Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Belajar dari Umar Ibn Khattab: Filsafat Hukum Keadilan (Justice) dalam Peradilan
5 Maret 2021 6:11 WIB
Tulisan dari Gugun Gumilar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kata “keadilan” (justice) sering kita jumpai dan salah satu tujuan yang hendak diwujudkan manusia dalam mencapai puncak kehidupannya. Tanpa adanya sebuah keadilan, maka kehidupan manusia berada dalam ketidakpastian bahkan mengakibatkan kekacauan. Bisakah keadilan tersebut terwujud? Hal ini sangat sulit untuk menjelaskan secara teori apalagi secara praktik dalam kehidupan sehari-hari. Namun, manusia hanya mencapai apa yang dinamakan keadilan sebatas pengetahuan dan adat istiadat, selebihnya keadilan merupakan suatu wujud abstrak, apalagi untuk mengetahui hakikat keadilan yang sebenarnya itu. Dalam mencapai keadilan sejati dalam masyarakat kita salah satunya adalah adanya lembaga yang disebut peradilan atau al-Qadla’. Lembaga peradilan merupakan institusi di mana masyarakat bisa mencari keadilan yang berkaitan dengan hak-haknya sipil yang hilang atau terampas oleh kepentingan orang lain. Dalam filsafat hukum Islam, peradilan (al-qadla’) lembaga yang sudah ada sejak masa Rasulullah SAW dan ada sebagai lembaga penyelesaian perkara pada saat itu. Rasulullah SAW juga bertindak sebagai hakim atau (Qadli) terhadap perkara yang timbul, dan yang menarik adalah bahwa peradilan dalam perspektif Islam harus berdasarkan pada nilai-nilai keadilan yang bersumber pada ajaran Tuhan.
ADVERTISEMENT
Komponen yang sangat menarik dari filsafat adalah bahwa filsafat memiliki lingkup pembahasan yang luas, objek filsafat tidak hanya terbatas pada aspek-aspek fisik tetapi juga yang metafisika, sehingga “sesuatu yang ada” menjadi objek pembahasan dari filsafat, bahkan tidak hanya sesuatu yang ada saja, termasuk juga “sesuatu yang mungkin ada. Prinsip dasar kajian filsafat itu mencakup tiga prinsip yaitu menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Oleh karena itu, kajian filsafat dengan hasil kajian ilmu pada taraf tertentu adalah berbeda. Hasil kajian filsafat bersifat spekulatif dan subjektif, sedangkan hasil kajian ilmu bersifat objektif dan pasti.
Memaknai istilah peradilan dalam Islam disebut dengan kata Qadla’ yang memiliki arti beragam, yaitu: 1). al-Qadla’ bermakna al-faraagh, artinya putus atau selesai. Seperti firman Allah Swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 37. 2). al-Qadla’ bermakna al-adaa’, artinya menunaikan atau membayar. 3. al-Qadla’ bermakna al-hukmu, artinya mencegah, menghalang-halangi. Dari arti inilah maka qadli-qadli disebut sehakim, karena mencegah terjadi kezaliman orang-orang yang mau berbuat zalim. Adapun Qadli artinya orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.
ADVERTISEMENT
Adapun pengertian qadla’ atau peradilan di antaranya adalah “memutuskan hukum antara manusia dengan benar, dan memutuskan hukum dengan apa yang diturunkan Allah”. Bahwa memutuskan dengan benar dan berdasarkan hukum Allah hal ini didasarkan pada firman Allah SWT QS. Shad ayat 26, QS. Al-Nisa ayat 49, QS. Al-Maidah ayat 65. Dalam sabda Nabi SAW, “Hakim-hakim itu terbagi menjadi tiga golongan: yang dua golongan masuk neraka dan yang satu golongan masuk surga. Yang satu golongan berbuat adil dalam keputusan hukumnya, maka mereka masuk surga. Yang satu golongan mengetahui keadilan itu tetapi mereka menyeleweng dengan sengaja, maka mereka masuk neraka. Dan yang satu golongan memutuskan perkara tanpa ilmu tetapi mereka malu mengatakan ‘aku tidak tahu’, maka mereka pun masuk neraka”.
ADVERTISEMENT
Kita bisa belajar mengenai tentang keadilan, al kisah surat Khalifah Umar ibn Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari r.a.-Qadli di propinsi Kufah-yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di pengadilan, yang kemudian menjadi pedoman bagi para hakim atau qadli di masa mendatang. Isi dari pokok pernyataan Khalifah Umar Ibn Khattab yaitu :
1. Amma ba’du, sesungguhnya memutuskan perkara adalah fardlu yang dikokohkan dan sunnah yang harus diikuti
2. Lalu pahamilah apabila diajukan kepada suatu perkara, dan putuskanlah apabila telah jelas kedudukannya, karena sebenarnya tidaklah ada artinya bicara soal keadilan tanpa ada pelaksanaan.
