Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Dicari: Hakim Indonesia di Mahkamah Internasional
16 Agustus 2020 23:27 WIB
Diperbarui 17 Agustus 2020 5:59 WIB
Tulisan dari Gulardi Nurbintoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada November yang akan datang, Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB dijadwalkan untuk menyelenggarakan pemilihan hakim Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ). Berdasarkan Statuta Mahkamah Internasional, lima posisi hakim akan diperebutkan dalam pemilihan yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Internasional, sebagai organ peradilan utama PBB, memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga perdamaian dunia melalui fungsinya dalam menyelesaikan sengketa antar Negara. Sejak sesi pertama pada 18 April 1946, Mahkamah Internasional telah memutus berbagai macam perkara seperti sengketa batas darat dan laut, imunitas Negara, sengketa wilayah, isu ganti rugi, dan berbagai sengketa hukum internasional lainnya serta memberikan advisory opinion.
Di tahun yang sama ketika Mahkamah Internasional berdiri, Indonesia meraih kemerdekaannya. Sejak merdeka, Indonesia tidak pernah sungkan untuk berkontribusi terhadap pengembangan hukum internasional. Kontribusi Indonesia dalam mengembangkan hukum internasional merupakan perpaduan antara berpartisipasi aktif dalam suatu konferensi perumusan perjanjian internasional dengan menyelesaikan suatu sengketa di lembaga peradilan internasional. Sebagaimana diketahui, Indonesia (bersama dengan Malaysia) menyelesaikan sengketa kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan di Mahkamah Internasional.
ADVERTISEMENT
Strategi
Dengan memori sejarah tersebut, sungguh disayangkan bahwa sejak 75 tahun Indonesia merdeka, belum pernah ada orang Indonesia yang menjabat sebagai hakim Mahkamah Internasional. Negara lain, seperti Jepang misalnya, telah menjadikan keberadaan warga negaranya di Mahkamah Internasional sebagai sebuah agenda nasional yang amat penting. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan sebuah kebijakan dan strategi guna menyiapkan kandidat hakim yang mumpuni. Beberapa hal perlu untuk menjadi bahan pertimbangan.
Pertama, memiliki ahli hukum internasional yang reputasinya diakui dunia adalah keharusan. Ini sangat penting karena pemilihan hakim di lembaga peradilan internasional tidak hanya bergantung pada kehebatan mesin politik suatu Negara. Pertimbangan yang tinggi juga diberikan terhadap kapasitas individual calon hakim. Sebagai contoh, Hakim Abdulqawi Ahmed Yusuf terpilih sebagai hakim Mahkamah Internasional tahun 2009 meskipun negaranya, Somalia, pada waktu itu tidak memiliki pemerintahan yang efektif.
ADVERTISEMENT
Kedua, agar pakar hukum internasional Indonesia dikenal dunia, para praktisi maupun akademisi hukum internasional Indonesia perlu giat mempublikasikan karya ilmiahnya di jurnal hukum internasional yang memiliki reputasi dunia. Kita beruntung bahwa Indonesia tidak kehabisan pakar hukum internasional yang rajin menulis di berbagai media cetak dan elektronik, namun publikasi di jurnal ilmiah dapat dikatakan tidak sebanyak tulisan di media populer. Ini memang situasi yang dilematis. Di satu sisi, op-ed memungkinkan masyarakat untuk membaca suatu analisis hukum dalam waktu yang cepat. Namun, keterbatasan tempat di media cetak atau elektronik menjadi hambatan bagi para penulis ini untuk memberikan in-depth analysis. Namun satu hal yang pasti, dari sudut pandang akademis, op-ed di koran tidak memiliki bobot yang sama dengan publikasi di jurnal akademis. Tanpa memiliki publikasi di jurnal ilmiah, academic credentials dari seseorang bisa saja dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, fakultas hukum di Indonesia juga dapat berperan melalui scouting terhadap kandidat yang mumpuni. Fakultas hukum harus dapat mengidentifikasi mahasiswa maupun dosen yang memiliki perhatian tinggi di bidang hukum internasional dan kemudian memfasilitasi mereka untuk mengembangkan karier di bidang ini. Universitas dapat memberikan dukungan dengan pelatihan penulisan jurnal atau dengan memperluas jejaring dengan kampus – kampus di luar negeri. Selain itu, kampus – kampus hukum Indonesia perlu untuk mulai mempertimbangkan mengirimkan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam berbagai program fellowship yang ditawarkan oleh pengadilan internasional, seperti Judicial Fellowship di Mahkamah Internasional.
Di mana kita?
Pernah ada suatu masa ketika Indonesia memiliki punggawa hukum internasional yang diakui dunia. Nama – nama seperti Mochtar Kusumaatmadja, Hasjim Djalal, dan Nugroho Wisnumurti bukan merupakan nama yang asing dalam masyarakat hukum internasional. Ketiga nama tersebut memainkan peranan yang instrumental ketika Konferesi Hukum Laut yang berkulminasi pada diakuinya konsep Negara Kepulauan. Kusumaatmadja dan Wisnumurti kemudian menjadi Anggota International Law Commission dan Djalal menjadi presiden pertama Majelis International Seabed Authority.
Sayangnya, dewasa ini sulit untuk menemukan akademisi Indonesia sekaliber mereka dari segi keahlian dan popularitas internasional. Lalu bagaimana cara mengukur reputasi seorang akademisi hukum internasional? Memang tidak ada alat ukur yang pasti, namun salah satunya mungkin dengan melihat pada keanggotaan di Institut de Droit International. Institut merupakan sebuah organisasi yang didekasikan pada pengembangan hukum internasional dan memiliki keanggotaan yang cukup eksklusif. Saat ini, tujuh dari limabelas hakim Mahkamah Internasional merupakan anggota dari Institut. Saat tulisan ini diterbitkan, Ko Swan Sik adalah satu – satunya orang Indonesia yang menjadi anggota Institut.
ADVERTISEMENT
Memperluas jejaring bagi akademisi dan praktisi hukum internasional merupakan suatu elemen yang tidak kalah pentingnya dari ilmu hukum internasional itu sendiri sehingga tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Indonesia telah mendapat kehormatan dengan diraihnya kepercayaan internasional sebagai anggota Dewan Keamanan PBB, Dewan HAM PBB, dan baru – baru ini sebagai anggota ECOSOC. Kepercayaan dunia ini kiranya perlu dimanfaatkan dengan menjalin upaya bersama antara Pemerintah dan universitas dengan mendukung akademisi Indonesia dalam mengembangkan potensinya sehingga mencapai reputasi yang diperlukan untuk menjadi hakim di Mahkamah Internasional.
Live Update