Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hukum dan Moralitas dalam Cakrawala Pemikiran Aristoteles
13 Mei 2020 15:17 WIB
Tulisan dari Gratianus Prikasetya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aristoteles adalah seorang filsuf dan juga pemikir ternama yang sangat mempengaruhi cakrawala pemikiran di Eropa pada masa kekaisaran Romawi. Ia lahir di Kota Stagira Wilayah Macedonia pada tahun 384 Sebelum Masehi. Pada usia ke-17 tahun ia pergi meninggalkan negeri asalnya menuju ke Athena, Yunani untuk belajar pada seorang filsuf yang bernama Platon selama 20 tahun. Pada tahun 342 Sebelum Masehi, Ia kembali pulang ke tanah kelahirannya dan menjadi penasihat sekaligus tutor bagi pangeran kerajaan yang kelak menjadi Alexander the Great. Pada tahun 336, ia kembali pergi ke Athena dan mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Lyceum dan berlokasi bersampingan dengan Platonic Academy. Walaupun ia adalah murid dari Platon, pemikiran-pemikiran serta karya-karya yang dihasilkan oleh Aristoteles cenderung bertolak belakang dengan pemikiran-pemikiran pendahulunya yakni Sokrates dan Platon sebagaimana dituliskan dalam Karya Platon yang berjudul Republic.
ADVERTISEMENT
Dalam kajian filsafat, perbedaan tersebut dapat dilihat pada teori mengenai “sesuatu yang ideal”. Menurut Platon konsep memiliki bentuknya yang universal sedangkan Aristoteles berpandangan bahwa bentuk universal tidak tepat dilekatkan pada pada tiap objek atau konsep, dan tiap contoh dari sebuah objek atau konsep harus dianalisis secara masing-masing. Pandangan tersebut akhirnya menjadi landasan sebuah ajaran yang disebut Empirisme Aristotelian. Bagi Platon, melalui pengalaman dan pemikiran saja sudah cukup untuk membuktikan sebuah konsep atau membangun kualitas dari sebuah objek, tetapi dalam hal ini Aristoteles membantahnya dengan mengatakan bahwa observasi dan pengalaman penting untuk dilakukan. Dalam ranah logika, Platon dikenal dengan menggunakan penalaran secara induktif sedangkan Aristoteles lebih menggunakan penalaran secara deduktif. Selain itu di bidang Etika, perbedaan pandangan antara Platon dan Aristoteles terlihat pada cara keduanya memaknai keutamaan. Bagi Platon yang merupakan seorang Sokratik, ia mempercayai bahwa pengetahuan adalah keutamaan itu sendiri, dan berarti bahwa dengan mengetahui hal benar untuk dilakukan akan membawa seseroang secara otomatis melakukan hal benar. Pandangan ini berimplikasi bahwa keutamaan dapat diberikan melalui pengajaran akan sesuatu yang benar kepada seseorang (kebenaran dari kesalahan dan kebaikan dari kejahatan). Pandangan Platon tersebut disanggah oleh Aristoteles bahwa dengan mengetahui yang benar saja tidak cukup, karena seseorang harus memilih untuk bertindak dengan sikap yang tepat untuk menciptakan kebiasaan melakukan yang baik.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya masih banyak hal yang dapat diperbandingkan dari kedua tokoh ini, namun mengingat terbatasnya waktu dan cakupan pembahasan, maka dalam tulisan ini perbedaan pandangan kedua tokoh tersebut hanya digunakan sebagai pengantar mengenal Aristoteles yang selanjutnya akan dibahas secara lebih mendalam pemikirannya, khususnya sebagaimana dituliskan dalam Buku II Ethica Nicomachea (E.N.) dan kaitannya dengan dasar-dasar pemikiran hukum dan moralitas.
