55 TAHUN GANYANG PKI

Guru Agung
SO Pendidikan DOMPET DHUAFA dan Konschooltan MADRASAH 5.0
Konten dari Pengguna
1 Oktober 2020 5:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Guru Agung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Tiap-tiap haluan yang hanya menuju maksud untuk memenuhi nafsu kebendaan, apalagi haluan yang mungkir kepada Allah, selama-lamanya tiadalah akan dapat menimbulkan perdamaian dan sosialisme sejati.”
ADVERTISEMENT
(HOS Tjokroaminoto, dalam “Islam dan Sosialisme”)
Perbincangan mengenai komunisme dan Partai Komunis Indonesia kembali menghangat. Terlebih bila memasuki bulan september, dan saat ini bertepatan dengan 55 tahun G.30.S atau Gestapu. Berbagai polemik tentangnya masih sulit untuk dihindari. Seperti tak pernah bisa tuntas, setiap interpretasi yang dimunculkan akan selalu menuai kontroversi. Sah-sah saja sebenarnya, asalkan data dan fakta tak boleh terlupakan, apalagi sengaja diabaikan. Namun uniknya, perdebatan di seputar hal tersebut hari ini justru banyak diminati oleh anak-anak muda, seperti penulis artikel ini, yang pastinya tidak pernah merasakan “jiwa zaman” di kala itu.
Sebagai generasi kedua, bahkan ketiga, anak-anak muda hari ini pastinya mulai kehilangan jembatan untuk bisa menjangkau tragedi di masa lalu itu. Rangkaian peristiwa yang terjadi di akhir era Demokrasi Terpimpin, atau Orde Lama, mungkin hanya bisa didapat dari mata pelajaran sejarah di setiap jenjang sekolah. Bukan saja waktunya yang tidak cukup, muatan fakta-faktanya pun pasti mengalami distorsi. Para Guru Sejarah, selain masih kebingungan dalam bersikap dan miskin referensi, mayoritas mereka adalah generasi pendidik yang lahir dan dibesarkan di zaman indoktrinasi kepemimpinan Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Kritik atas kebijakan Orde Soeharto yang banyak mendeskreditkan PKI masih deras bermunculan. Istilah G.30.S/PKI pun kemudian digugat, alasannya: Apakah memang PKI benar-benar terlibat atas gerakan makar itu? Faktanya G.30.S itu memang nyata-nyata ada. Diketemukannya enam jenazah jenderal Angkatan Darat adalah buktinya. Lubang Buaya adalah TKPnya. Bahkan pelakunya pun telah jelas siapa. Tapi, apakah para pelaku ini adalah PKI atau adakah hubungan mereka dengan PKI? Ini titik inti persoalannya. Lantas bila seperti ini, mana yang benar? Dan sumber sejarah mana yang layak jadi rujukan?
Peristiwa G.30.S/PKI yang berujung pada pembubaran PKI di Indonesia, menurut Bradley R. Simpson, mungkin adalah kemunduran terbesar komunisme di Dunia Ketiga pada dekade 1960-an. Bandul politik pun berubah, penghancuran PKI semakin melemahkan posisi tawar Soekarno, dan menguatkan dominasi politik militer. Terlebih saat Presiden Soekarno (konon karena dipaksa) harus memberi mandat Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) kepada Mayjend. Soeharto. Kekuasaan negara nyaris kemudian dikendalikan sepenuhnya oleh militer. Beberapa negara pun bahkan secara diam-diam telah mengalihkan dukungan dari Soekarno ke Soeharto.
