Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Memahami Dekolonisasi dari Advisory Opinion Kepulauan Chagos
19 Maret 2019 22:25 WIB
Tulisan dari Gulardi Nurbintoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan, “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
ADVERTISEMENT
Semangat yang digelorakan dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut mengandung arti penting terhadap upaya Indonesia untuk mendorong penghapusan praktik penjajahan di muka bumi atau yang juga dikenal dengan proses dekolonisasi. Apa itu dekolonisasi?
Dekolonisasi adalah sebuah proses untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa-bangsa yang terjajah. Indonesia sendiri telah berhasil bebas dari belenggu kolonialisme sejak 1945 dan turut membantu bangsa-bangsa lain untuk merdeka.
Semangat dekolonisasi semakin berkobar setelah Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 1514 (XV) tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan bagi negara dan rakyat terjajah pada 14 Desember 1960. Sebuah komite khusus untuk dekolonisasi kemudian dibentuk pada tahun 1961 untuk memonitor implementasi dari Resolusi 1514 (XV).
Sejarah kemudian mencatat bahwa dekolonisasi ternyata belum benar-benar tuntas. Hal ini ditegaskan kembali dengan advisory opinion Mahkamah Internasional tanggal 25 Februari 2019 yang berjudul Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965 .
ADVERTISEMENT
Artikel ini akan membahas isi dari advisory opinion tersebut yang, dalam pandangan penulis, akan membantu kita semua dalam memahami hukum internasional yang berlaku tentang advisory opinion Mahkamah Internasional dan juga tentang dekolonisasi.
Apa itu Advisory Opinion?
Memberikan advisory opinion merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Internasional selain memutus sengketa antar negara. Lima organ Perserikatan Bangsa–Bangsa, lima belas specialized agencies PBB, dan International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki hak untuk meminta advisory opinion kepada Mahkamah Internasional. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 96 Piagam PBB.
Secara umum, advisory opinion tidak mengikat secara hukum kepada organisasi yang memintanya. Namun demikian, dalam beberapa kasus pernah dinyatakan secara eksplisit bahwa advisory opinion memiliki kekuatan mengikat. Meskipun tidak mengikat, Mahkamah Internasional melalui situs resminya menyatakan bahwa advisory opinion memiliki moral authority yang berkontribusi dalam mengembangkan hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Latar Belakang Permintaan Advisory Opinion Chagos
Kepulauan Chagos terletak di Samudera Hindia yang sejak tahun 1814 hingga 1965 dikuasai oleh Inggris sebagai dependency dari Mauritius. Mauritius sendiri kala itu berada di bawah kekuasaan Inggris. Pulau terbesar di Kepulauan Chagos adalah Diego Garcia.
Pada tahun 1964, Amerika Serikat menyatakan minatnya untuk mendirikan fasilitas militer di Diego Garcia. Minat Amerika Serikat ini kemudian ditindaklanjuti oleh Inggris dengan mengadakan pembicaraan dengan wakil dari Mauritius untuk memisahkan Kepulauan Chagos dari Mauritius.
Hasil perundingan antara wakil Mauritius dan Pemerintah Inggris pada prinsipnya menyepakati pemisahan Chagos dari Mauritius untuk keperluan militer dan akan dikembalikan pada waktunya kepada Mauritius. Kesepakatan ini kemudian dikenal dengan Lancaster Agreement karena disepakati di Lancaster House. Selanjutnya, pada tahun 1965, Inggris mendirikan British Indian Ocean Territory (BIOT) yang terdiri atas Kepulauan Chagos (terpisah dari Mauritius), Pulau Aldabra, Pulau Farquhar, dan Pulau Desroches (terpisah dari Seychelles).
ADVERTISEMENT
Tindakan Inggris ini kemudian memicu keprihatinan Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2066 (XX) tertanggal 16 Desember 1965. Pada 12 Maret 1968, Mauritius merdeka dan konstitusinya yang disusun oleh Pemerintah Inggris tidak memasukkan Kepulauan Chagos sebagai bagian dari Mauritius.
Sejak saat itu, isu mengenai Mauritius berulang kali digaungkan di PBB. Pada tahun 1980, Organisasi Persatuan Afrika mengadopsi Resolusi 99 (XVII) yang mendesak Diego Garcia untuk dikembalikan kepada Mauritius. Pada tahun yang sama di depan Sidang Umum PBB, Perdana Menteri Mauritius meminta BIOT untuk dibubarkan dan mengembalikan wilayah tersebut ke Mauritius.
Salah satu inti dari keprihatinan masyarakat internasional dalam permasalahan pemisahan Kepulauan Chagos dari Mauritius adalah adanya paksaan bagi penduduk asli Chagos untuk meninggalkan pulau yang telah turun temurun menjadi rumah mereka. Selain itu, Lancaster Agreement disinyalir ditandatangani dengan adanya tekanan terhadap para wakil Mauritius oleh pihak Inggris.
Akhirnya, Majelis Umum PBB melalui Resolusi 71/292 tertanggal 22 Juni 2017 telah meminta Mahkamah Internasional untuk memberikan pandangan hukum mengenai proses dekolonisasi Mauritius pada dekade 1960 yang diformulasikan ke dalam bentuk pertanyaan berikut:
ADVERTISEMENT
a. Apakah proses dekolonisasi Mauritius dituntaskan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku ketika memperoleh kemerdekaan pada 1968 sehubungan dengan pemisahan Kepulauan Chagos dari Mauritius?
b. Menurut hukum internasional, apa konsekuensi dari keberadaan Inggris Raya yang secara terus menerus menguasai Kepulauan Chagos?
