Bakamla adalah Kunci untuk Mempertahankan Kedaulatan di Laut Natuna Utara

Gufron Gozali
Asisten Peneliti di Center for Development and International Studies (CEDIS) dan mahasiswa Magister di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
15 April 2024 16:22 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gufron Gozali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: website resmi Bakamla
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: website resmi Bakamla
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah Indonesia mengambil langkah bersejarah dan strategis mengubah nomenklatur sebagian dari Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara pada 2017. Keputusan ini didasarkan pada putusan Mahkamah Internasional yang menolak klaim China atas Laut China Selatan pada 2016, dan ketentuan dari Hukum Laut UNCLOS 1982.
ADVERTISEMENT
Tindakan ini merupakan manifestasi simbolis dan tegas dari pemerintah Indonesia bahwa Indonesia tidak akan berdiam diri terhadap perilaku agresif China. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah langkah ini sudah cukup untuk meredam tindakan agresif China?.
Pemerintah tidak bisa berharap bahwa China akan mengurangi agresivitas dan patuh pada hukum internasional. Seperti yang disampaikan Mearsheimer di The Tragedy of Great Power Politics, bahwa dalam dinamika politik internasional, kekuatan besar hanya tertarik dan mengutamakan kepentingan nasional, bukan untuk menegakan hukum internasional.
Kehadiran Bakamla di Laut Natuna Utara
Kehadiran Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla) telah berkembang menjadi aktor penting dalam dekade terakhir, khususnya dalam menjaga kedaulatan dan kepentingan nasional di Laut Natuna Utara. Kehadiran Bakamla menandakan pergeseran signifikan dalam tata kelola keamanan maritim Indonesia, ini tercermin dalam pergeseran orientasi Bakamla dari militer ke sipil.
ADVERTISEMENT
Bakamla dirancang untuk berfungsi sebagai koordinator strategis bagi entitas kelautan yang telah berdiri, dengan tujuan utama untuk mengeliminasi kompetisi yang tidak diperlukan. Ini merupakan langkah penting dalam menciptakan sinergi dan efisiensi operasional di antara berbagai lembaga kelautan.
Memahami ancaman di Laut Natuna Utara
Ancaman yang ditimbulkan oleh peningkatan intensitas kehadiran kapal-kapal China di Laut Natuna Utara menjadi semakin nyata. Armada yang mereka kirimkan bukan hanya terdiri dari kapal penangkap ikan, namun juga mencakup berbagai jenis kapal lainnya, termasuk Kapal Survei, Kapal Penjaga Pantai, dan bahkan Kapal Angkatan Laut China.
China menerapkan strategi yang dikenal sebagai “grey zone” untuk menegakkan dan mempertahankan klaim teritorialnya. Strategi ini dijalankan dalam kondisi damai, melibatkan tiga elemen utama: Pasukan Militer, Penjaga Pantai, dan komunitas nelayan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah China mengarahkan kapal-kapal nelayan mereka untuk memasuki wilayah sengketa di Laut China Selatan (LCS), dengan perlindungan dari Penjaga Pantai yang memiliki wewenang untuk bertindak secara tegas jika diperlukan. Sementara itu, kapal-kapal perang berada dalam keadaan siaga di pangkalan militer terdekat, siap untuk memberikan dukungan jika situasi eskalasi ke luar kendali.
Strategi “grey zone” ini menciptakan dilema bagi negara-negara lain. Respon yang tegas berpotensi memicu konflik bersenjata, sementara pendekatan diplomatik dapat ditafsirkan sebagai pengakuan dan penerimaan terhadap klaim China.
Tidak hanya tentang China
Ancaman di Laut Natuna Utara tidak hanya berasal dari kapal-kapal China, praktik IUU Fishing (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing) masih mendominasi sebagai fenomena yang paling sering terjadi di antara 11 jenis pelanggaran yang berpotensi mengancam keamanan dan keselamatan perairan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebagai bukti, selama periode tiga tahun dari 2019 hingga 2022, sebanyak 136 kapal penangkap ikan ilegal yang beroperasi di bawah bendera Vietnam berhasil ditangkap dan ditahan oleh gabungan kekuatan dari Bakamla, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ini menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapi dalam upaya melindungi kedaulatan dan kekayaan sumber daya kelautan Indonesia.
Apakah Bakamla telah siap?
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Pasal 62, Bakamla memiliki fungsi penting dalam melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan terhadap pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia. Wilayah operasi Bakamla mencakup area yang jauh lebih luas dari 24 mil dari garis pantai, sesuai dengan ketentuan dari perjanjian Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982. Namun, pertanyaan penting yang muncul adalah apakah kapabilitas armada yang dimiliki oleh Bakamla sudah cukup memadai untuk menjalankan fungsi dan tugas tersebut?
