Mengurai Permasalahan Efisiensi Fasilitas Kesehatan di Indonesia

Groovy
Mengupas tuntas gaya hidup masa kini untuk kaum urban seperti kamu.
Konten dari Pengguna
23 April 2019 10:43 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Groovy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo Credit: Common Wikimedia
zoom-in-whitePerbesar
Photo Credit: Common Wikimedia
ADVERTISEMENT
Penulis: Firdaus Hafidz, Peneliti Pusat - KPMAK, Universitas Gadjah Mada
ADVERTISEMENT
Melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), permintaan masyarakat atas layanan kesehatan meningkat. Namun di sisi lain, ketersediaan sumber daya kesehatan terbatas, termasuk fasilitas kesehatan tingkat pertama, hingga rumah sakit.
Oleh karena itu, kita sering mendengar antrean yang mengular di fasilitas kesehatan, penolakan pasien karena penuhnya tempat tidur, atau pasien yang harus datang dari jauh ke perkotaan untuk mendapatkan layanan spesialis tertentu.
Dengan latar belakang tersebut, pada tahun politik ini tidak jarang para calon wakil rakyat berkomitmen untuk membangun fasilitas kesehatan baru di daerahnya jika terpilih. Penulis berpikir bahwa janji tersebut merupakan hal mulia, karena dapat memberikan keadilan terhadap akses ke fasilitas kesehatan. Namun, di sisi lain, fasilitas kesehatan yang sudah tersedia di Tanah Air saat ini sebenarnya masih kurang efisien digunakan.
ADVERTISEMENT
Tingkat efisiensi fasilitas kesehatan dan akar permasalahannya di Indonesia masih belum terurai sepenuhnya. Oleh karena itu, penulis mencoba mengurai masalah efisiensi fasilitas kesehatan berdasarkan hasil penelitian yang telah dipublikasikan dengan judul "Assessing health facility performance in Indonesia using the Pabón-Lasso model and unit cost analysis of health services" di International Journal of Health Planning and Management tahun 2018.

Masalah kesehatan di Indonesia

Sebelum mengurai masalah tentang efisiensi fasilitas kesehatan di Indonesia, ada baiknya kita memahami tentang permasalahan kesehatan di Indonesia. Indonesia menghadapi permasalahan kesehatan 'beban ganda' (double burden).
Apa yang dimaksud 'beban ganda'? Ini ada kaitannya dengan kejadian penyakit menular dan penyakit tidak menular. Di satu sisi, terjadi peningkatan penyakit tidak menular, seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan kanker. Namun di sisi lain, masih banyak daerah di Indonesia yang masyarakatnya menderita penyakit menular, seperti TBC, diare, dan tingginya angka kematian ibu.
ADVERTISEMENT
Tidak heran, data World Health Organization (WHO) menunjukkan adanya peningkatan tajam total pengeluaran kesehatan di Indonesia sejak tahun 2002 hingga 2014, dari USD 20 hingga mencapai hampir USD 100 per orang. Untuk mengentaskan permasalahan ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan melakukan beberapa program pencegahan dan penanganan.
Tercatat, untuk tahun 2019, anggaran kesehatan mendapat alokasi dana sebesar Rp 122 triliun. Dengan kata lain, naik dua kali lipat dari tahun 2014 yang hanya Rp 59,7 triliun.
Namun, dengan anggaran sebesar itu, jika dibandingkan dengan negara Asia lain, angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi. Sebagai contoh, angka kematian ibu di Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka bisa jauh lebih rendah dengan Gross Domestic Product (GDP) yang lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat penggunaan sumber daya yang tidak efisien untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hal ini memunculkan pertanyaan lebih lanjut, apakah fasilitas kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan telah dimanfaatkan secara maksimal untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia?
Ilustrasi penyakit menular. Foto: Shutter Stock

Mengukur efisiensi fasilitas kesehatan di Indonesia

Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif, penulis menggunakan empat data nasional yang terdiri dari data survei pembiayaan fasilitas kesehatan, data Indonesia Case Base Group (INA-CBGs), data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), dan terakhir adalah statistik dari Potensi Desa (PODES). Penulis mengambil sampel baik dari puskesmas maupun rumah sakit. Dari segi kepemilikan rumah sakit, data yang diambil sudah mencakup kepemilikan oleh pemerintah dan swasta.
Untuk mendapatkan hasil yang komprehensif, metode analisis rasio, yakni Pabón-Lasso model dan analisis unit cost digunakan untuk mengukur efisiensi fasilitas kesehatan. Analisis Pabón-Lasso model menggabungkan dua indikator utama, yakni okupansi tempat tidur dan tingkat turn over.
ADVERTISEMENT
Kemudian, dalam diagram, fasilitas kesehatan dibagi menjadi 4 jenis untuk mengukur tingkat produktivitas fasilitas kesehatan. Sedangkan analisis unit cost bermanfaat untuk mengukur dari sisi moneter, dengan asumsi bahwa fasilitas kesehatan dengan satuan biaya yang rendah berarti lebih efisien dibandingkan dengan fasilitas kesehatan lain yang serupa.

Sudah efisienkah fasilitas kesehatan di Indonesia?