ADVERTISEMENT
Tuduhan bahwa PKI adalah dalang dari G.30.S atau Gestapu, sudah banyak yang meragukan kebenarannya. Hanya saja, dugaan ke arah tuduhan tersebut, sejak awal telah didukung oleh sejumlah fakta. Harold Crouch pernah mengemukakan beberapa alasan, walaupun ini menurutnya juga tidak serta merta bisa dijadikan sebagai pembenaran. Alasan tersebut antara lain adalah keberadaan Aidit pada tanggal 1 Oktober di Pangkalan Halim Perdanakusuma, yang lokasinya menempel dengan kawasan Lubang Buaya. Kemudian munculnya berbagai mobilisasi massa PKI yang mendukung Gestapu seperti yang terjadi di Solo dan Yogyakarta. Tak ketinggalan, Harian Rakyat, surat kabar milik PKI, dalam editorialnya juga mendukung gerakan yang dipimpin oleh Letkol Untung. Fakta-fakta inilah yang menguatkan dugaan TNI Angkatan Darat dalam membuat interpretasi bahwa PKI terlibat dalam pembunuhan enam jenderalnya.
ADVERTISEMENT
Gerakan 30 September secara kilat bisa “dipatahkan” oleh militer yang komandonya langsung diambil alih oleh Mayjend. Soeharto selaku Panglima Kostrad. Secara cepat pula gerakan yang menyebut dirinya dengan nama Dewan Revolusi ini langsung dialamatkan kepada kelompok PKI. Berdasarkan informasi yang dihimpun Greg Fealy, belum 24 jam dari aksi penculikan enam jenderal terjadi, tanpa perlu berpikir penjang, sudah terjadi pertemuan antara perwira tinggi TNI dengan sejumlah tokoh pemuda dari kelompok Islam dan Katholik dalam rangka menyusun aksi penumpasan. Sehari kemudian, 2 Oktober 1965, langsung terbentuk KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu) sebagai front aksi pertama untuk menentang PKI. Kelompok ini dipelopori terutama oleh pemuda Nahdlatul Ulama dan Katholik yang mendapat sokongan diam-diam dari Markas Besar TNI. Nahdlatul Ulama sendiri dalam hal ini adalah organisasi paling pertama yang berani menyatakan secara resmi bahwa PKI dituntut untuk segera dibubarkan karena terlibat dalam Gerakan 30 September.
ADVERTISEMENT
Melalui operasi propaganda yang disebarkan oleh Angkatan Darat, PKI semakin diyakini masyarakat sebagai partai yang berbahaya. Foto-foto jenazah para Jenderal korban Gestapu, disertai berita-berita tentang penemuan liang-liang kubur dan daftar rencana pembunuhan PKI, menjadi bahan propaganda yang efektif untuk meraih dukungan rakyat dalam “mengganyang” PKI dan pendukung-pendukungnya.
Menurut versi pemerintah, penyelesaian hukum terhadap anggota-anggota PKI, secara umum dapat dibagi menjadi tiga macam:
1. Golongan A, yaitu mereka yang (dianggap) terlibat langsung dalam pemberontakan G.30.S/PKI, termasuk yang dilakukan di daerah. Pemerintah kemudian memproses lewat sidang pengadilan.
2. Golongan B, yaitu para anggota PKI atau pengurus ormas se-asas dengan PKI yang (dituduh) menghambat usaha penumpasan G.30.S/PKI. Pemerintah melakukan pemisahan mereka dari masyarakat dengan cara menempatkan mereka pada suatu tempat, semisal pulau Buru di Maluku.
ADVERTISEMENT
3. Golongan C, yakni mereka yang pernah terlibat pemberontakan PKI di Madiun 1948; atau anggota ormas se-asas dengan PKI, atau yang (dianggap) menjadi simpatisan PKI. Pemerintah dalam hal ini memberikan bimbingan dan mereka tetap bebas hidup di masyarakat.
