Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Sekilas Kisah Penetapan Wilayah Negara Indonesia
7 Maret 2019 14:42 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Gulardi Nurbintoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 25 Februari 2019 yang lalu, Mahkamah Internasional mengumumkan advisory opinion mengenai proses dekolonisasi Mauritius pada 1965. Advisory Opinion tersebut dikeluarkan atas pertanyaan yang diajukan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
ADVERTISEMENT
Majelis Umum PBB meminta Mahkamah Internasional untuk memberikan pendapat hukum atas pertanyaan apakah proses dekolonisasi Mauritius telah sesuai dengan hukum internasional sehubungan dengan pemisahan Kepulauan Chagos dari Mauritius yang dilakukan oleh Inggris.
Dalam pendapat hukum tersebut, Mahkamah Internasional berulang kali menyatakan bahwa isu dekolonisasi tidak berkaitan dengan isu sengketa kepemilikan atas suatu wilayah. Dengan mengatakan demikian, mahkamah mendapat justifikasi untuk menjawab pertanyaan dari Majelis Umum PBB.
Pandangan mahkamah ini berbeda dengan beberapa negara yang menganggap bahwa mahkamah seharusnya tidak memberikan pandangan hukum kepada Majelis Umum PBB karena inti dari pertanyaan tersebut pada hakikatnya merupakan sengketa bilateral antara Mauritius dan Inggris yang seharusnya dituntaskan oleh kedua negara tersebut. Penolakan ini juga tercermin dalam dissenting opinion hakim Joan Donoghue.
ADVERTISEMENT
Latar belakang advisory opinion tersebut menegaskan kembali bahwa isu mengenai wilayah negara selalu memantik perdebatan sengit, namun tetap menarik untuk dikaji. Hal-hal yang berkenaan dengan wilayah negara senantiasa menjadi pemantik rasa nasionalisme.
Kita masih ingat bagaimana isu kedaulatan atas pulau Sipadan dan pulau Ligitan menghiasi media nasional dan kerap diungkit baik oleh mereka yang mengerti maupun yang tidak mengerti persoalannya.
Berangkat dari isu dekolonisasi yang dibahas dalam advisory opinion tersebut, saya teringat kembali akan hasil riset saya mengenai sejarah penentuan wilayah negara Indonesia yang sebelumnya pernah saya publikasikan dalam artikel di sebuah blog pada tahun 2014 silam. Saya merasa perlu untuk menyajikan kembali sejarah penetapan batas wilayah Indonesia secara singkat dalam forum ini.
Sidang BPUPKI – Pandangan Para Pendiri Bangsa
Penentuan mengenai luas dan batas Indonesia merdeka dibahas dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam Risalah Sidang BPUPKI PPKI yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara, tercatat beberapa pandangan para anggota sidang mengenai penetapan batas wilayah negara.
ADVERTISEMENT
Soekarno mengemukakan gagasan mengenai Pan Indonesia yang mencakup hingga ke Filipina. Namun, gagasan tersebut pada akhirnya diabaikan oleh Soekarno sendiri mengingat Filipina merupakan negara berdaulat. Soekarno mendukung usulan beberapa pemuda Malaya agar memasukkan wilayahnya menjadi bagian dari Indonesia.
Soekarno juga mengatakan bahwa berdasarkan kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, seharusnya keseluruhan pulau Papua pun menjadi bagian dari Indonesia. Dalam argumentasinya, Soekarno berkata bahwa tidak ada hukum moral, termasuk hukum internasional, yang mewajibkan Indonesia menjadi ahli waris Belanda. Terlebih, Jepang pun tidak pernah sekalipun menyatakan bahwa Indonesia hanya meliputi wilayah eks Hindia Belanda.
Pandangan Soekarno yang sedikit mengabaikan hukum internasional sejalan dengan pandangan Mohammad Yamin. Dalam pidatonya, Yamin mengatakan bahwa wilayah negara tidak semata-mata didasarkan pada hukum internasional, melainkan juga pada dasar kemanusiaan dan kemauan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Dasar kemanusiaan ini menjadi batasan bagi Indonesia agar tidak mengembangkan nafsu imperialisme. Yamin menghendaki wilayah Indonesia meliputi Sumatera, Melayu, Kalimantan (keseluruhan pulau), Jawa, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, dan Papua beserta pulau-pulau kecil di sekelilingnya.
Sementara itu, Mohammad Hatta menyatakan bahwa ia tidak meminta lebih dari daerah Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda. Senada dengan Hatta, A.A. Maramis juga berpandangan bahwa sekiranya Indonesia ingin memasukkan kawasan-kawasan seperti Malaka, Borneo Utara, Timor Portugis, dan sebagian lain dari Papua, ke dalam wilayah Indonesia yang berada di bawah kedaulatan bangsa lain. Maka Indonesia perlu untuk terlebih dahulu mengadakan jajak pendapat di wilayah-wilayah tersebut.
Hal ini untuk memberikan legitimasi bagi penentuan bergabung atau tidaknya wilayah tersebut sebagai bagian dari Indonesia merdeka.
ADVERTISEMENT
Wilayah Indonesia berbeda antara BPUPKI dengan PPKI
Pada 11 Juli 1945, BPUPKI mengeluarkan keputusan yang diperoleh berdasarkan voting bahwa wilayah Indonesia meliputi Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor Portugis, dan pulau-pulau sekelilingnya.
Namun demikian, pada tanggal 18 Agustus 1945, Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soekarno menyampaikan bahwa ia telah memberitahu Jenderal Terauchi bahwa luas Indonesia hanya meliputi wilayah jajahan Hindia Belanda, tidak kurang dan tidak lebih. Dengan demikian, PPKI secara nyata telah “menganulir” hasil rapat BPUPKI sebulan sebelumnya.
Hasil keputusan PPKI sejatinya lebih sejalan dengan prinsip hukum internasional yang berlaku. Uti Possideti Juris adalah sebuah prinsip yang mendasarkan bahwa wilayah Negara yang baru merdeka mewarisi batasan-batasan wilayah yang dikuasai oleh Negara penjajahnya.
ADVERTISEMENT
Dalam ranah tata negara, Pasal II Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi dasar bagi berlakunya perjanjian yang ditandatangani oleh Pemerintah kolonial Belanda dengan negara lain, termasuk perjanjian perbatasan yang menetapkan batas wilayah.
Indonesia Menghormati Hukum Internasional
Rapat BPUPKI menunjukkan bahwa beberapa pendiri bangsa memiliki mimpi dan cita-cita besar akan sebuah negara besar yang ingin ditunjukkan dengan keluasan wilayah. Namun demikian, pada akhirnya mereka menyadari bahwa sebagai sebuah bangsa yang beradab, Indonesia harus menghormati prinsip-prinsip hukum internasional dengan tidak mengklaim lebih dari apa yang menjadi hak kita.
Hal ini pula lah yang terus menjadi moral compass bagi Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya. Kiranya kita harus bersyukur bahwa kita memiliki pendiri bangsa yang memahami hukum internasional sebagai panduan dalam hubungan antarbangsa.
ADVERTISEMENT
Live Update