Ajaran Aristoteles tentang Keutamaan
Sebelum membahas secara mendalam mengenai keutamaan serta kaitannya dengan hukum dan moralitas, penting dijelaskan bahwa literatur yang digunakan ialah Buku II Ethica Nicomachea yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh J.L Creed dan A.E. Wardman menjadi berjudul Ethics dan diterbitkan oleh Penerbit Signet Classics tahun 2003.
ADVERTISEMENT
Dalam Buku ke-2 Ethics, Aristoteles menguraikan panjang dan mendalam mengenai keutamaan (arete). Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Sokrates dan Platon yang merupakan pemikir pendahulu sebelum Aristoteles berpandangan bahwa keutamaan itu sama saja dengan pengetahuan. Pandangan itu tidak dapat diterima oleh Aristoteles, sebab menurutnya tidak cukup orang mengetahui apa yang baik, melainkan ia juga harus mewujudkan secara nyata dan konkret keutamaan tersebut. Pada awal Buku ke-2 Ethics dapat dilihat pentingya keberadaan moral dalam kehidupan manusia
“…There are, then two sorts of virtue (arete): intellectual and moral. Intellectual virtue is mostly originated and promoted by teaching, which is why it needs experience and time. Moral virtue is produced by habit, which is why it is called “moral”, a word only slightly different from our word habit…”
ADVERTISEMENT
Berdasarkan petikan tersebut, Aristoteles memperkenalkan dua macam keutamaan yakni keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual adalah keutamaan yang menyempurnakan akal budi seseorang sedangkan keutamaan moral adalah keutamaan yang mengatur watak seseorang. Secara prinsipil keutamaan moral adalah suatu sikap watak yang memungkinkan orang memilih jalan tengah antara dua ekstrem yang saling berlawanan, misalkan kemurahan hati adalah jalan tengah antara keborosan atau kekikiran. Keutamaan selalu merupakan pertengahan antara kelebihan dan kekurangan, dan baru menjadi sebuah keutamaan apabila seorang mempunyai sikap yang tetap untuk memilih jalan tengah itu. Proses penentuan jalan tengah antara satu orang dengan yang lainnya cenderung tidak sama. Berbagai faktor yang bersifat subjektif sangat mempengaruhi proses tersebut, karenanya akal budi dan rasiolah yang menetapkan jalan tengah itu dan hendaknya dilakukan dengan bijaksana. Di samping keutamaan moral, terdapat keutamaan intelektual yang mana Aristoteles membedakan dua fungsi akal budi yakni mengenal kebenaran (ratio teoretis) dan memberi petunjuk agar orang mengetahui apa yang harus diputuskan dalam keadaan atau situasi tertentu (ratio praktis). Berdasarkan kedua fungsi tersebut, Aristoteles membedakan dua keutamaan yang menyempurnakan akal budi yakni kebijaksanaan teoretis (sophia) dan kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan teoretis merupakan suatu sikap tetap, mengenal kebenaran secara tetap (keutamaan). Jalan menuju kebijaksanaan teoretis adalah jalan yang meliputi seluruh hidup sedangkan kebijaksanaan praktis (phronesis) adalah sikap jiwa yang tetap yang memungkinkan orang mengatakan dan menilai mana dari hal-hal yang konkret yang dianggap baik untuk hidupnya. Oleh karenanya phronesis inilah yang menentukan jalan tengah antara dua ekstrem, karena itu keutamaan moral yang sejati juga harus disertai dengan kebjiaksanaan praktis.