Namun permasalahannya, di samping melakukan penyelesaian hukum terhadap tiga golongan tersebut, pemerintah juga melakukan operasi intelijen, tempur, teritorial, dan kamtibnas untuk para anggota dan simpatisan PKI yang dianggap mendukung pemberontakan G.30.S. Entah berapa banyak masyarakat, yang tertuduh PKI atau simpatisan PKI, harus menjadi korban dalam operasi ini. Bahkan yang mengejutkan, “operasi balas dendam” ini bukan saja dilakukan oleh personil TNI AD, melainkan juga oleh kelompok masyarakat yang sudah lama menaruh kebencian kepada PKI. Penangkapan, bahkan eksekusi, tak jarang dikerjakan oleh tetangga atau kerabat dari anggota dan simpatisan PKI itu sendiri. Sehingga ini bukan saja permasalahan antara Angkatan Darat dengan PKI semata, namun sudah menjadi puncak dari konflik sosial horisontal yang sudah lama terjadi di dalam tubuh masyarakat. G.30.S lalu menjadi momen yang tepat untuk dijadikan ajang menyerang PKI. “Kita membunuh mereka, atau kita yang bakalan dibunuh oleh mereka”, logika inilah alasannya.
ADVERTISEMENT
Berputar ke Belakang
Bila menelisik ke belakang, penggayangan terhadap PKI sebagai sebuah partai terlarang tidak saja bermula dari peristiwa Gestapu. Penculikan yang disertai pembunuhan terhadap enam jenderal Angkatan Darat hanyalah puncak dari persaingan politik yang terjadi di era Demokrasi Terpimpin. Persaingan ini berakar tidak hanya dari kepentingan kekuasaan semata, namun juga dari perselisihan ideologi yang sulit untuk dipertemukan.
Pada Pemilu 1955, PKI berhasil mengumpulkan suara pemilih sebanyak 6.176.914 suara atau 16,4%. Saat itu PKI masih memusatkan kegiatannya di kalangan proletar di perkotaan. Dari hasil ini, mendorong PKI untuk lebih intensif mendekati kalangan proletar pedesaan, yakni para petani. Pendekatan PKI terhadap petani dilakukan melalui pemanfaatan tiga isu utama, yaitu tanah untuk petani, upah yang menguntungkan untuk buruh dan buruh tani, serta bagi hasil yang menguntungkan untuk petani penggarap. Hal ini tak lepas dari kesenjangan kepemilikan tanah yang dialami oleh para petani di Jawa. Mayoritas besar petani adalah kalangan miskin yang hanya memiliki kurang dari 1 hektar lahan. Arbi Sanit berpandangan bahwa pendekatan nyata PKI kepada para petani cukup efektif dalam mendulang suara. Hasilnya, PKI menjadi partai terbesar di pulau Jawa dalam pemilu DPRD tahun 1957 dengan perolehan sebesar 25,6%.
ADVERTISEMENT
Menurut JAC. Mackie, dasar dari setiap gerakan sosialisme atau komunisme adalah perjuangan kelas. Puncak perjuangan mereka adalah sampai pada titik munculnya masyarakat sosialis, yakni masyarakat tanpa kelas. Menurut teori Marxis, kaum proletar akan bertindak sebagai perintis terwujudnya masyarakat sosialis tersebut. Kaum proletar yang pada umumnya direfresentasikan oleh kelompok buruh dan petani inilah yang selanjutnya akan mendesak munculnya “diktator proletariat” yang akan menyerang “musuh-musuh kelas”, seperti pemilik modal dan tuan-tuan tanah.
Maka tak heran bila basis massa partai-partai yang berhaluan kiri, termasuk PKI, banyak ditopang oleh kalangan buruh dan petani. Namun pada praktiknya, teori-teori Marxisme akan berbeda pelaksanaannya antara satu negara komunis dengan negara komunis yang lainnya. Implementasi nilai-nilai komunis sangat tergantung pada penasiran pemimpin-pemimpin komunisnya. Suatu partai atau negara komunis akan menempuh jalan revolusi marxisme yang berbeda sesuai dengan kondisi mayoritas kaum proletariatnya.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya bukan hanya PKI saja, paham Sosialis-Marxisme juga dianut oleh beberapa partai politik di Indonesia kala itu, yakni: Partai Sosialis Indonesia, Partai Murba, Partai Buruh. Hanya saja partai-partai tersebut hanyalah partai gurem. Walaupun sama-sama menentang kapitalisme, namun setelah Revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1917, terdapat perbedaan yang sangat tajam antara kaum komunis dan sosialis. Hal ini dipengaruhi oleh pengambilan strategi menuju jalan masyarakat yang tidak berkelas. Kaum sosialis umumnya menentang pengambilan jalan revolusi sosial melalui kekuasaan “diktator proletar”. Sedang kaum komunis justru sebaliknya.
