4 Hal yang Wajib Diketahui tentang Mahkamah Internasional

Gulardi Nurbintoro
Pengamat Hukum Internasional
Konten dari Pengguna
20 Februari 2019 22:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gulardi Nurbintoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, Mahkamah Internasional menjadi lembaga yang cukup sering dibicarakan di Indonesia. Kepopuleran Mahkamah Internasional tersebut bukan lantaran Indonesia sedang berperkara di lembaga peradilan tersebut, melainkan karena adanya berita bahwa terdapat sekelompok orang yang berencana untuk mengajukan gugatan kepada Pemerintah Indonesia di Mahkamah Internasional.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, pada 2016 pernah diberitakan adanya sebuah partai politik yang berniat untuk melaporkan salah seorang menteri kabinet ke Mahkamah Internasional.
Hal ini menunjukkan bahwa kepopuleran Mahkamah Internasional yang menghiasi media massa Tanah Air tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar mengenai lembaga peradilan tersebut.
Berulangnya ancaman untuk menggugat atau melaporkan suatu perkara ke Mahkamah Internasional menunjukkan ketidakpahaman sebagian masyarakat Indonesia mengenai Mahkamah Internasional.
Oleh sebab itu, artikel ini bertujuan untuk membeberkan beberapa fakta mengenai 4 hal dasar yang wajib diketahui mengenai Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag, Belanda tersebut:
Suasana Persidangan di Mahkamah Internasional dalam perkara Republik Islam Iran v. Amerika Serikat, 8 Oktober 2018. Sumber: Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional berdiri sejak tahun 1945 sebagai salah satu dari enam organ utama Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Piagam PBB kemudian menegaskan bahwa setiap Negara Anggota PBB secara ipso facto merupakan Anggota Mahkamah Internasional.
ADVERTISEMENT
Selain mengacu pada Piagam PBB, tugas dan fungsi Mahkamah Internasional juga diatur dalam Statuta Mahkamah Internasional. Dalam Statuta inilah, yakni Pasal 34, tertulis ketentuan bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak dalam suatu perkara di Mahkamah Internasional.
Dengan demikian, individu tidak bisa mengajukan gugatan ataupun diadili di Mahkamah Internasional.
Adapun lembaga peradilan internasional yang dapat mengadili individu atas kejahatan internaasional seperti agresi, kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yang juga berkedudukan di Belanda.
Contoh lembaga peradilan lainnya yang mengadili individu adalah International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) yang beberapa tugasnya saat ini dijalankan oleh United Nations International Residual Mechanism for Criminal Tribunals (IRMCT).
ADVERTISEMENT
Selain memberikan putusan atas sengketa antar Negara, Mahkamah Internasional juga memiliki kewenangan untuk memberikan advisory opinion atas suatu pertanyaan hukum yang diajukan oleh Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB, atau organ – organ PBB lainnya.
Mahkamah Internasional memiliki kewenangan untuk menangani sengketa hukum internasional yang dibawa oleh negara kepada Mahkamah Internasional.
Pada umumnya, apabila suatu negara berniat untuk membawa suatu sengketa yang tidak dapat diselesaikan secara bilateral dengan negara lain, maka kedua negara yang bersengketa akan membuat perjanjian tertulis untuk menyerahkan permasalahan mereka untuk diputus oleh Mahkamah Internasional.
Hal ini pernah dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia ketika meminta Mahkamah Internasional untuk memutus kepemilikan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.
ADVERTISEMENT
Suatu negara juga dapat mendeklarasikan bahwa mereka mengakui yurisdiksi Mahkamah Internasional meskipun tanpa adanya perjanjian khusus dengan negara lain. Apabila suatu negara memproklamasikan hal ini, maka Mahkamah Internasional dianggap memiliki compulsory jurisdiction.
