Flexing: Jalan Mencari Validasi

Gregorian Tambuk
Lulusan Politeknik Pos Indonesia Prodi D4 Logistik Bisnis Warehouseman at PT Enseval Putera Megatrading
Konten dari Pengguna
1 Maret 2023 17:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gregorian Tambuk tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pamer kekayaan atau flexing. Foto: Westend61/Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pamer kekayaan atau flexing. Foto: Westend61/Getty Images
ADVERTISEMENT
Budaya pamer atau lebih dikenal dengan flexing kini menjadi tren di negeri ini. Memamerkan barang mewah sudah menjadi hal lumrah yang sering dijumpai di media sosial seperti instagram dan tiktok. Media sosial seperti instagram dan tiktok menjadi platform terbanyak dalam menyalurkan aksi flexing oleh sebagian besar orang yang rata-rata adalah kaum remaja dan kaum dewasa muda.
ADVERTISEMENT
Sebelum kita membahas mengenai flexing lebih jauh lagi, kita harus tahu pengertian dari flexing terlebih dahulu. Flexing merupakan istilah yang digunakan untuk orang yang suka pamer kekayaan atau hal-hal mewah lainnya, memamerkan kekayaan tidak selalu dengan harta benda. Memamerkan foto-foto liburan ke tempat mewah dan mahal secara intens juga merupakan bentuk flexing.
Ilustrasi pamer kekayaan. Foto: Mallika Home Studio/Shutterstock
Latar belakang orang melakukan flexing ada beragam. Tapi yang paling utama adalah mencari validasi atau pengakuan dari orang lain. Dengan mendapatkan pengakuan orang lain, mereka akan merasa lebih superior dan percaya diri.
Lantas, mengapa mereka begitu percaya diri dan merasa superior?Padahal mereka hanya pamer di sosial media. Jawabannya adalah tekanan hidup yang tinggi di era sekarang membuat mereka lebih tertekan secara mental. Mereka merasa tidak memberikan kontribusi maksimal dalam hal yang dijalani, baik dalam karier maupun hubungan asmara. Ditambah lagi kecenderungan media sosial yang menampilkan konten-konten bertemakan kemewahan dan superioritas.
ADVERTISEMENT
Konten-konten mengenai kemegahan dan superioritas tersebut menjadi faktor utama yang membuat tekanan mental mereka menjadi semakin besar. Otak mereka seakan sudah terprogram untuk harus mengikuti gaya hidup tersebut, hingga akhirnya mereka mulai memaksakan diri untuk melakukan flexing agar terlihat mewah, elegan, dan superior. Mereka akhirnya mulai kebablasan, dan akhirnya ketagihan untuk flexing setiap hari hanya untuk validasi semata.
Pada awalnya, semua berjalan dengan baik. Namun lama-kelamaan flexing menjadi ajang perlombaan adu kemewahan dan superioritas yang nantinya berpengaruh terhadap kesehatan mental. Ketika tidak mampu lagi memamerkan hal-hal mewah dan berkelas, kepercayaan diri mereka akan menurun karena merasa tidak elegan dan berkelas. Hal ini dapat menjadi pemicu stres yang bisa berkembang menjadi depresi bila terjadi secara terus-menerus.
ADVERTISEMENT