Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Uni Arini yang 'B' Saja
1 November 2019 9:07 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Grathia Pitaloka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tepat di hari Halloween Arini (Della Dartyan) kembali. Setelah mengacak-acak hati Richard Ahmad (Gading Marten) dan meninggalkannya, kini pekerja teladan dari Love.Inc ini masuk ke dalam kehidupan Indra Tauhid aka Ican (Adipati Dolken), bujang lapuk berdarah Minang dan keluarganya yang tinggal di bilangan Jakarta Timur.
ADVERTISEMENT
Alkisah di usianya yang menginjak kepala tiga, Ican belum juga menikah (meski teratur kawin dengan cara “menyelundupkan” perempuan ke paviliunnya). Hal itu membuat Sang Bunda (diperankan dengan baik oleh Ratna Riantiarno) kalut. Sebagai perempuan Minang yang konservatif, anak yang belum menikah di usia matang merupakan sebuah beban. Kekalutan itu kian bertambah ketika salah satu teman pengajiannya bilang, jangan-jangan Ican menjomblo akibat doa yang ia panjatkan. Ketika Ican kuliah di Bandung, Ibunya memang pernah berdoa agar Ican dijauhkan dari perempuan dan zinah.
Karakter ibu menjadi tulang punggung cerita Love for Sale 2. Ia layaknya ibu-ibu kelas menengah di Indonesia pada umumnya: cerewet, rajin beribadah dan berulang kali mengatakan hanya ingin anaknya bahagia, sembari yang digunakan adalah standar kebahagiaannya sendiri. Ratna Riantiarno berhasil membuat sosok ibu yang menyebalkan menjadi amat nyata, sosok yang gampang ditemui di keseharian.
ADVERTISEMENT
Selain Ratna Riantiarno, dialog-dialog yang membumi menjadi kekuatan di film ini. Mulai dari sosok Ibu berulangkali yang menyuruh anaknya beribadah setiap tertimpa masalah hingga profesi PNS yang dianggap lebih mulia dibanding pekerjaan lain. Setting lokasi juga patut diapresiasi, benar-benar menggambarkan kehidupan kelas menengah di Jakarta.
Sayangnya pemicu perubahan sikap si Ibu dari sosok yang ekstra menyebalkan menjadi menjadi menyebalkan saja terasa kurang kuat. Sosok menantu idaman dengan kriteria Islami dan Padang banget tidak terwakili oleh sosok Arini. Tidak ada adegan yang menggambarkan sisi agamis Arini, demikian pula dengan definisi Padang banget yang terasa kabur. Satu-satunya alasan perubahan yang masuk akal adalah Arini cantik dan si ibu sudah terlalu ngebet untuk punya menantu.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti Richard Ahmad yang berhasil mentransfer rasa kesepian dan nelangsanya dengan paripurna. Di Love for Sale 2, kehilangan yang dialami Ican terasa datar dan “B” aja. Sosok Arini yang sepanjang film selalu tersenyum cringy juga kurang dieksplor. Mungkin karena pada film sekuel ini, Andi Bachtiar Yusuf lebih menekankan pada relasi keluarga, bukan romansanya (terlihat dari perubahan rating, dari 21+ menjadi 17+). Lebih dari itu, para figuran di Love for Sale 2 juga terasa seperti tempelan yang kalau dihilangkan tidak berpengaruh banyak pada cerita. Padahal geng tukang jahit Sikumbang cukup menarik untuk diulik (mungkin karena keterbatasan durasi juga sih).
Kesimpulannya: meski ceritanya tak sekuat yang pertama, Love for Sale 2 patut untuk ditonton. Setidaknya untuk sekadar mengingatkan bahwa pertanyaan kapan nikah itu menyebalkan!
ADVERTISEMENT