Konten dari Pengguna

Bahasa Uighur: Beraksara Arab dan Hadapi Upaya Penghapusan

Gun Gun Gunawan
PhD Researcher Arabic Islamic and Middle Eastern Studies University of Leeds, Inggris
31 Oktober 2024 5:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gun Gun Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kehidupan Muslim Uighur di Xinjiang. Foto: Wisnu Prasetyo/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kehidupan Muslim Uighur di Xinjiang. Foto: Wisnu Prasetyo/kumparan
ADVERTISEMENT
Bahasa Uighur adalah bahasa dari rumpun Turkik yang digunakan terutama oleh bangsa Uighur, yang mayoritasnya berada di wilayah Xinjiang yang kini berada dalam kontrol Tiongkok. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa utama di wilayah tersebut dan dianggap sebagai bahasa penting dalam budaya, sastra, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Uighur.
ADVERTISEMENT
Bahasa Uighur menggunakan aksara Arab yang dimodifikasi dan memiliki akar historis yang kuat dengan bahasa-bahasa Turkik lainnya, seperti Uzbek, Kazakh, dan Kirgiz. Selain itu, terdapat beberapa kata serapan dari bahasa Persia, Arab, dan Tiongkok yang menunjukkan interaksi budaya selama berabad-abad di wilayah Asia Tengah.
Penggunaan bahasa Uighur di wilayah Xinjiang mendapat pengakuan resmi dari pemerintah Tiongkok sebagai bahasa minoritas, tetapi dalam praktiknya ada berbagai tantangan. Kebijakan pendidikan di Xinjiang dalam beberapa dekade terakhir cenderung mendorong penggunaan bahasa Cina, yang mengurangi kesempatan masyarakat Uighur untuk belajar dan menggunakan bahasa ibu mereka dalam pendidikan dan pekerjaan.
Hal ini membuat bahasa Uighur terancam mengalami penurunan penggunaan di kalangan generasi muda, meskipun komunitas Uighur di luar negeri, seperti di Kazakhstan, Turki, dan negara-negara Barat, masih aktif mempertahankan bahasa ini.
ADVERTISEMENT
Bahasa Uighur memiliki sejarah yang panjang dan berkembang seiring dengan perjalanan suku Uighur di Asia Tengah. Asal-usulnya dapat ditelusuri ke bahasa-bahasa Turkik kuno yang digunakan oleh suku-suku di wilayah ini sejak millenium pertama Masehi. Pada abad ke-8 hingga 9, ketika Kekaisaran Uighur (744–840) berpusat di Mongolia, bahasa Uighur Kuno berkembang menjadi bahasa tulisan yang digunakan untuk administrasi, perdagangan, dan sastra.
Naskah-naskah dari periode ini ditulis dalam aksara Orkhon dan kemudian aksara Brahmi, yang diadaptasi dari tradisi penulisan India. Ini menunjukkan keterbukaan masyarakat Uighur kuno terhadap pengaruh budaya dan bahasa asing.
Ketika suku Uighur bermigrasi ke Xinjiang setelah runtuhnya kekaisaran mereka, bahasa Uighur berinteraksi dengan peradaban-peradaban di Asia Tengah, seperti Persia dan Arab, terutama setelah mayoritas Uighur memeluk agama Islam pada abad ke-10. Pengaruh Islam membawa aksara Arab ke dalam bahasa Uighur, menggantikan aksara sebelumnya dan memperkaya bahasa dengan kosa kata dari bahasa Arab dan Persia.
ADVERTISEMENT
Selama periode ini, bahasa Uighur berkembang sebagai bahasa sastra dan agama, dan banyak karya sastra serta ilmiah ditulis dalam bahasa ini, seperti karya Qutadghu Bilig oleh Yusuf Khass Hajib pada abad ke-11, yang menjadi salah satu karya klasik sastra Uighur.
Pada abad ke-20, bahasa Uighur mengalami berbagai perubahan karena pengaruh modernisasi dan kebijakan politik, terutama di bawah pemerintahan Tiongkok. Skrip bahasa Uighur sempat beberapa kali diganti – dari aksara Arab ke Latin dan kemudian ke Cyrillic di bawah pengaruh Soviet, sebelum kembali ke aksara Arab pada 1980-an.
Reformasi bahasa dan kebijakan asimilasi budaya di Xinjiang memperkenalkan bahasa Cina dalam sistem pendidikan, yang secara perlahan meminggirkan bahasa Uighur. Meskipun demikian, komunitas Uighur, baik di dalam maupun luar Tiongkok, terus berupaya melestarikan bahasa mereka melalui pendidikan, sastra, dan media.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Tiongkok memang telah melakukan upaya sistematis untuk menjauhkan bangsa Uighur dari identitas budayanya termasuk upaya penghapusan bahasa Uighur. Ketika Mao mulai berkuasa (1954-1959), aksara Arab masih diizinkan untuk sementara waktu. Namun, pada tahun 1965 aksara Latin mulai diperkenalkan untuk menulis bahasa Uighur.
