Merajut Rumah dan Menari bersama Alam

Dr.-Ing.Greg Wuryanto, M.Arch
Dosen Perancangan Arsitektur, Universitas Kristen Duta Wacana.
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2018 18:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr.-Ing.Greg Wuryanto, M.Arch tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wilayah Cincin Api Pasifik (Foto: USGS via Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Wilayah Cincin Api Pasifik (Foto: USGS via Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Sebuah fakta yang patut disadari tentang realitas bumi Nusantara adalah keberadaannya sebagai kawasan yang ditopang oleh jalur cincin api (ring of fire) dunia. Nusantara adalah simpul jalur pertemuan lempeng tektonik Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia.
ADVERTISEMENT
Maka, adalah sebuah keniscayaan bahwa aktivitas geologis menjadi ancaman laten. Fenomena geologis berupa pergeseran lempeng tektonik dalam rentang dan karakter waktu tak terduga telah melahirkan sebaran padat titik-titik episentrum di sekujur kepulauan Nusantara dalam segala skala magnitudonya.
Ancaman kerusakan terhadap lingkungan buatan sebagai akibat gempa tektonik menjadi periode reflektif bagi mereka yang terdampak. Jejak refleksi empiris dari peradaban yang berdiam di tanah penuh potensi gempa ini telah terekam dalam rupa-rupa konstruksi rumah-rumah tradisional nusantara.
Konstruksi bentuk rumah tradisional memperhatikan betul sistem sambungan konstruksi yang responsif terhadap perilaku beban gaya lateral akibat gempa. Sambungan dengan konstruksi ikatan, maupun sistem persendian dengan beragam model purus dan pen adalah sebagian kreasi logis sistem konstruksi yang menjadi local genius.
ADVERTISEMENT
Dalam kesadaran empiris inilah, bangunan rumah Nusantara dibentuk dalam pemahaman sebagai konstruksi yang tidaklah terlalu kaku atau rigid. Konstruksi rumah tradisional adalah sistem yang sengaja didesain dengan menyediakan celah bagi pergerakan terbatas bagi elemen-elemen strukturnya.
Konstruksi sambungan didesain sebagai sendi-sendi lentur yang memungkinkan tubuh rumah bergoyang seolah menari mengikuti gerak lateral gempa. Dalam rahim kearifan arsitektur lokal inilah bertumbuh konstruksi pengetahuan desain yang berfokus pada apa yang disebut sebagai tektonika arsitektur.
Tektonika arsitektur membincangkan the art of construction; tentang kualitas estetik konstruksi. Sistem struktur menjadi bentuk ekspresi tektonik yang tidak hanya berperan dalam menyalurkan beban-beban pada elemen-elemen struktur, melainkan juga menjadi medium bagi artikulasi sistem sambungan (joint system) dengan perlakuan material konstruksi secara benar dan jujur.
ADVERTISEMENT
Perilaku gaya dan penyaluran beban struktur menjadi sebuah proses yang jernih dan logis ketika ditransformasikan ke dalam beragam ekspresi bentuk sambungan dan detail konstruksi.
Jika arsitektur rumah tradisional nusantara dibicarakan dalam perspektif tektoniknya, maka peradaban nusantara akan berkisah kepada kita tentang bagaimana cara menegosiasikan posisi teguh berdiri di tengah gerak alam yang tak tentu.
Leluhur nusantara telah belajar bahwa kekuatan alam tidak harus diimbangi atau bahkan dilawan. Alam hanya butuh dimengerti dan disikapi dengan jernih penuh kesadaran atas batas-batas yang ada.
Rumah bulat masyarakat adat Mollo (Foto: Instagram/@bertinakbar)
zoom-in-whitePerbesar
Rumah bulat masyarakat adat Mollo (Foto: Instagram/@bertinakbar)
Dalam keterbatasan kita, sikap lentur dan kemampuan bernegosiasi terhadap situasi menjadi signifikan. Lihatlah penggunaan material pada rumah-rumah tradisional nusantara; semuanya diambil dari anugerah alam di sekitarnya. Kayu, bambu, tanah, batu, alang-alang bahkan bagian-bagian tubuh hewan ternak, menjadi referensi elemen bagi ditegakkannya sistem konstruksi rumah.
ADVERTISEMENT
Kesadaran kritis tentang keterbatasan alam dalam menyediakan kekayaan material ini pun telah menjadi bagian dari terbentuknya local genius.
Secara sistematis, melalui tradisi pamali dan tabu yang diikuti beragam persyaratan adat, kearifan nusantara telah membatasi eksploitasi material dan mengajak manusianya untuk lebih cermat dan hemat dalam mengelola kekayaannya.
Sebagai contoh, upacara tarik batu di Tana Toraja dan Sumba yang masih mewarisi tradisi megalitik menjadi perkara yang sangat penting dengan persyaratan yang ketat. Batu ini diambil dari alam sekitar untuk kemudian dipahat sesuai dengan peruntukkannya sebagai bahan dasar konstruksi rumah atau pun keperluan konstruksi lain seperti kubur batu.
