Merefleksikan Kembali Hukum dalam Gejolak RUU KUHP dan KPK

Gratianus Prikasetya
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2019 23:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gratianus Prikasetya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertengahan September 2019 ini masyarakat dihadapkan pada suatu gejolak terkait Hukum Indonesia. Pada tanggal 18 September 2019 DPR melalui Komisi III dan Menkumham menyetujui untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“RKUHP”) menjadi Undang-Undang. Tepat dua hari kemudian yakni 20 September 2019, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo meminta penundaan pengesahan RKUHP tersebut dan memerintahkan Menkumham untuk melakukan analisis kembali terkait 14 pasal yang dianggap “bermasalah”. Alasan permintaan penundaan pengesahan RKUHP tersebut antara lain dikarenakan adanya desakan dari masyarakat yang menilai adanya potensi kriminalisasi berlebihan dan ancaman terhadap demokrasi serta kebebasan sipil. Selain adanya penundaan pengesahan RKUHP, Masyarkat Indonesia dewasa ini juga dihapakan pada suatu dinamika hukum lain yakni terkait keputusan pengesahan RUU KPK menjadi Undang-Undang oleh DPR pada sidang paripurna tanggal 16 September. Sebagian kalangan menilai keputusan pengesahan RUU KPK menjadi Undang-Undang tersebut akan membawa dampak pelemahan pada usaha pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Gambar diambil dari Liputan6.com
Sebagai sebuah pranata, hukum kerap dimaknai sebagai suatu hal yang bersifat netral. Netralitas hukum inilah yang kemudian dianggap oleh beberapa kalangan, khususnya aliran legisme sebagai satu-satunya sumber kepastian hukum. Hukum sebagaimana tertulis dalam teks peraturan perundang-undangan dianggap sebagai suatu yang pasti sehingga memiliki kekuatan terhadap subjek hukum. Salah satu contoh anggapan hukum sebagai suatu yang netral dapat dilihat Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah ada. Hal ini kemudian dikenal sebagai Asas Legalitas yang dalam bahasa latin kerap disebut nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali. Berdasarkan asas tersebut, hukum terlihat seperti panglima yang memiliki kuasa untuk menentukan nasib rakyat dan pasukannya,
ADVERTISEMENT
Asas Legalitas tersebut tidak lepas dari pandangan positivisme hukum yang menjiwai sistem hukum common law sebagaimana diperkenalkan oleh Austin. Menurutnya hukum terdiri dari tiga unsur yakni perintah, sanksi, dan kedaulatan (Austin, 1832). Pada sistem hukum di Indonesia tiga unsur tersebut terlihat jelas dalam norma-norma peraturan perundang-undangan. Seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia berisikan norma berupa perintah dan sanksi bagi yang melanggarnya dan juga dibuat dalam lingkungan Negara Republik Indonesia yang berdaulat. RKUHP dan RUU KPK yang menjadi gejolak belakangan ini juga termasuk ke dalam kategorisasi hukum menurut pandangan positvisme hukum. Kedua produk hukum tersebut secara tidak langsung melalui perspektif positivisme hukum bertransformasi seolah-olah menjadi sesuatu yang bersifat otonom dan netral.
ADVERTISEMENT
Pandangan mengenai netralitas hukum ini tidak lepas dari teori Hans Kelsen yang menyatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang otonom dan murni,sehingga tidak mungkin terdapat pertentangan antara hukum dan norma karena keduanya adalah hal yang terpisah (Kelsen, 1945). Pendapat mengenai netralitas hukum sebagaimana disampaikan oleh Kelsen tersebut sebenarnya tidak dapat dijadikan satu-satunya teori untuk menyimpulkan netralitas hukum. Hampir sejalan dengan Kelsen, Joseph Raz juga beranggapan bahwa hukum harus diidentifikasi hanya dengan menggunakan terminologi hukum itu sendiri tanpa bergantung pada hal lainnya (Raz, 1979). Anggapan Kelsen dan Raz mengenai hukum yang murni dan otonom tersebut apabila dicermati lebih mendalam merupakan bentuk pembelaannya terhadap ilmu hukum yang tidak pasti atau obscure (Douglas-Scott, 2013).
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah produk yang diciptakan oleh manusia, rasanya hampir mustahil hukum dapat dikategorikan sebagai sebagai sesuatu yang otonom dan netral. Hal ini dapat dilihat pada dasar terbentuknya hukum itu sendiri. Menurut Derrida hukum adalah sebuah produk yang muncul sebagai bagian dari pemaknaan akan sebuah teks yang tidak menutup kemungkinan lahirnya pemahaman-pemahaman tertentu di luar teks tersebut (Balkin, 2010). Pembangunan kerangka pemahaman hukum yang berdasarkan teks hukum seperti ini akan menghasilkan pemaknaan yang lebih objektif dan meluas. Derrida menjelaskan bahwa pemaknaan meluas tersebut dapat muncul karena adanya suatu elemen yang disebut difference” atau dalam Bahasa Perancis “differance”. Ia mendeskripsikan Differance sebagai dua buah pergerakan berlawanan yang terlihat dalam pemaknaan sebuah kata sehingga mampu menghasilkan pemahaman yang objektif dan luas. Hal ini kemudian menghasilkan suatu pemahaman dimana hukum tidak dapat secara sederhana diartikan sebagai kehendak dari orang banyak, sebab tidak ada yang dinamakan “orang banyak” atau “masyarakat” sampai dengan adanya konsep “us” dan “others” serta “kawan” dan “musuh”(Beilefeldt, 1996).
ADVERTISEMENT
gambar ilustrasi dari quora.com
Interpretasi terkait apa yang dimaksud hukum dan apakah RUU KUHP serta RUU KPK masuk ke dalam suatu produk yang otonom merupakan sebuah diskursus yang sangat kompleks dan tidak dapat disimplifikasi kesimpulannya. Proses penciptaan dan munculnya RUU KUHP, RUU KPK, dan juga hukum lainnya juga tidak dapat dilihat hanya sebagai sebuah proses legislasi biasa. Melalui pendekatan post-modern, Hukum Indonesia yang di dalamnya termasuk RUU KUHP dan RUU KPK hanyalah sebuah produk yang tercipta melalui sebuah proses panjang yang saling sambung menyambung dan tidak berhulu. Proses inilah yang menyebabkan hukum layak untuk dikatakan sebagai suatu produk yang lahir secara misterius dan tidak diketahui (The Mystical Authority of Law).
Maka dari itu perdebatan dan gejolak hukum terkait RUU KUHP dan RUU KPK yang terjadi belakangan ini patut direfleksikan sebagai suatu hal yang obscure. Pertama, objek yang menjadi pemicu gejolak adalah objek yang sebenaranya patut dipertanyakan netralitasnya, Kedua, apabila netralitas hukum belum bisa terjamin maka perdebatan yang timbul karenanya hanya akan menciptakan sebuah interpretasi baru yang melibatkan aspek subjektifitas. Subjektifitas inilah yang kemudian menciptakan difference baru dan membuka interpretasi lain pula. Sebuah pertanyaan reflektif mengenai hal ini ialah “apakah sesunguhnya yang menjadi sumber gejolak dalam fenomena RUU KUHP dan RUU KPK ini?”.
ADVERTISEMENT