ADVERTISEMENT
Pada Buku Ethics keadilan diterima secara umum sebagai keutamaan moral. Hal tersebut dapat dipahami dengan cara, mendaku bahwa keadilan didefinisikan sebagai suatu keutamaan moral yang dalam Bab 6 Buku ke-11 Ethics didefinisikan sebagai jalan tengah antara dua ekstrem yang saling berlawanan, antara yang berlebihan dan yang kekurangan dan jalan tengah itu merupakan bagian integral dari definisi tentang keutamaan moral itu sendiri. Ada beberapa pendapat yang menganggap bahwa keadilan secara umum adalah keutamaan moral yang berimplikasi pada peran keadilan sebagai faktor penyebab yang penting dalam tindakan-tindakan yang adil dan hubungan antara keadilan sebagai keutamaan moral dan tindakan yang adil akan menjelaskan tindakan itu kepada kita. Masyarakat dapat menganggap bahwa sifat keadilan yang berdimensi sosial itu membuat keadilan menjadi sebuah keutamaan moral. Konsep keadilan dalam dimensi sosial sebagai sebuah keutamaan moral sepertinya tidak begitu saja dapat diterima sebab pada hakikatnya seluruh keutamaan moral mempunyai dimensi sosialnya sendiri, kendati berbeda tingkatan satu dengan lainnya. Beberapa keutamaan seperti keberanian, misalnya dipandang kurang mengarah kepada orang lain dan lebih mengarah kepada diri sendiri daripada kemurahan hati. Terkait hal ini Aristoteles memperkenalkan ajaran tentang “ketimbalbalikan keutamaan-keutamaan”. Banyak ahli memandang keutamaan-keutamaan moral terhubung satu dengan lainnya dan juga dengan keutamaan intelektual. Hubungan masing-masing keutamaan dan semua keutamaan adalah sedemikian sehingga seorang hanya dapat disebut memiliki satu keutamaan sepenuhnya bila dia juga memiliki semua keutamaan lainnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Aristoteles guna mengidentifikasi sebuah keutamaan, maka perlu dikaitkannya dengan aktifitas dan hukum. Bagi dia keadilan merupakan suatu gejala yang tergantung secara inheren pada suatu komunitas yang lebih besar dan pada hukum atau norma-normanya. Hukum adalah kerangka acuan bagi keadilan, yang dalam hal ini dapat dilihat pada Buku V Ethics yang menceritakan tentang hubungan seseorang dengan lingkungannya. Keadilan tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah keutamaan apabila dalam dimensinya tidak berhubungan dengan aspek sosial khususnya dalam hubungannya dengan relasi manusia. Aristoteles lebih mementingkan keaktifan sebagai unsur yang harus dipenuhi dalam keadilan guna menjadi sebuah keutamaan. Seseorang dapat berhubungan dengan orang-orang lain melalui interaksi yang bersifat aktif.
Keutamaan Moral dan Hukum
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penjelasan di atas, teori-teori mengenai keutamaan moralitas yang dipaparkan oleh Aristoteles tidaklah secara langsung menyinggung dan membahas kaitannya dengan teori hukum. Hal tersebut dapat dipahami karena pada zaman itu paradigma hukum belum seluas dan sekompleks saat ini. Pada saat itu teori hukum hanyalah dalam ruang lingkup polis atau lingkup negara kota yang cenderung lebih kecil. Walaupun demikian, konsep keadilan dan juga keutamaan moralitas yang berasal dari akal budi dan berperan sebagai penengah bagi manusia dalam kehidupan manusia sangat mempengaruhi para pemikir-pemikir selanjutnya seperti Thomas Aquinas yang pada akhirnya mengaitkan moralitas dalam ruang lingkup yang lebih konkret yakni hukum. Aristoteles hanya memberikan penjelasan untuk ruang lingkup luas yakni kehidupan manusia mengenai arti penting keutamaan moral. Apabila kemudian ditarik secara lebih mendalam dan mengartikan hukum sebagai produk interaksi manusia, maka dapat disimpulkan bahwa keutamaan moral berperan sangat penting baik di dalam proses permbentukan perundang-undangan maupun proses peradilan yang kerap menghadapkan para pemangku kepentingan menggunakan keutamaan moral sebagai jalan tengah untuk mengambil kebijakan yang diperlukan. Konsep ini tidak dapat diterapkan tanpa adanya keaktifan dari aktor-aktornya sebagaimana juga telah dijelaskan Aristoteles pada Buku V Ethics.
ADVERTISEMENT