Apa yang Dimaksud Kekebalan Diplomatik?

Gulardi Nurbintoro
Pengamat Hukum Internasional
Konten dari Pengguna
6 April 2019 1:15 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gulardi Nurbintoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa jam yang lalu tersiar kabar bahwa pendiri WikiLeaks, Julian Assange, akan diusir oleh Pemerintah Ekuador dari Kedutaan Besar Ekuador yang berada di London, Inggris. Sebagaimana diketahui, Assange telah menerima suaka dari Pemerintah Ekuador dan telah menghuni bangunan Kedutaan sejak tahun 2012.
ADVERTISEMENT
Alasan utama Assange bertahan di Kedubes Ekuador adalah untuk menghindari penangkapan oleh kepolisian Inggris yang diyakini akan mengekstradisi Assange ke Amerika Serikat atas tuduhan membocorkan rahasia negara.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa polisi Inggris tidak bisa langsung menggeledah Kedutaan Besar Ekuador lalu menangkap Assange? Jawabannya berakar pada sebuah norma hubungan antar negara yang telah terbentuk sejak ratusan tahun: kekebalan diplomatik.
Artikel ini akan memberikan pengantar tentang apa yang dimaksud dengan kekebalan diplomatik dengan merujuk pada Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961 (Vienna Convention on Diplomatic Relations/VCDR) yang merupakan kodifikasi norma tentang hubungan diplomatik yang telah diterima dan dipraktikkan sejak ratusan tahun.

Mengapa Ada Kekebalan Diplomatik?

Pasal 3 Ayat (1) VCDR menjabarkan lima fungsi dari seorang diplomat atau misi diplomatik, yaitu: mewakili negara, melindungi kepentingan negara, berunding dengan negara penerima, memberikan laporan, dan mempromosikan hubungan persahabatan dengan negara penerima. Dalam menjalankan fungsinya, pada hakikatnya seorang diplomat atau misi diplomatik merupakan penjelmaan dari negara.
ADVERTISEMENT
Dalam hubungan internasional, kedaulatan negara menempati marwah tertinggi. Seluruh negara, besar atau kecil, dianggap setara. Tindakan negara, pada prinsipnya, tidak bisa dihukum kecuali atas kesepakatan negara–negara.
Wisma Duta RI di Bucharest, Romania. Kediaman Duta Besar dan Pejabat Diplomatik lainnya dilindungi dan diberikan kekebalan oleh Konvensi Wina 1961. Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016).
Jubah kedaulatan negara inilah yang kemudian disematkan pada para diplomat yang menjalankan fungsi sebagai wakil negara, sehingga kekebalan diplomatik juga dimiliki oleh individu–individu yang mewakili negara. Dalam terminologi resmi, kekebalan ini disebut dengan privileges and immunities.
Tujuan dari diberikannya privileges and immunities ini, sebagaimana dijelaskan dalam Pembukaan VCDR, adalah untuk mendorong pengembangan hubungan bersahabat antar negara. Namun demikian, VCDR lebih lanjut menyatakan bahwa kekebalan diplomatik tidak dimaksudkan untuk memberikan keuntungan pada individu, melainkan guna memastikan agar para diplomat dapat menjalankan fungsi-fungsinya secara efisien.
ADVERTISEMENT