Pertimbangan Mahkamah Internasional
Sebelum masuk ke substansi, Mahkamah Internasional membahas terlebih dahulu pertanyaan terkait dengan yurisdiksi, termasuk kewenangan untuk menolak permohonan advisory opinion ini. Beberapa negara berpandangan bahwa Mahkamah Internasional dapat dan seharusnya menolak untuk memberikan advisory opinion dengan pertimbangan bahwa isu Chagos ini, pada intinya, merupakan permasalahan bilateral antara Inggris dan Mauritius.
Dengan mengajukan permohonan melalui Majelis Umum PBB, Mauritius dianggap mencoba untuk menyimpangi prinsip dasar dalam hukum internasional, yakni diperlukannya persetujuan negara terkait (dalam hal ini Inggris) untuk membawa suatu sengketa ke lembaga peradilan internasional.
ADVERTISEMENT
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Majelis Umum PBB tidak meminta agar Mahkamah Internasional menyelesaikan sengketa teritorial antara Mauritius dan Inggris. Permohonan advisory opinion ini hanya meminta pendapat Mahkamah sehingga dapat membantu Majelis Umum PBB untuk menjalankan fungsinya yang terkait dengan dekolonisasi Mauritius.
Dari segi substansi, Mahkamah Internasional memutuskan periode yang ditelisik adalah antara tahun 1965 sampai 1968 ketika Mauritius merdeka. Dengan demikian, hukum internasional yang dianalisis adalah yang berlaku pada kurun waktu tersebut dengan memperhatikan evolusi hukum internasional tentang self-determination sejak Piagam PBB 1945 dan Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) tertanggal 14 Desember 1960. Sehubungan dengan hal tersebut, Mahkamah harus memastikan apakah hak self-determination telah terkristalisasi sebagai hukum kebiasaan yang mengikat seluruh Negara.
ADVERTISEMENT
Analisis Mahkamah terhadap Resolusi 1514 (XV) menyatakan bahwa resolusi tersebut bersifat deklaratif terhadap norma kebiasaan tentang hak self-determination. Hak untuk menentukan nasib sendiri sebagaimana diatur dalam resolusi tersebut, dalam pandangan Mahkamah Internasional, harus merupakan “expression of the free and genuine will of the people concerned”. Namun demikian, Majelis Umum PBB memiliki diskresi untuk menentukan bentuk dan prosedur penetapan hak self-determination.
Lebih lanjut, hak untuk menentukan nasib sendiri ini juga tidak terlepas dari prinsip kesatuan wilayah jajahan. Praktik negara maupun opinio juris menunjukkan adanya hukum kebiasaan mengenai prinsip kesatuan wilayah sebagai bagian dari hak untuk menentukan nasib sendiri.
Mahkamah menyatakan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Majelis Umum atau organ PBB lainnya mengizinkan pemisahan wilayah negara jajahan oleh Negara Penjajah untuk mempertahankan kekuasaannya. Berbagai Negara juga secara konsisten menekankan pentingnya integritas wilayah.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa pemisahan suatu wilayah dari Negara Jajahan, tanpa adanya persetujuan dari rakyat di wilayah jajahan, bertentangan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri.
Dalam kaitan dengan isu Mauritius, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Lancaster Agremeent bukan merupakan free and genuine expression of the will of the people. Salah satu faktornya adalah karena Mauritius, ketika itu, masih berada di bawah koloni Inggris.
Kemudian, Mahkamah Internasional juga menyatakan bahwa resolusi-resolusi Majelis Umum PBB merefleksikan hukum kebiasaan internasional yang memberikan kewajiban bagi Inggris, sebagai penguasa Mauritius, untuk menghormati keutuhan wilayah Mauritius. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa proses dekolonisasi Mauritius pada tahun 1968 tidak diselesaikan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi dari hal tersebut, keberadaan dan penguasaan Inggris atas Kepulauan Chagos dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Oleh sebab itu, Inggris berkewajiban untuk menyudahi penguasaan atas Kepulauan Chagos sesegera mungkin dan seluruh Negara Anggota PBB wajib untuk bekerja sama dengan PBB dalam menuntaskan proses dekolonisasi Mauritius.
Makna dari Advisory Opinion Chagos
Dalam pendapat saya, terdapat tiga hal penting yang dapat dipetik dari advisory opinion Chagos ini. Pertama, penekanan pada keutuhan wilayah negeri jajahan. Kedua, penekanan pada free and genuine will of the people. Ketiga, Majelis Umum PBB diberikan keleluasaan untuk menentukan mekanisme penentuan suara rakyat.
Apabila kita kaitkan dengan pengalaman Indonesia, dalam hal ini terkait dengan isu Papua, dapat disimpulkan bahwa upaya Belanda ketika itu untuk memisahkan Papua dari Indonesia setelah Indonesia merdeka merupakan sebuah pelanggaran hukum internasional karena tidak menghormati keutuhan wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, penentuan suara rakyat Papua juga telah diselenggarakan sesuai dengan norma hukum internasional yang dibuktikan dengan Resolusi Majelis Umum PBB 2504 (XXIV) tertanggal 19 November 1969 yang tidak menyatakan penolakan terhadap hasil dari pelaksanaan act of free choice.
Dengan demikian, Indonesia telah menjalankan amanah Undang-Undang Dasar, sekaligus menunjukkan kepatuhan pada hukum internasional yang berlaku, sehingga keabsahan proses kembalinya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi seharusnya tidak lagi dipertanyakan.
Live Update