Kemudian pada tahun 1983, aksara Arab kembali diwajibkan sebagai skrip untuk menulis bahasa Uighur. Perubahan aksara yang terus menerus ini membuat proses transfer ilmu pengetahuan dan warisan budaya antar generasi menjadi terhambat karena generasi sebelumnya yang menggunakan aksara berbeda tidak dapat beradaptasi dengan aksara yang baru.
Pada tahun 1991, aturan sensor telah diterapkan kepada seluruh jurnalis, penerbit, dan pemilik toko buku. Buku-buku berbahasa Uighur diperiksa dan banyak yang di antaranya dilarang beredar. Salah satu contohnya adalah buku yang berjudul “Anayurt” yang berarti “Tanah Air” karangan Zordum Sabir. Buku itu mengalami proses sensor selama sebanyak tiga kali hingga akhirnya sepenuhnya dilarang beredar.
ADVERTISEMENT
Dua tahun kemudian setelah kebijakan sensor, rezim Tiongkok mencabut status bahasa Uighur sebagai bahasa resmi di wilayah otonomi Xinjiang. Sejak saat itu dokumen-dokumen resmi di wilayah Uighur diwajibkan ditulis dalam bahasa Cina. Bangsa Uighur kemudian dipaksa untuk mempelajari bahasa Cina, bahkan untuk berobat ke dokter pun harus menggunakan penerjemah.
Sejak tahun 2002, pemerintah Tiongkok membatasi pengajaran bahasa Uighur di wilayah Turkistan Timur. Akibatnya, semua mata kuliah di kampus-kampus diajarkan dalam bahasa Cina kecuali mata kuliah bahasa dan sastra Uighur dan pengobatan Uighur yang memang hanya bisa diajarkan dengan pengantar bahasa Uighur. Dua tahun setelahnya, semua anak sekolah mulai dari tingkat taman kanak-kanak diwajibkan untuk mengambil mata pelajaran bahasa Mandarin.
ADVERTISEMENT
Otoritas Tiongkok berdalih bahwa kebijakan ini diambil agar warga Tiongkok non-Han bisa mendapatkan Pendidikan bilingual. Namun yang terjadi, beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa sistem Pendidikan bilingual itu dihapuskan dan pemerintah memaksakan bahasa Cina sebagai pengantar dalam Pendidikan.
Nimrod Baranovitch (2022) dalam salah satu penelitiannya menemukan bahwa program bilingual ini pada praktiknya memang memang menjadi monolingual education karena para siswa terpaksa lebih banyak belajar bahasa Cina dan pada kenyataannya proses belajar mengajar hanya menggunakan bahasa Cina sebagai pengantar. Kondisi ini memaksa pelajar-pelajar Uighur semakin jauh dari bahasa ibu mereka.
Sementara itu, publikasi buku, jurnal, dan surat kabar dalam bahasa Uighur mengalami penurunan di Turkistan Timur. Hal ini karena publikasi dalam bahasa Uighur yang tersisa pun tidak luput dari pengawasan pemerintah Tiongkok. Konten-konten yang dianggap bahaya oleh mereka dihapus dan dan diganti oleh konten bermuatan propaganda rezim komunis Tiongkok. Akhirnya, publikasi dalam bahasa Uighur pun hanya menjadi media propaganda rezim.
ADVERTISEMENT
Sejak 2014, sensor dan pengawasan dalam industri penerbitan semakin masif sehingga publikasi tentang Sejarah, budaya, dan bidang-bidang lain dalam bahasa Uighur semakin berkurang bahkan hampir mati. Buku-buku berbahasa Uighur yang telah terbit pun tidak luput dari upaya sensor. Buku-buku itu setelah dikumpulkan dan direview banyak yang larang atau bahkan dibakar termasuk buku-buku keagamaan. Banyak dari para penulis, jurnalis, dan editor yang dikirim ke penjara dan kamp konsentrasi.
Menurut laporan the Guardian (2021), sejak tahun 2017, pemerintah mengeluarkan perintah pelarangan penggunaan bahasa Uighur dalam sistem Pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Menurut aturan ini, semua Pelajaran di semua sekolah akan diajarkan dengan pengantar bahasa Cina, dan menurut laporan dari Center for Uyghur Studies, barang siapa yang berbicara dalam bahasa Uighur di sekolah akan kena hukuman.
ADVERTISEMENT
Upaya penghapusan bahasa Uighur merupakan bagian integral dari upaya pemerintah Tiongkok dalam melaksanakan proses sinifikasi yang telah berlangsung sejak tahun 1990 an. Program yang disebut-sebut sebagai kebijakan integrasionis yang menekankan asmilisi penuh bangsa Uighur ke dalam Masyarakat Tiongkok. Program asimilasi ini tidak lain adalah upaya untuk menghapus identitas bangsa Uighur melalui pencabutan budaya, bahasa, dan agama mereka.