ADVERTISEMENT
Armada yang dimiliki oleh Bakamla hanya terdiri dari 40 kapal. Enam di antaranya adalah kapal patroli pantai atau yang dikenal sebagai Kelas A, dengan panjang mencapai 48 meter. Selain itu, ada tiga kapal latih atau yang dikenal sebagai KN80, dengan panjang mencapai 80 meter. Terdapat juga satu kapal patroli lepas pantai atau yang sering disebut sebagai Kapal Komando, dengan panjang mencapai 110 meter. Sisanya, sebanyak 30 kapal, merupakan kapal patroli kecil atau yang dikenal sebagai high-speed craft (HSC).
Meskipun Bakamla memiliki total 40 kapal, mereka hanya mampu menempatkannya di 22 lokasi yang dianggap kritis. Bakamla idealnya memiliki minimal 77 kapal jika ingin beroperasi secara optimal. Ini menunjukkan adanya tantangan logistik dan strategis yang dihadapi oleh Bakamla dalam menjalankan tugasnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, sebelum memasuki tahun 2020, Bakamla hanya dilengkapi dengan peluru karet sebagai alat pertahanan diri bagi personilnya, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, berkat izin yang diberikan oleh Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, pada tahun 2020, personel dan kapal Bakamla kini memiliki hak untuk menggunakan senjata dengan kaliber 12,7 mm bagi personel dan kaliber terbesar, yaitu 30 mm, untuk Kapal Negara (KN) dengan panjang 110 meter, 80 meter, dan 48 meter. Senjata-senjata ini memiliki status sebagai alat pertahanan diri, bukan alat untuk membunuh.
Apakah senjata tersebut sudah layak dan cukup untuk mempertahankan diri. Senjata yang dimiliki oleh Bakamla memiliki ukuran yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan senjata yang digunakan oleh China Coast Guard (CCG) dan Vietnam Coast Guard (VCG). CCG dan VCG menggunakan meriam dengan kaliber antara 57 mm hingga 76 mm. Selain itu, CCG telah mengembangkan kapal anti-misil yang dilengkapi dengan meriam berukuran 76 milimeter, yang diperkirakan ukurannya bahkan lebih besar dari yang dimiliki oleh kapal Amerika Serikat (AS).
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, meskipun Bakamla telah melakukan peningkatan kapabilitas, namun peningkatan tersebut masih terlalu jauh jika dibandingkan dengan kapabilitas senjata yang dimiliki oleh CCG dan VCG.
Mencontoh yang dilakukan oleh negara maritim
Di Amerika Serikat dan India, lembaga penjaga pantai yang beroperasi secara independen diakui sebagai pilar utama dalam penegakan hukum maritim. Mereka memiliki angkatan laut yang bertugas menjaga keamanan nasional di wilayah laut, sementara penjaga pantai memiliki peran penting dalam penerapan hukum di wilayah yurisdiksi nasional mereka. Model operasional ini dapat diimplementasikan dengan efektif di Indonesia, asalkan tersedia infrastruktur yang memadai, alokasi anggaran yang sesuai, serta proses perekrutan dan pelatihan personil yang berlangsung secara independen dan profesional.
Bakamla dan nelayan yang dapat berjalan selaras
ADVERTISEMENT
Padahal, jika Bakamla semakin kuat maka Indonesia dapat mengambil beberapa langkah strategis. Pertama, pemerintah dapat menjadikan nelayan di Natuna Utara sebagai mitra strategis bagi Bakamla. Dalam konteks ini, pemerintah dapat memberikan subsidi terhadap bahan bakar yang digunakan oleh nelayan.
Kedua, pemerintah juga dapat memberikan kapal nelayan yang lebih besar dan layak untuk digunakan dalam aktivitas penangkapan ikan. Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kapasitas tangkapan, tetapi juga memberikan perlindungan lebih bagi nelayan jika terjadi bentrok di laut terbuka.
Dengan menerapkan strategi ini, Indonesia akan mendapatkan tiga manfaat secara langsung. Manfaat pertama adalah penegasan klaim Indonesia di Laut Natuna dan penjagaan kedaulatan maritim. Manfaat kedua adalah peningkatan dampak ekonomi, melalui daerah tangkapan ikan nelayan semakin luas. Ketiga, ini menunjukkan keseriusan serta komitmen yang kuat dari pemerintah dalam menegaskan kepada komunitas internasional bahwa kedaulatan adalah hal yang tidak dapat ditawar-tawar.
ADVERTISEMENT
Terakhir, dalam konteks operasi non-militer, posisi Bakamla menjadi sangat penting dalam menjaga keamanan wilayah laut. Fungsi tambahan operasi ini adalah sebagai penyangga yang efektif dalam mencegah konflik yang bereskalasi menjadi perang terbuka.
Ini bukan hanya tentang mempertahankan kedaulatan kita dan peningkatan kesejahteraan nelayan, tetapi juga untuk memastikan bahwa kita dapat merespons dengan tepat dan efektif terhadap setiap ancaman yang akan dihadapi.