Secara umum, jenis perkara yang ditangani oleh Mahkamah Internasional meliputi perkara mengenai interpretasi atas suatu perjanjian internasional, pertanyaan mengenai hukum internasional, pelanggaran kewajiban internasional, dan ganti rugi atas suatu pelanggaran kewajiban internasional.
Para hakim Mahkamah Internasional berfoto di Ruang Jepang - Istana Perdamaian, Belanda (Oktober 2018). Duduk dari kiri ke kanan: Antonio Cancado Trindade (Brazil), Ronny Abraham (Prancis), Wakil Presiden Xue Hanqin (RRC), Presiden Abdulqawi Ahmed Yusuf (Somalia), Peter Tomka (Slovakia), Mohamed Bennouna (Maroko), Joan Donoghue (Amerika Serikat). Berdiri dari kiri ke kanan: Yuji Iwasawa (Jepang), Kirill Gevorgian (Federasi Rusia), Patrick Lipton Robinson (Jamaika), Julia Sebutinde (Uganda), Giorgio Gaja (Italia), Dalveer Bhandari (India), James Crawford (Australia), Nawaf Salam (Lebanon), Panitera Mahkamah Internasional Philippe Couvreur. Sumber: Mahkamah Internasional.
Mahkamah Internasional terdiri dari 15 orang hakim yang berasal dari berbagai negara. Tidak boleh ada lebih dari satu hakim yang berasal dari negara yang sama. Komposisi hakim Mahkamah Internasional mengacu pada pengelompokan regional yang lazimnya berlaku di PBB, yakni Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia, Eropa Barat, dan Negara Barat lainnya, serta Eropa Timur.
ADVERTISEMENT
Saat ini terdapat empat orang hakim dari Asia (Jepang, India, Tiongkok, dan Lebanon)
Pemilihan hakim Mahkamah Internasional dilakukan setiap tiga tahun sekali di New York untuk memilih lima orang hakim.
Agar terpilih, seorang calon wajib memperoleh dukungan suara absolut (absolute majority) di Majelis Umum dan Dewan Keamanan.
Mahkamah Internasional dipimpin oleh seorang presiden dan seorang wakil presiden. Presiden Mahkamah Internasional saat ini adalah Hakim Abdulqawi Ahmed Yusuf dari Somalia, dan Wakil Presiden Mahkamah Internasional adalah Hakim Xue Hanqin dari Tiongkok. Keduanya terpilih pada bulan Februari 2018 dan akan menjabat hingga Februari 2021.
Dalam sejarah, belum pernah ada orang Indonesia yang menjadi hakim Mahkamah Internasional. Dari kawasan Asia Tenggara, hanya Filipina yang pernah memiliki hakim Mahkamah Internasional pada tahun 1967 - 1976.
ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Internasional tentang Kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan (2002). Sumber: Mahkamah Internasional
Indonesia memiliki pengalaman berperkara di Mahkamah Internasional ketika pada tahun 1998 bersepakat dengan Malaysia untuk meminta Mahkamah Internasional untuk memberikan putusan atas kepemilikan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.
Pada tahun 2002, Mahkamah Internasional memutus bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas kedua pulau tersebut berdasarkan prinsip effective occupation. Indonesia menghormati putusan tersebut dan dibuktikan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 yang mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinast Geografis Titik – Titik Pangkal Kepulauan Indonesia sehingga tidak lagi menempatkan titik pangkal di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Keputusan Indonesia untuk menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan dengan cara damai melalui mekanisme Mahkamah Internasional merupakan pelaksanaan dari konstitusi yang mengamanahkan agar Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia dan merupakan kontribusi nyata Indonesia terhadap perkembangan hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Tentu saja keempat hal di atas hanya merupakan pengetahuan awal mengenai Mahkamah Internasional. Masih banyak hal yang dapat dipelajari dari institusi yang sangat penting itu. Agar tidak salah pengertian lagi, mari kita perbanyak membaca dari sumber - sumber terpercaya seperti situs resmi Mahkamah Internasional.

ADVERTISEMENT