Konten dari Pengguna

Lulus Tetapi Tidak Kompeten?

Grienda Qomara
Peneliti Indenpenden
4 November 2021 13:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grienda Qomara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Photo: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gelar sarjana tidak menjamin generasi milenial mendapatkan pekerjaan yang layak.
ADVERTISEMENT
Faktanya, proporsi pengangguran di Indonesia yang bergelar sarjana cukup signifikan. Tahun 2019 BPS mencatat 6-7 persen sarjana menjadi pengangguran. Persentase ini berada lebih besar dibanding pengangguran lulusan SD (2,7 persen) dan SMP (5 persen).
Secara statistik, sebanyak empat juta millenial menjadi pengangguran pada tahun 2017. Data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Agustus 2017 oleh Badan Pusat Statistik menyebutkan, secara keseluruhan terdapat sekitar 7,04 juta pengangguran di Indonesia dari 128,6 juta angkatan kerja yang tersedia. Dari 7,04 juta orang tersebut, sekitar 4 juta di antaranya berusia 15-24 tahun.
Tidak terkecuali para aktivis, mereka yang ketika di kampus banyak berorganisasi bahkan menjadi pemimpin organisasi, kemudian mengalami post power syndrom -- suatu gejala gagap karena tidak lagi menjadi seorang pemimpin atau menjabat. Biasanya mereka selalu memimpin, berinisiatif, berbicara di atas panggung dan menjadi pusat perhatian.
ADVERTISEMENT
Kemudian ketika lulus status mahasiswa ditanggalkan. Keramaian organisasi tidak lagi didapati. Teman-teman semasa kuliah sudah memiliki kesibukan masing-masing. Ijazah yang didapat tidak serta merta mengantarkan diri untuk mendapat pekerjaan. Ada kekagetan psikologis dalam diri. Dalam masa tunggu untuk bekerja, aktivis merasa depresi karena tekanan sosial, mengingat selama ini pencapaian dan pengalaman organisasinya membuat teman-temannya bertanya, di mana dia sekarang?
Mengapa banyak sarjana yang menganggur? Salah satu jawabannya adalah banyak dari sarjana yang tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan dunia kerja. Artinya keterampilan yang dipelajari selama kuliah tidak relevan dengan dunia pekerjaan. Atau sistem pendidikan yang begitu longgar sehingga mudah meluluskan sarjana yang tidak kompeten untuk bersaing dalam dunia profesional.
Berdasarkan hasil studi Willis Towers Watson tentang Talent Management and Rewards sejak tahun 2014 mengungkap, delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai. Fakta ini menunjukkan banyaknya sarjana yang tidak terserap dunia kerja. Yang ada kemudian adalah masih diadakan pelatihan seperti management trainee bagi lulusan oleh perusahaan.
ADVERTISEMENT
Lalu keterampilan seperti apa yang dibutuhkan dalam dunia kerja?
Revolusi Industri 4.0 mengubah lanskap pekerjaan dengan munculnya perusahaan-perusahaan rintisan yang berbasis teknologi informasi. Lalu apakah lulusan IT diuntungkan dengan hal ini? Bagaimana dengan sarjana non IT? Jika dilihat sekilas, seolah-olah lulusan IT memang dianggap lebih mudah mendapatkan pekerjaan dibanding non IT, namun riset Google tahun 2017 berjudul Project Aristotle mengatakan hal lain. Mereka yang dianggap memberikan kontribusi signifikan terhadap perusahaan adalah karyawan dengan kemampuan soft skill seperti coach, menjadi coach, memiliki keterampilan komunikasi, mendengarkan, empati, suportif.
Laporan lain dari World Economic Forum berjudul Future of Jobs Report juga mendukung hal ini. Tahun 2022, keterampilan yang paling dibutuhkan adalah kemampuan analitis, inovasi, kemampuan belajar aktif, kreativitas, orisinalitas dan inisiatif. Baru di urutan keempat adalah desain teknologi dan pemrograman. Bahkan 6 sisanya dari 10 keterampilan yang paling dibutuhkan juga termasuk soft skill seperti pemecahan masalah kompleks, berpikir kritis, kepemimpinan, kecerdasan emosional, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan argumen di atas, Richard Arum dalam bukunya yang berjudul Academically Adrift: Limited Learning on College Campuses mengatakan bahwa ada tiga kemampuan wajib yang harus dimiliki oleh seorang sarjana. Pertama adalah kemampuan berpikir kritis, yakni kemampuan untuk memeriksa validitas, reliabilitas, dan konsistensi logika atas sebuah informasi. Kedua adalah kemampuan komunikasi, yakni kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan ini meliputi berbicara, mendengar, menyimak, dan menempatkan diri dalam interaksi. Ketiga adalah kemampuan menulis, yakni kemampuan untuk menuliskan gagasan, ide, dan informasi dalam alur yang logis, mudah dipahami, dan relevan terhadap masalah.
Jika kita amati, penguasaan atas keterampilan tersebut membutuhkan proses pembelajaran tidak mudah, atau tidak semudah hard skill yang bisa diajarkan di dalam kelas dengan modul dan diskusi. Soft skill membutuhkan pembelajaran yang terlibat langsung. Kemampuan seperti coaching misalnya, hanya bisa didapat dengan ikut organisasi mahasiswa atau menjadi pemimpin di dalam kelompok untuk kemudian melakukan coaching kepada staf atau anggota secara iteratif. Keterampilan komunikasi juga tidak bisa diajarkan hanya dengan teori komunikasi. Kecakapan berkomunikasi terbentuk dengan kegiatan presentasi, rapat, diskusi, menjadi panitia kegiatan, berorganisasi dan kegiatan lain yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk berinteraksi dengan banyak orang yang berbeda budaya, latar belakang, dan kepentingan.
ADVERTISEMENT
Masalahnya kemudian, pendidikan kita menyambut pentingnya soft skill hanya dengan memberikan insentif berupa sistem kredit mahasiswa jika mahasiswa tersebut mengikuti organisasi mahasiswa atau kegiatan di luar kuliah. Sebagai langkah awal ini baik, namun itu saja tidak cukup. Mahasiswa harus berinisiatif dengan mengikuti organisasi mahasiswa, bisa ekstra kampus atau intra kampus dan komunitas lainnya. Namun keikutsertaan dalam organisasi tersebut mestinya didasari kesadaran dan kesungguhan untuk meningkatkan kemampuan soft skill sehingga tidak sekadar ikut-ikutan.
Selain itu proses pembelajaran di dalam kelas yang satu arah juga kurang memfasilitasi mahasiswa untuk berpikir kritis. Proses pembelajaran satu arah dan lemahnya pembelajaran filsafat dan berpikir kritis di semester awal membuat mahasiswa hanya melakukan rutinitas dan mengerjakan tugas biasa. Di beberapa kampus pembelajarannya berkutat pada paparan dari dosen dan minim diskusi. Mahasiswa kemudian menyalin paparan dosen dalam bentuk power point dan tidak terlibat aktif dalam proses diskusi.
ADVERTISEMENT
Proses pembelajaran hard skill dan soft skill seperti ini berlangsung secara akumulatif hingga sarjana wisuda. Ketika sarjana mencari pekerjaan dan dituntut untuk memecahkan masalah yang kompleks maka akan terlihat ketidakmampuan mereka untuk mengurai masalah. Di sisi lain kemampuan soft skill yang kurang mengakibatkan tidak optimalnya aktivitas pekerjaan selama masa pascakampus.