Grafik Pabón-Lasso model menunjukkan bahwa hanya 37 persen rumah sakit di Indonesia masuk dalam kategori efisiensi yang baik, karena memiliki tingkat okupansi dan turn over di atas rata-rata. Untuk puskesmas sendiri, hanya 33 persen dari total puskesmas dalam sampel yang memiliki performa efisiensi yang baik.
Dilihat dari analisis unit cost, rata-rata satuan biaya layanan per pelayanan rawat jalan di rumah sakit mencapai Rp 600 ribu, sedangkan di puskesmas sekitar Rp 150 ribu. Untuk biaya rawat inap di rumah sakit dan puskesmas tidak berbeda jauh, yakni sekitar Rp 1,1 juta per hari.
ADVERTISEMENT
Tingginya biaya layanan ini mengindikasikan sub-optimalnya penggunaan fasilitas kesehatan, terutama layanan rawat inap di puskesmas. Sejatinya, pemanfaatan okupansi rawat inap yang ideal berdasarkan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) antara 80-90 persen, namun okupansi di puskesmas hanya sekitar 30 persen, sedangkan di rumah sakit sekitar 60 persen.

Siapa fasilitas kesehatan yang efisien?

Muncul pertanyaan, kenapa tidak banyak fasilitas kesehatan di Indonesia yang masuk dalam kategori efisiensi? Oleh karena itu, peneliti mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi fasilitas kesehatan.
Faktor internal fasilitas kesehatan dicermati sebagai contoh tipe fasilitas kesehatan, kepemilikan, dan kualitas fasilitas kesehatan. Sedangkan faktor eksternal yang dilihat sebagai contoh demografi, geografi, dan cakupan asuransi kesehatan.
Dari sisi ukuran fasilitas kesehatan, kebanyakan fasilitas kesehatan yang masuk dalam kategori efisien adalah fasilitas kesehatan yang memiliki ukuran sedang dan besar, berdasarkan jumlah kapasitas tempat tidur. Hal ini menjadi indikasi bahwa fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas dan kapasitas yang adekuat dan berkualitas akan memiliki performa yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Mendukung argumen di atas, penulis juga menemukan bahwa fasilitas kesehatan yang memiliki ketersediaan listrik dan air dapat beroperasi lebih efisien. Ketersediaan infrastruktur yang adekuat menjadi krusial terutama untuk wilayah terpencil di Indonesia, agar masyarakat tetap dapat mengakses layanan kesehatan.
Tidak luput, faktor eksternal fasilitas kesehatan juga ikut dicermati. Secara konsisten puskesmas dan rumah sakit lebih efisien ketika berada di lingkungan masyarakat yang terlindungi oleh jaminan kesehatan, terutama skema untuk orang miskin.
Hilangnya hambatan finansial untuk mengakses fasilitas kesehatan, mempengaruhi masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan. Hal ini tentunya mendorong equity dalam layanan kesehatan di Indonesia.
Ilustrasi rumah sakit Foto: Pxhere

Apa implikasi kebijakan yang bisa dilakukan untuk perbaikan?

Apabila ditelusuri lebih lebih lanjut, hasil penelitian tersebut tidak hanya menarik, namun juga bermanfaat bagi pengambilan kebijakan pemerintah. Fasilitas kesehatan yang memiliki kapasitas besar yang efisien, menunjukkan permintaan masyarakat untuk dilayani secara one-stop-service.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentunya yang menyebabkan polemik ketika rujukan online berjenjang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan diterapkan. Memang benar, ada baiknya jika sistem rujukan tersebut diterapkan untuk memastikan layanan dilaksanakan sesuai kompetensi fasilitas kesehatan, namun di sisi lain perlu dipastikan ketersediaan sarana dan prasarana agar pasien tidak menjadi korban 'ping-pong fasilitas' kesehatan.
Ketika praktek dokter di daerah terpencil, penulis hanya bisa memberikan layanan kesehatan yang terbatas karena tidak tersedianya air dan listrik yang memadai. Oleh karena itu, penyediaan air dan listrik perlu terus digenjot terutama untuk fasilitas publik, baik melalui swadaya masyarakat atau melalui kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Dengan infrastruktur yang adekuat, masyarakat dapat lebih percaya untuk datang dan menggunakan fasilitas kesehatan.
ADVERTISEMENT
Temuan adanya hubungan kuat antara efisiensi dan kepemilikan masyarakat atas jaminan kesehatan, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk melindungi masyarakat sudah sesuai dan perlu didukung. Namun, yang menjadi titik kritis, adalah dengan meningkatnya permintaan masyarakat atas layanan kesehatan, perlu dipastikan biaya yang dikeluarkan oleh pembayar BPJS kesehatan dalam bentuk tarif, tidak hanya melihat nilai ekonomi dan kebutuhan, tapi juga efisiensi layanan. Sebab, kita ketahui bahwa biaya kesehatan bersifat tidak terbatas akibat teknologi kesehatan yang terus berkembang pesat dan asimetri informasi.

Kesimpulan

Kita memiliki tiga pilihan dengan keterbatasan sumber daya untuk memberikan layanan kesehatan. Pilihan pertama, meninggalkan tanggung jawab atas kesehatan. Pilihan kedua, mencari sumber daya baru. Pilihan ketiga, memanfaatkan sumber daya yang telah ada secara maksimal.
ADVERTISEMENT
Pilihan pertama tentunya bukan jawaban ideal, sedangkan jawaban kedua sering kali tidak mudah didapatkan. Dari hasil penelitian ini telah jelas bahwa masih banyak potensi yang bisa dimaksimalkan sebagai pilihan ketiga.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah lebih lanjut sebagai pekerjaan rumah, untuk melihat lebih rinci dan memperbaiki efisiensi fasilitas kesehatan yang telah ada. Meski demikian, hasil analisis sederhana ini dapat dijadikan dasar untuk koridor alokasi pembiayaan kesehatan yang lebih baik dan efisien.