Tahu, Tempe, dan Kemandirian

Gunawan Wibisono
PNS di BPS Kabupaten Blitar
Konten dari Pengguna
3 Oktober 2022 13:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gunawan Wibisono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kedelai
Ini cerita tentang seiris tahu tempe yang tersaji di meja makan. Produk olahan kedelai ini bentuknya semakin kecil dan menyusut. Bukan tanpa sebab, harga kedelai merangkak naik mulai Rp.9000 s/d Rp.11.250/kg terasa semakin membebani biaya produksi. Puncaknya pada februari lalu, puluhan pengrajin tahu dan tempe melakukan aksi mogok kerja. Mereka menuntut intervensi pemerintah agar menstabilkan harga kedelai.
ADVERTISEMENT
Kedelai merupakan bahan baku utama dalam produksi tempe dan tahu. Menurut resep pembuatan tempe, 1 kg kedelai hanya memerlukan 1 gr ragi, setelah bercampur kemudian dibungkus plastik atau daun pisang. Sedangkan pembuatan tahu memerlukan proses yang lebih lama, untuk kedelai sebanyak 5 kg memerlukan 3 ml asam cuka (kadar 90%). Mahalnya kedelai membuat pengrajin menghadapi dua pilihan sulit antara menaikkan harga produk atau mengecilkan bentuk tahu tempe agar tetap memperoleh keuntungan.
Tidak dipungkiri untuk memenuhi kebutuhan kedelai, Indonesia masih mengandalkan impor luar negeri. Gejolak harga kedelai dunia tak terhindarkan saat cuaca buruk El Nina melanda Argentina serta tingginya permintaan kedelai dari China. Menurut data Kementerian Pertanian, produksi kedelai lokal 2022 sebesar 200.315 ton, hanya mampu memenuhi kurang dari 10 persen kebutuhan nasional yang totalnya 2.983.511 ton. Dengan minimnya produksi dalam negeri, praktis jalan instan “impor” selalu menjadi solusi setiap tahun.
ADVERTISEMENT
Indonesia perlu melepaskan diri dari “ketergantungan” luar negeri agar mencapai kemandirian pangan. Kemandirian dapat diartikan sebagai kemampuan memproduksi, memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri sampai tingkat perseorangan dengan memanfaatkan sumber daya alam, manusia, sosial ekonomi serta kearifan lokal secara bermartabat. Berkaca pada sejarah, produksi kedelai nasional pernah mencapai 1,6 juta s/d 1,8 juta ton. Akankah kita mampu mengulang kembali kesuksesan sebagaimana terjadi pada tahun 1990 s/d 1992?
Populer
Branding yang melekat pada tahu dan tempe selama ini adalah makanan yang murah, meriah dan merakyat. BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat, rata-rata konsumsi tahu tempe perkapita tahun 2021 sebesar 0,304 kg setiap minggu, meningkat 3,75% dari tahun sebelumnya. Meskipun sederhana, tahu dan tempe mengandung gizi dan kalori yang tinggi. Dalam 3 ons tempe mengandung 140 kalori, 16 gr protein, 10 gr karbohirat, 7 gr serat dan 5 gr lemak. Sedangkan pada tahu akan mengandung 80 kalori, 8 gr protein, 2 gr karbohidrat, 2 gr serat dan 5 gr lemak. Dengan keunggulannya, tahu tempe telah berperan dalam upaya memenuhi gizi nasional.
ADVERTISEMENT
Meningkatnya permintaan setiap tahun, membuat industri tahu tempe tetap bertahan untuk mendukung UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). Sektor ini merupakan pilar perekonomian nasional. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) maret 2021, jumlah UMKM telah mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhdap PDB (Produk Domestik Bruto) 61,07 persen dan penyerapan tenaga kerja mencapai 97 persen dari total nasional.
Peningkatan Produksi
Menurut data BPS, luas baku lahan pertanian mengalami penurunan menjadi 7,1 juta hektar pada 2018 dibandingkan tahun 2013 yang seluas 7,75 juta hektar. Pendataan 2013 menyebutkan pula bahwa petani gurem mendominasi 55 persen. Mereka adalah pelaku pertanian dengan lahan pertanian 0,5 hektar. Upaya peningkatan produksi terus dilakukan Kementerian Pertanian. Mereka menargetkan produksi 1 juta ton diatas lahan seluas 650 hektar.
ADVERTISEMENT
Terdapat dua variabel yang menentukan produksi pertanian, yakni luasan lahan dan produktifitas lahan. Produktifitas kedelai Indonesia rata-rata 1 s/d 1,5 ton/ha. Nilai tersebut masih kalah dengan kedelai produk impor, misalkan Amerika bisa mencapai 3,1 ton/ha, Oceania sebesar 2,14 ton/ha, sedangkan Eropa 2,08 ton/ha. Perlu terus menggerakkan inovasi produk pertanian, diantaranya dengan pemilihan benih kedelai yang unggul. Balitbangtan (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian) telah mengeluarkan beberapa varietas unggul. Dari 114 varietas yang ada di Indonesia, 72 persen diantaranya merupakan rakitan pemulia Balitbangtan. Kolaborasi antara peneliti dan petani perlu ditingkatkan, sehingga hasil penelitian dan teknologi dapat langsung menyentuh petani sebagai pelaku usaha.
Penting juga untuk memperhatikan data luasan lahan pertanian. Saat ini BPS mempunyai survei Kerangka Sampel Area (KSA) yang bertujuan memperoleh data luas panen yang obyektif, akurat, cepat dan modern dengan menggunakan aplikasi android. Meskipun masih terbatas pada komoditas padi dan jagung, kedepan survei ini bagus untuk dikembangkan pada produk pertanian yang lain, termasuk kedelai.
ADVERTISEMENT
Pola yang sama dapat dilakukan pada petani sehingga dapat berperan aktif dalam pendataan luasan lahan. Dengan aplikasi android dalam genggaman, mereka dapat turut menghitung luas lahan pertanian dalam satu kelompok tani. Hal ini mungkin dilakukan dengan segala kemudahan teknologi informasi saat ini. Dengan pemetaan lahan pertanian yang jelas, maka program peningkatan produksi akan dirasakan lebih tepat sasaran.
Melihat tren data, produksi kedelai yang meningkat bisa menjadi sebuah momen kebangkitan. Satu tahapan akan tercapai untuk menuju swasembada dan kemandirian pangan komoditas kedelai. Mengutip pesan Bung Karno bahwa kita jangan menjadi bangsa tempe, dalam arti harus mempunyai sebuah kemandirian dan melepaskan ketergantungan dari bangsa lain. Semoga sukses Sensus Pertanian 2023.
ADVERTISEMENT
Gunawan Wibisono, Statistisi Terampil BPS Kabupaten Blitar