Hal inilah yang mengindikasikan bahwa doktrin Revolusi belum selesai dari Presiden Soekarno dianggap sebagai sebuah kemenangan bagi PKI. Maka kelompok-kelompok anti-komunis di era Demokrasi terpimpin sering dituduh sebagai kelompok kontra-revolusioner yang bekerja sama dengan Nekolim (Neokolonialisme dan Imperialisme). Kebetulan, entah disengaja atau tidak, para jenderal yang diculik sebagian besarnya pernah merasakan pendidikan militer di negeri Amerika Serikat, yang dianggap PKI sebagai biangnya Nekolim.
ADVERTISEMENT
Hasil pemilu daerah pada tahun 1957, ditambah lagi dengan pemberontakan PRRI-Permesta (yang didukung oleh beberapa pentolan Masyumi dan PSI), membuat posisi PKI semakin bertambah kuat. Sedangkan PNI dan NU malah semakin melemah. Di sisi lain, akibat pergolakan politik nasional yang memanas di era Demokrasi Parlementer, membuat peluang lebar bagi militer untuk menaikkan pamor serta kekuasaannya. Kegagalan Konstituante dalam mencapai kesepakatan mengenai rekonsepsi dasar negara, mendorong Jenderal Abdul Haris Nasution untuk mengeluarkan status SOB atau “Negara dalam kondisi darurat” pada tanggal 3 Juni 1959. Semua aktivitas politik pun dilarang. Kondisi inilah yang kemudian mendorong munculnya Dekrit Presiden satu bulan kemudian. Maka dimulailah era Demokrasi Terpimpin.
Greg Fealy menjelaskan bahwa Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, jumlah perwakilan PKI, sebagai penyokong Demokrasi Terpimpin, kian bertambah besar saat dibentuknya DPR Gotong Royong. Dalam parlemen sebelumnya, komunis yang awalnya menguasai 20% kursi, membesar hingga menjadi 35% di DPR-GR. Sedangkan partai Islam yang awalnya menguasai sekitar 45% kursi, turun drastis menjadi hanya 25% sebagai akibat disingkirkannya Masyumi dari parlemen hasil rekaan Presiden Soekarno.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1960, pemerintahan Orde Lama mengeluarkan UU No. 56/1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Inilah awal dari pemberlakuan Landreform yang membatasi kepemilikan tanah pertanian sesuai dengan tingkat kepadatan penduduk. Pemilik tanah tidak boleh memiliki lahan lebih dari 20 hektar, bila lebih maka akan disita. Deliar Noer berpendapat bahwa kebijakan ini dimanfaatkan betul oleh pihak komunis melalui organisasi BTI (Barisan Tani Indonesia) yang memaksakan kehendak anggota dan simpatisannya untuk merebut lahan dari pemilik tanah. Maka muncullah apa yang disebut dengan “Aksi Sepihak PKI” yang disertai dengan slogan “tujuh setan desa” untuk menyindir para penentangnya, terutama kaum muslimin dan para santri di pedesaan. Konflik antara santri dengan para komunis dan pendukungnya tak bisa terelakkan lagi, seperti yang terjadi di Indramayu, Klaten, Boyolali, Kamigoro dan Jember.
ADVERTISEMENT
Penolakan keras terhadap kebijakan-kebijakan di era Demokrasi Terpimpin, ditambah dengan menguatnya peran PKI di dalam lingkaran pemerintahan yang bernuansakan NASAKOM, membuat Masyumi kian terpojok. Puncak-puncaknya ketika Masyumi kemudian harus memilih opsi membubarkan diri setelah diancam akan dijadikan sebagai partai terlarang oleh negara pada tahun 1960. Tak puas dengan hal tersebut, banyak tokoh-tokoh penting partai ini yang kemudian bahakn ditangkap dan dipenjara dengan beragam tuduhan palsu. Tokoh-tokoh itu antara lain: Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanoedin Harahap, Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, M. Yunan Nasution, KH M. Isa Anshari, Kasman Singodimedjo, bahkan Buya Hamka. Padahal mereka adalah ulama dan tokoh-tokoh nasional yang memiliki banyak kontribusi kepada tegaknya bangsa ini.