Upacara tarik batu ini dipenuhi dengan beragam persyaratan yang mengikat secara komunal. Strata sosial menjadi salah satu sistem yang membentuk klasifikasi syarat dan berapa besar sumber daya yang bisa diambil.
Rumah adat Lobo. (Foto: Antara Foto)
zoom-in-whitePerbesar
Rumah adat Lobo. (Foto: Antara Foto)
Di Tana Toraja, pendirian batu menhir hanya bisa dilakukan oleh keluarga bangsawan dengan persyaratan berupa upacara rapasan sapurandanan. Sebuah upacara adat dengan mengorbankan kurang lebih 24 ekor tedong (kerbau), yang satu di antaranya adalah kerbau belang (tedong bonga). Melalui sistem adat yang mengikat inilah, keberlangsungan penyediaan sumberdaya alam masih bisa dijaga atau dikonservasi.
ADVERTISEMENT
Adat dan tradisi tidak hanya mengatur tata cara mengambil dan memanfaatkan sumber daya semata, melainkan cara memperlakukannya pun menjadi sebuah capaian kualitas yang dibudidayakan menjadi kepekaan sekaligus keterampilan ketukangan.
Perlakuan material secara tepat, tentu akan berdampak pada pencapaian kualitas terbaik dari material tersebut. Waktu dan cara memotong kayu dan bambu, misalnya, adalah saat di mana perayaan syukur harus diikat pada komitmen untuk memastikan sumber daya tersebut terus ada.
Tektonika arsitektur pun meletakkan pendekatan pemahamannya dalam ihwal ketukangan ini. Keterampilan dalam menyambung material menjadi buhul (simpul) konstruksi menghasilkan kreasi rajutan pada titik sambungan dengan tali tambang atau rotan.
Rumah adat suku Sasak di Dusun Beleq, Sembalun (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rumah adat suku Sasak di Dusun Beleq, Sembalun (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Di lain situasi, alat pertukangan yang lebih maju mampu menciptakan peluang kreasi untuk artikulasi buhul dengan sistem pen dan purus. Rajutan tali pada sistem sambungan buhul memungkinkan terjadinya kualitas keuletan sambungan konstruksi yang memungkinkan fleksibilitas gerak jika terjadi tekanan gaya lateral gempa.
ADVERTISEMENT
Pilihan material seperti tali ijuk ataupun tambang, menjadi logis mengingat karakter bahan yang ulet dan makin rigid (kaku) jika mengalami intervensi yang membuatnya terikat makin erat. Material yang diikat oleh metode rajut ini juga cenderung aman terhadap patahan pada pertemuan buhulnya.
Pada sistem pen dan purus, ruang gerak tersedia dalam batasan. Sistem ini membuat kaku konstruksi pada saat penyaluran gaya-gaya normal. Sedangkan pada saat beban gaya lateral mendera, konstruksi rumah tradisional biasanya sengaja menyediakan satu atau dua bagian dengan buhul yang cukup longgar.
Pada titik inilah diharapkan respons lentur konstruksi dimungkinkan dengan toleransi geser dalam batas yang ditentukan. Jika memang gaya lateralnya berlebih, pada konstruksi rumah tradisional ada sebuah kearifan dengan membiarkan satu bagiannya lepas atau rusak.
ADVERTISEMENT
Biasanya pada titik ini dipilih material yang justru sangat lemah dan mudah bergeser. Prinsip ini dibentuk dengan maksud agar gaya lateral yang besar dibiarkan tersalur dan direspon cepat oleh bagian yang memang mudah rusak dan mudah bergeser, sehingga bagian lainnya menjadi lebih aman.
Inilah kenapa konstruksi rumah adat Sao Ria suku Lio di Flores maupun rumah adat Uma Mbatangu di Sumba Timur meletakkan begitu saja tiang-tiang konstruksi di atas batu-batu bulat besar (boulder stone). Hal ini dimaksudkan agar ketika gaya lateral menimpa konstruksi ini, maka bagian paling responsif yang membuat konstruksi rumah ini lentur bergoyang, menari bersama gempa, adalah titik sendi pertemuan tiang dan batu umpak ini.
ADVERTISEMENT
Dalam rentang tertentu konstruksi ini bertahan dengan ikut bergeser, hingga dalam hitungan sekian detik, jikalau harus bergeser maka konstruksi rumah itu hanya menyisakan lepasnya konstruksi batu boulder penahan utama konstruksinya.
Demikianlah tradisi nusantara mengajarkan pada kita sebuah narasi penting tentang bagaimana memahami gerak alam dan kemudian mengelolanya secara sadar kedalam sistem konstruksi rumah. Bukankah keterampilan merajut rumah dan menjadikannya mampu menari bersama gerak alam sangat inspiratif?