Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bila Sembako Kena Pajak
21 Juni 2021 18:15 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:05 WIB
Tulisan dari Gun Gun Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sembilan bahan pokok (sembako) yang terdiri dari beras, minyak goreng, sayur dan buah, gula, garam, daging, susu, telur, dan gas elpiji merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia yang hampir tidak mungkin tergantikan. Guncangan harga yang terjadi pada salah satu saja komoditas sembako tersebut dapat membuat geger seantero negeri. Apalah lagi pada sebagian besar komoditas lainnya, bisa membawa ancaman pada konflik sosial yang jauh lebih dalam. Oleh sebab itu, stabilitas harga sembako harus menjadi prioritas pemerintah dalam menjaga kondisi sosial yang kondusif.
ADVERTISEMENT
Belum lama ini kita disuguhkan berita yang menjelaskan bahwa ke depan sembako, pendidikan, dan kesehatan akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tentu informasi ini kemudian menjadi heboh dan gaduh di tengah masyarakat. Terlebih dalam suasana ekonomi yang dirasa serba sulit akibat pandemi Covid-19.
Berita tersebut seolah menjadi pukulan telak bagi masyarakat. Sebagian masyarakat mengecap pemerintah tidak memiliki rasa empatik terutama pada kalangan ekonomi bawah meskipun melalui Staf Khusus Menteri Keuangan sudah dijelaskan bahwa keinginan tersebut masih berupa wacana dan jika pun direalisasikan baru akan berlaku tahun depan dengan asumsi pandemi Covid-19 sudah menurun.
Kegaduhan di tengah masyarakat tentu bukan tanpa alasan. Bila benar wacana tersebut diimplementasikan himpitan ekonomi masyarakat akan semakin sesak. Lalu apa dampak yang mungkin terjadi jika ini tetap direalisasikan?
ADVERTISEMENT
Pertama, hadirnya PPN sembako dimungkinkan akan mendorong inflasi yang lebih tinggi. Harga-harga akan naik. Mengapa? Karena harga bahan pokok yang kena pajak akan lebih tinggi dari seharusnya. Permasalahan lainnya, kenaikan harga bukan hanya sekadar komoditas sembako saja namun efek turunannya turut terjadi pada komoditas lainnya. Kondisi ini tentu akan menurunkan daya beli masyarakat apalagi ketika tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan masyarakat.
Ekonom Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira dalam finance.detik.com mengilustrasikan secara sederhana. Misalnya, beras dikenakan PPN 1%. Jika kita ambil harga beras di pasaran per kg saat ini adalah Rp10.000,00 maka harga beras setelah dikenakan PPN akan menjadi Rp10.100,00. Apakah ada jaminan si penjual akan menjual beras tersebut dengan harga Rp10.100,00? Psikologis pasar tentu akan membulatkannya menjadi Rp10.500,00 atau Rp11.000,00. Ini artinya, inflasi beras tersebut bukan di angka 1% namun bisa menjadi 5% lebih. Bagaimana dengan komoditas lainnya? jika rantai pasok bermasalah?
ADVERTISEMENT
Masalah selanjutnya adalah kemungkinan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi. Menurunnya daya beli masyarakat akan mengakibatkan menurunnya tingkat konsumsi rumah tangga. Rumah tangga akan cenderung menahan konsumsi kebutuhan sekunder dan tersier akibat memperjuangkan kebutuhan primer yang cost-nya meningkat. Menurut catatan BPS, pada tahun 2020 peran konsumsi rumah tangga dalam PDB Indonesia mencapai 57,66%, terhitung sangat dominan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, kemiskinan meningkat. Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia per September 2020 mencapai 10,19% (27,55 juta orang).
Dalam struktur penentuan garis kemiskinan yang dianut BPS, variabel garis kemiskinan makanan di Indonesia pada September 2020 masih memiliki share yang lebih besar ketimbang garis kemiskinan bukan makanan. Angka perbandingannya mencapai 73,86% untuk garis kemiskinan makanan banding 26,13% untuk garis kemiskinan bukan makanan.
ADVERTISEMENT
Dalam garis kemiskinan makanan tersebut, baik wilayah perdesaan dan perkotaan, kebutuhan pokok seperti beras, telur, daging ayam ras, gula memberikan kontribusi yang masih cukup besar. Ini artinya, ketika terjadi kenaikan harga bahan pokok dapat dipastikan kemiskinan akan bertambah.
Penjelasan Pemerintah Terkait Pajak Sembako
Dilansir dari kompas.com, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan bahwa rencana pungutan PPN sembako, jasa pendidikan (termasuk sekolah), dan jasa kesehatan memang dimasukkan dalam draft Revisi Kelima UU Nomor 16 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). RUU KUP tersebut belum dibahas bersama DPR.
Masalahnya, polemik PPN untuk sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan tersebut sudah kadung menyebar di tengah masyarakat. Dilalah-nya, informasi yang yang diterima publik adalah informasi yang dicerna secara terpotong-potong.
ADVERTISEMENT
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu turut menjelaskan bahwa tarif PPN yang diajukan dalam RUU KUP adalah khusus bahan pangan kelas premium. Sembako non-premium yang dibeli di pasar tradisional akan terbebas dari PPN.
Beras produksi petani seperti Cianjur, Rojolele, Pandan Wangi, dan lain-lain tidak akan dikenakan pajak. Beras premium yang terkena PPN adalah beras jenis basmati dan shirataki. Demikian halnya daging, daging sapi yang dikenakan pajak adalah daging sapi Kobe dan Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat dari harga daging sapi biasa.
Ke depan tantangan Indonesia akan semakin kompleks seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk. Bukan sekadar target peningkatan tax ratio tetapi juga masalah masih besarnya ketimpangan pendapatan antarmasyarakat (gini ratio) yang menjadi tantangan sendiri dalam mengejar realisasi pajak terlebih di tengah kondisi tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang belum tuntas.
ADVERTISEMENT
Trade off ini tentu sudah dipertimbangkan matang oleh pemerintah. Kita berharap, masih banyak alternatif atau strategi lain yang bisa dilakukan pemerintah dalam pengumpulan pajak tanpa membebani masyarakat ekonomi pas-pasan. Semoga saja.