Ruang Lingkup Kekebalan Diplomatik

Konvensi Wina mengatur kekebalan diplomatik dalam beberapa ruang lingkup. Pertama, kekebalan bangunan diplomatik (inviolability of the mission premises). Kedua, kekebalan personal (personal inviolability). Ketiga, kekebalan arsip dan dokumen (inviolability of the archives). Keempat, kekebalan korespondensi resmi (inviolability of official correspondence). Kelima, kekebalan kediaman diplomat (inviolability of residence and property).
Dari kelima kekebalan yang diatur oleh Konvensi Wina tersebut, hal yang umumnya diketahui adalah kekebalan bangunan diplomatik dan kekebalan personal. Kekebalan bangunan diplomatik ini lah yang menjadi alasan mengapa Julian Assange dapat bertahun–tahun tinggal di dalam Kedutaan Besar Ekuador di London.
Hal ini karena, berdasarkan hukum internasional, kepolisian Inggris tidak boleh memasuki gedung tanpa izin Kepala Perwakilan Kedutaan Besar Ekuador.
Suasana pembacaan Putusan Sela Mahkamah Internasional dalam perkara Equatorial Guinea v. Perancis, 6 Juni 2018. Sumber: Bastian van Musscher/Mahkamah Internasional
Eileen Denza, seorang pakar hukum internasional, yang menyusun Commentary on the Vienna Convention on Diplomatic Relations, menyatakan bahwa kekebalan bangunan diplomatik sudah disebutkan sebelum era Hugo Grotius. Isu mengenai kekebalan bangunan diplomatik baru–baru ini kembali menarik perhatian masyarakat hukum internasional dalam perkara antara Equatorial Guinea melawan Perancis di Mahkamah Internasional.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus yang masih berjalan, Equatorial Guinea menggugat Perancis karena telah memasuki dan menyegel gedung Kedutaan Besar Equatorial Guinea di Paris. Perancis menolak tuduhan tersebut karena menganggap gedung tersebut tidak berhak atas kekebalan diplomatik.
Sementara itu, berbicara mengenai kekebalan personal, Konvensi Wina mengatur paling tidak dalam dua aspek. Pertama, aspek personal inviolability dalam arti kewajiban bagi negara penerima untuk memastikan keselamatan diplomat asing. Kedua, aspek immunity from jurisdiction yang menyatakan bahwa seorang diplomat kebal dari yurisdiksi pidana, perdata, dan tata usaha negara dari negara penerima.
Kekebalan personal yang diberikan terhadap diplomat ini juga diberikan kepada anggota keluarganya sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Ayat (1) Konvensi Wina 1961.
ADVERTISEMENT
Perlindungan terhadap diplomat asing ini menjadi salah satu pilar penting dalam hubungan diplomatik. Mahkamah Internasional, pada tahun 1980, telah memutus bahwa Iran melanggar ketentuan Konvensi Wina 1961 dengan tidak berbuat apa–apa ketika mahasiswa Iran menyerbu Kedutaan Besar AS di Tehran dan menyandera para diplomat di dalamnya.
Eileen Denza menceritakan bahwa ketentuan mengenai imunitas pidana bagi diplomat sudah ada sejak Abad ke-16. Pernah terjadi pada masa itu, seorang Duta Besar turut serta dalam konspirasi melawan raja atau ratu dari negara wilayah akreditasinya. Di Inggris, Ratu Elizabeth I pernah disarankan untuk mencabut kekebalan John Lesley, Wakil Ratu Mary dari Skotlandia. Namun Ratu Elizabeth I tidak menggubris saran tersebut dan hanya mengusir Lesley.
ADVERTISEMENT

Batasan Terhadap Kekebalan Diplomatik

Pertanyaan yang tidak terelakkan dari adanya kekebalan diplomatik, khususnya kekebalan personal adalah: apakah berarti seorang diplomat dapat berbuat semena–mena tanpa mendapat konsekuensi dari tindakannya?
Diplomat Muda RI dari Sekolah Dinas Luar Negeri Angkatan ke-36 di sela-sela Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri RI 2019. Sumber: Endang Septryani Sari.
Apabila dilihat dari ketentuan Konvensi Wina 1961, memang terkesan bahwa seorang diplomat dapat terlepas dari segala konsekuensi tindak pidana yang mungkin ia lakukan. Namun demikian, pada praktiknya terdapat beberapa kasus ketika negara penerima meminta negara pengirim untuk mencabut kekebalan dari diplomatnya.
Apabila permintaan tersebut dikabulkan, maka negara penerima dapat mempidanakan diplomat tersebut. Langkah lain, negara penerima dapat menyatakan diplomat itu sebagai persona non grata (orang yang tidak disukai) sehingga akan memaksa diplomat itu untuk hengkang dari wilayah negara penerima.
ADVERTISEMENT
Hal yang patut diingat, bahwa seorang diplomat imun dari yurisdiksi negara penerima, namun tidak imun dari yurisdiksi negara yang ia wakili. Sebagai contoh, apabila seorang diplomat negara C melakukan pencurian di negara Z, meskipun ia tidak dipidana berdasarkan ketentuan hukum negara Z, tetapi bisa saja ia tetap dihukum oleh negaranya sendiri atas asas nasionalisme selain atas dasar bahwa tindakannya telah merusak citra negara C.

Hukum Diplomatik Masih Terus Berkembang

Hukum diplomatik yang kita kenal saat ini secara prinsip tidak begitu banyak berubah sejak 400 tahun yang lalu. Namun demikian, batasan–batasan kekebalan belakangan ini semakin limitatif. Dengan demikian, hukum diplomatik dapat dikatakan masih berkembang dan akan menarik untuk melihat arah perkembangan itu. Yang pasti, setiap diplomat harus mampu menjalankan tugasnya dengan bertanggung jawab atas privileges and immunities yang ia miliki.
ADVERTISEMENT