Masyumi sebagaimana yang kita ketahui adalah partai politik yang memiliki komitmen kuat terhadap perjuangan mengangkat Islam sebagai dasar negara. Sejak jauh hari Masyumi dengan tegas menentang keberadaan PKI sebagai pembawa ajaran komunisme yang saangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam. Artawijaya mengemukakan bahwa pada bulan Desember 1954, sesaat sebelum Pemilu 1955, Dewan Syura Partai Masyumi mengeluarkan fatwa, yang salah satunya berbunyi: “Barangsiapa yang menganut komunisme dengan pengertian, kesadaran, dan keyakinan akan benarnya paham komunisme yang nyata-nyata bertentangan, menentang dan memusuhi Islam, maka adalah ia hukumnya: Kafir”. Fatwa keras ini bagi kalangan PKI tentunya dianggap sebagai bagian dari upaya penggembosan PKI dalam Pemilu 1955.
ADVERTISEMENT
***
Perbedaan ideologi semestinya tidak perlu mewariskan dendam berkepanjangan. Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjunjung falsafah Bhineka Tunggal Ika, pelbagai konflik ataupun kontravensi di masa lalu semestinya tak perlu di bawa sampai ke liang kubur. Para pemimpin kita telah mengajarkan hal penting ini bagi kelangsungan bangsanya. Sebagaimana wasiat Bung Karno di saat menjelang wafatnya meminta kesediaan Buya Hamka untuk menjadi imam sholat jenazahnya. Padahal Buya Hamka adalah tokoh Islam yang pernah ia fitnah, bahkan dipenjara.
Ada pula kisah tentang hubungan Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer yang dahulu aktif di Lekra yang dekat dengan PKI. Mengangkat tulisan Artawijaya, suatu ketika, Pram meminta putrinya yang bernama Astuti dan calon suaminya yang berlatar belakang non-muslim untuk belajar Islam dari Buya Hamka. Padahal Buya Hamka sendiri sebelumnya adalah seteru Pram. Bahkan novel karya Buya Hamka yang berjudul: “Tenggelamnya Kapal Van der Wicjk” pernah dituding plagiat oleh Pram dan kawan-kawannya di Lekra.
ADVERTISEMENT
***
Dalam menelisik sejarah G.30.S umumnya setiap orang punya jawabannya sendiri. Sayangnya banyak jawaban tersebut kerap tidak didasari oleh referensi yang memadai, tapi lebih senang merujuk pada latar belakang kelompok atau ideologi yang diikuti. Seandainya pun dilandasi oleh sumber sejarah, namun biasanya sudah terlanjur dibumbui oleh sejumlah interpretasi dan opini sepihak. Sehingga yang muncul adalah pembenaran, bukan kebenaran.
Tak bisa dipungkiri bahwa tulisan ini pun tak bisa lepas dari subjektivitas penulis dalam memberi interpretasi. Pemilihan sumber bacaan yang dipilih oleh penulis pun sesungguhnya sudah merupakan pembingkaian atas fakta agar bisa mengarahkan pembaca pada sudut pandang tertentu. Namun, lagi-lagi, ini sah-sah saja. Tidak ada yang salah dalam mengungkap kembali informasi terkait dengan Gestapu tersebut. Silahkan khalayak pembaca sendiri yang menilai dengan cermat dan bijak. Semoga banyak yang tertarik dan selanjutnya terdorong untuk mencari sumber referensi lain yang lebih akurat dan lebih kaya informasinya. Selamat belajar dari sejarah..
ADVERTISEMENT