news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mahasiswa President University dalam Konferensi Harvard

Konten dari Pengguna
27 April 2018 18:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gregorianus Charles tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mahasiswa President University, Yudi Ashari Putra, menjadi salah satu peserta Harvard Project for Asian and International Relations (HPAIR) Conference, sebuah konferensi gelaran Harvard University, kampus paling terkenal dan bergengsi di dunia.
Pada konferensi yang digelar di Harvard University, 17-21 Februari 2017, salah satu topik yang dibahas adalah Hukou Policy yang diterapkan di China. Hukou Policy merupakan kebijakan yang dianggap “apartheid” terhadap kelompok pekerja perkotaan yang ber-KTP luar daerah.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Hukou Policy dimulai di China sejak tahun 1950-an yang melekatkan layanan kesehatan dan sejumlah layanan dasar lainnya dengan tempat tinggal. Akibatnya, ketika China mengalami booming pembangunan dalam beberapa dekade belakangan, banyak warga desa yang menyerbu kota untuk bekerja sebagai kuli bangunan, pembantu rumah tangga dan pekerjaan informal lainnya.
Karena mereka tinggal tidak sesuai dengan KTP-nya, maka mereka pun tidak bisa mengakses sejumlah layanan dasar di kota tempat mereka bekerja. Sekitar 10.000 orang dilaporkan meninggal dikaitkan dengan sulitnya mendapatkan layanan dasar akibat kebijakan hukou.
“Para peserta panel ini menyepakati bahwa kebijakan itu melanggar hak-hak dasar warga negara dan merekomendasikan pencabutannya atau reformasi besar-besaran,” kata Yudi Ashari Putra.
Menurut Yudi, mahasiswa Program Studi Internasional Relations, President University, bahasan tersebut terasa dekat dengan kondisi Indonesia saat ini meski tidak sepenuhnya sama.
ADVERTISEMENT
“Membicarakannya dengan para delegasi 50-an negara dan pembicara yang sangat kompeten merupakan pengalaman luar biasa. Saya mendapatkan pengalaman langsung bagaimana masalah sekompleks ini dikuliti dan dianalisis,” kata mahasiswa kelahiran 1994 ini.
Bercita-cita menjadi diplomat, yang masa kecil dan remajanya ia habiskan di Desa Sukajaya, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan. Di tempat inilah ibunya yang seorang buruh tani terus menerus memompakan semangat kepada Yudi yang memang rajin belajar.
Yudi bersyukur lolos menjadi salah satu peserta Konferensi ke-25 HPAIR. Bukan hanya membahas studi kasus, Yudi dan 300-an peserta lainnya juga berkesempatan bertemu sejumlah petinggi PBB, seperti Direktur Pelaksana United Nations International Children's Emergency Fund (Unicef) dan Direktur Pelaksana UN Women.
“Eksposur terhadap ajang seperti ini sangat penting bagi mahasiswa hubungan internasional. Bukan hanya mendapatkan data-data terbaru, saya juga belajar tentang cara berkomunikasi para pemimpin tersebut dan tentunya menjalin jejaring dengan peserta lainnya,” kata bungsu dari 3 bersaudara ini.
ADVERTISEMENT
Bagi Yudi, menghadiri konferensi ini seperti melakukan magang di lembaga PBB. Bukan hanya mendapatkan materi dari para dosen Harvard University, Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan sejumlah petinggi PBB seperti Direktur Pelaksana United Nations International Children's Emergency Fund (Unicef) dan Direktur Pelaksana UN Women, Yudi juga berkesempatan mempraktikkan resolution drafting secara langsung.
Sesi guest lecture oleh Direktur Pelaksana Unicef sangat membekas bagi Yudi. Nara sumber menceritakan kondisi anak-anak di wilayah konflik di Afrika. Kebanyakan lingkar lengan mereka adalah yang terkecil dibanding anak-anak dari daerah lain. Hal ini menunjukkan bahwa konflik sangat membuat siapa pun menderita, terutama anak-anak.
Sesi ini sangat membantunya yang sedang menulis skripsi tentang “the roles of Unicef in protecting the life of children in Syria during the current civil war”.
ADVERTISEMENT
Tentu saja untuk berpartisipasi dalam konferensi ini tidaklah mudah. Ribuan peserta, termasuk lulusan S2 atau para staf perusahaan multinasional, mendaftar dan hanya sebagian saja yang lolos ke tahap wawancara.
Dalam konferensi ini pula Yudi dan delegasi lainnya ditantang memecahkan studi kasus hukou policy tersebut secara berkelompok (1 tim terdiri dari 3-5 orang). “Di sini saya belajar resolution drafting secara nyata,” ujar mahasiswa akhir asal Lampung ini.
“Lingkungan berbahasa Inggris di President University membantu saya perform dengan baik dalam konferensi ini. Pergaulan saya dengan mahasiswa asing di President University membuka mata saya tentang perbedaan budaya dan sudut pandang, sebuah pemahaman yang harus dimiliki bagi mereka yang berinteraksi di forum global seperti ini,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sumber: https://today.line.me/id/pc/article/e9e763388be2c2c54a81728fde8e0bdf65323eb5dd03dc4a8aefc17401d3390a