3. Sama ratakanlah manusia (pihak-pihak yang berperkara) dalam majelis, dalam pandanganmu, dan dalam keputusanmu, sehingga orang yang berpangkat tidak akan mengharapkan penyelewenganmu, dan orang yang lemah tidak sampai putus asa mendambakan keadilanmu.
ADVERTISEMENT
4. Bukti itu wajib atas penggugat (penuduh), sedang sumpah itu wajib atas pihak yang menolak (tergugat).
5. Dan boleh mengadakan perdamaian di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
6. Dan barang siapa yang mendakwakan suatu hak yang tidak ada di tempatnya, atau suatu bukti, maka berilah tempo kepadanya sampai ia dapat membuktikan dakwaannya, kemudian kalau ia dapat membuktikannya, maka berikanlah haknya itu, tetapi kalau ia tidak mampu membuktikannya, maka ia berhak dikalahkan, karena yang demikian itu lebih mantap bagi keuzurannya dan lebih menampakkan barang yang tersembunyi.
7. Dan janganlah sekali-kali menghalangi-halangi kepadamu, suatu keputusan yang telah engkau jatuhkan hari ini, kemudian engkau tinjau kembali, lalu engkau memperoleh petunjuk agar engkau kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu harus didahulukan, tidak dapat dibatalkan oleh apa pun, sedang kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus bergelimang dalam kebatilan.
ADVERTISEMENT
8. Orang-orang Islam itu (dianggap) adil sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, kecuali yang pernah memberikan kesaksian palsu atau orang yang pernah dijatuhi hukuman had, atau orang yang diragukan tentang asal-usulnya, karena sesungguhnya Allah yang mengetahui rahasia-rahasia manusia manusia dan menghindarkan hukuman atas mereka, kecuali dengan adanya bukti-bukti atau sumpah-sumpah.
9. Kemudian pahamilah dengan sungguh-sungguh tentang perkara yang diajukan kepadamu, yang tidak terdapat (ketentuan hukumnya) di dalam Al-Quran dan tidak terdapat pula dalam sunnah Nabi saw, kemudian bandingkanlah perkara-perkara itu, dan perhatikanlah (perkara) yang serupa (hukumnya dengan perkara-perkara itu), kemudian pegangilah mana (hukum) yang menurut pendapatmu lebih diridhai Allah dan lebih mendekati kebenaran.
10. Hindarkanlah dirimu dari marah, pikiran yang kacau, rasa jemu, menyakiti orang yang berperkara, dan bersikap keras pada waktu menghadapi mereka, karena memutus perkara di tempat yang benar adalah termasuk pekerjaan yang dipahalai oleh Allah dan membawa nama baik, maka barang siapa memurnikan niatnya demi mencari kebenaran, walaupun merugikan diri sendiri, maka Allah akan memberikannya kecukupan, dan barangsiapa berlagak (memiliki keahlian) kejelekannya itu karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima (amal) dari hamba-Nya kecuali amal yang didasari dengan ikhlas, lalu bagaimanakah persangkaanmu tentang pahala dari Allah, baik yang akan segera diberikan maupun yang berada di dalam perbendaharaan rahmat-Nya.
ADVERTISEMENT
Pelajaran di atas, sesungguhnya meskipun surat yang dikeluarkan oleh Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa al-Asy’ari seperti surat biasa, tetapi jika dalam hukum ketatanegaraan, surat yang dikeluarkan oleh oleh Umar Ibn Khattab yang isinya tentang pokok-pokok penyelesaian perkara di pengadilan atau tentang peradilan itu sendiri sebenarnya dapat dilihat sebagai undang-undang dalam seperti sekarang, karena posisi Umar adalah sebagai khalifah, yaitu seorang kepala pemerintahan tertinggi di dunia Islam pada saat itu yang memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif maupun militer. Hal ini harus dipahami bahwa pada masa Khulafa al-Rasyidin kekuasaan negara belum terbagi dalam sistem trias politica seperti sekarang ini. Oleh karena itu, surat Umar Ibn Khattab dapat dipandang sebagai undang-undang negara tentang kekuasaan kehakiman atau kekuasaan peradilan. Cerita kisah Umar Ibn Khattab semoga kita bisa ambil hikmahnya bahwa keadilan itu harus ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa melihat ras, suku bangsa atau golongan.
ADVERTISEMENT
**Oleh: Gugun Gumilar, Direktur Eksekutif IDE Indonesia