-emak serta akun gosip anonim yang bukan pasar aslinya. Framing Pak Mantan Dirut menggunakan kekuasaan (dan uang negara?) untuk membiayai si selingkuhan membuat kasus ini meledak. Dalam waktu singkat kredibilitas Pak AA pun rusak.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa bumbu perselingkuhan membuat berita menjadi lebih meledak? Kemungkinan pertama, karena narasinya lebih sederhana ketimbang sederet Pasal di KUHPerdata atau aturan bea cukai yang njelimet. Kedua, mungkin karena kecenderungan kita menjadi misogini.
Misogini adalah rasa benci atau tidak suka terhadap perempuan atau anak perempuan. Kecenderungan misogini terlihat nyata pada ketimpangan pemberitaan terkait perselingkuhan keduanya. Si perempuan mendapatkan stigma berkali-kali lipat sementara laki-laki yang turut bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut tidak mendapatkan perhatian yang serius.
ADVERTISEMENT
Isu perselingkuhan Pak mantan dirut dan Mbak Pramugari mengundang kecaman dari netizen yang budiman. Dalam hal ini, si pramugari lebih banyak mendapat sorotan, mulai dari gaya hidup mewahnya hingga komentar yang menyerang fisik (body shaming).
Si pramugari digambarkan sebagai sosok serakah yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kuasa dan harta, sedangkan perilaku AA lebih banyak mendapatkan pemakluman. Seperti sudah menjadi kewajaran seorang laki-laki yang berlimpah harta menjadi gampang tergoda dan lemah iman.
Dari narasi tersebut, tampak jelas ketimpangan stereotip gender di masyarakat telah menyusup ke dalam perspektif media massa. Perselingkuhan yang sejatinya merupakan relasi pribadi yang sangat kompleks menjadi berita-berita pelakor yang sensasional.
Lalu bagaimana sebaiknya? menurut saya, mari kembalikan kasus ini ke perkara hukum semula. Bila memang terjadi korupsi, mari desak KPK atau Kejaksaan turun tangan. Terus si Mbak Pramugari bisa enak melenggang dong? Tentu tidak, ayo kawal aparat penegak hukum agar menyelidiki dugaan pencucian uang. Bila memang uang yang digunakan Mbak Pramugari terbukti milik negara, maka dia bisa terjerat hukum sebagai penerima pasif.
ADVERTISEMENT
Pasal 5 Undang-undang No 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menyebutkan, mereka yang secara pasif pun dapat turut dipidana. Bunyi pasal lengkapnya, setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.