Madrasah dan Negara (Bagian 1)

Guru Agung
SO Pendidikan DOMPET DHUAFA dan Konschooltan MADRASAH 5.0
Konten dari Pengguna
9 Juli 2020 12:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Guru Agung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi murid madrasah. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi murid madrasah. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia dari Era Kolonial menuju Era Milenial
ADVERTISEMENT
Dalam bingkai negara nasional, relasi agama dan negara akan tetap menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Kadang, kedekatan keduanya dianggap sebagai tindakan, bahkan ide yang “diharamkan”. Namun juga tak jarang bahwa kebutuhan untuk menyatukannya menjadi tuntutan dalam rangka merangkul kelompok-kelompok keagamaan tertentu yang tak sealiran dalam menguatkan struktur kekuasaan.
Pada akhirnya semuanya bermuara pada kepentingan politik para pemangku kekuasaan. Sebagai bukan negara agama, tapi dilahirkan dari masyarakat yang beragam agama, Indonesia memang tidak bisa menjauh dari pengaruh nilai-nilai keagamaan beserta kepentingan pemeluk-pemeluknya. Umat Islam sebagai entitas terbesar di Indonesia tentu memiliki tuntutan yang juga paling besar untuk dapat diakomodir segala urusan-urusannya.
Akomodasi politik tersebut tidak hanya berbentuk jaminan hukum atas kebebasan beribadah, namun juga adanya dukungan nyata untuk bisa menjaga eksistensi agama bagi para pemeluk-pemeluknya, antara lain keleluasaan mendapatkan pendidikan agama. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan agama menurut Zakiah Daradjat, dkk. (2016: 85) setidaknya telah disediakan dalam dua kanal, yakni: pendidikan agama Islam yang diselenggarakan di sekolah-sekolah umum sebagai sebuah bidang studi, dan pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada madrasah atau perguruan agama, termasuk pesantren, yang hanya dikunjungi oleh anak-anak kaum muslimin.
ADVERTISEMENT
Pendidikan sebagai hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi, perlu difasilitasi secara penuh oleh pemerintah. Begitupun pula dengan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, negara harus menjamin keberadaannya menurut kekhasan yang ada pada masing-masing ajaran agama tersebut. Sejak awal mula bangsa ini merdeka, negara mengakomodir segala kepentingan umat beragama melalui pendirian Departemen Agama. Deliar Noer (2000: 362) dalam disertasi doktoralnya mengatakan bahwa tak bisa dipungkiri berdirinya Departemen Agama pada tahun 1946 salah satunya antara lain untuk memenuhi keinginan dan keperluan ummat Islam. Sedangkan pada tahun 1945, Departemen Agama masih belum dapat didirikan disebabkan karena masih adanya pihak-pihak dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang menentang.
Senang atau tidak, pendidikan merupakan bagian dari keputusan politik. Begitulah memang realitasnya. Pemerintah sebagai pengelola negara adalah struktur yang paling menentukan dalam membuat arah, filosofi, dan sistem pendidikan nasional. Sulit dihindari bahwa visi kepemimpinan nasional akan sangat berpengaruh terhadap setiap arah kebijakan pendidikan agama. Sehingga tidaklah mungkin masyarakat bisa meminggirkan begitu saja peran serta negara dalam urusan pendidikan Islam. Di tangan negaralah; anggaran, birokrasi, kurikulum, serta standar pendidikan itu dikelola. Ini bukan saja karena pendidikan itu menyangkut hajat hidup orang banyak, tapi jauh lebih luas dari itu pendidikan termasuk alat strategis dalam menjamin kedaulatan sebuah negara.
ADVERTISEMENT
Kata-kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang termaktub dalam pembukaan konstitusi kita bukan sekadar cita-cita kemerdekaan, tapi juga janji negara terhadap seluruh rakyat Indonesia. Kalimat ini merupakan bentuk kesadaran abadi akan pentingnya peran negara dalam membangun jiwa dan raga segenap generasi bangsa. Pendiri bangsa kita tentu sangat memahami bahwa pendidikan adalah bagian yang tidak mungkin terpisahkan dari proses pembangunan sebuah bangsa dan republik. Pendidikanlah yang membuat hati dan akal mereka terbuka tentang konsep Indonesia merdeka.
Sistem pendidikan nasional, sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial, harus memiliki relevansi bagi pembangunan nasional. Setidaknya ada 3 kriteria relevansi pendidikan terhadap pembangunan nasional, yaitu: (1) kriteria akademik, berupa standar pendidikan yang ditetapkan dalam bentuk kurikulum nasional, (2) kriteria religio-moral, yakni mendidik manusia Indonesia yang bertakwa, dan berkepribadian luhur, serta (3) kriteria ketenagakerjaan, yaitu untuk menghasilkan tenaga pembangunan yang kompeten di bidang kerjanya (H.A.R Tilaar, 1990: 193)
ADVERTISEMENT
Jika kita menengok lembaran sejarah, pemerintah kolonial Belanda sejak pertengahan abad ke-19 telah memulai membangun sekolah-sekolah formal di beberapa kota di Indonesia. Dengan membangun basis-basis infrastruktur pendidikan bagi rakyat jajahan, justru Belanda berkeyakinan akan semakin bisa memperbesar investasi dan memperkuat eksistensi sistem kolonialismenya. Ini membuktikan bahwa pendidikan bagaimanapun juga selalu menjadi kebutuhan. Melalui sekolah, kebutuhan akan tenaga terdidik dan terampil bisa terpenuhi.
Dalam perkembangan pendidikan Islam di Nusantara, setidaknya ada tiga model pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia, yakni pondok pesantren, madrasah, dan sekolah Islam. Di antara ketiga tipe model pendidikan Islam tersebut, maka pondok pesantren adalah model yang paling tertua di Indonesia umumnya masih kuat menjaga sistem dan kurikulum tradisional. Sedangkan sekolah Islam dipandang sebagai perwujudan integrasi kurikulum Islam dengan sistem pendidikan modern (Charlene Tan. 2014: 50). Madrasah sendiri tampil dengan perpaduan antara sistem tradisional dan trend pembaharuan pendidikan Islam, walaupun ini masih belum cukup kuat dalam menarik minat masyarakat Islam.
ADVERTISEMENT
Pesantren telah didirikan oleh Wali Songo pada abad ke-15 sebagai sarana penyebaran agama Islam di Tanah Jawa. Untuk memperdalam ilmu agama, para santri harus tinggal di asrama dalam pondokan yang sederhana. Komponen pesantren cukup terdiri atas masjid, asrama, seorang kiai, beserta sekelompok kecil para santri. Hanya saja, saat itu belum dikenal istilah pesantren. Tapi inilah cikal bakal sistem pendidikan pesantren sebagai ujung tombak pertumbuhan awal dakwah Islam di pulau Jawa (Hanun Hasrohah, 2001: 145-146). Sehingga muncullah istilah Pondok Pesantren. Karena Pesantren memang identik dengan bangunan-bangunan asrama berbentuk pondok yang umumnya terbuat dari bambu.
Berbeda dengan perkembangan pesantren, di tanah air, madrasah adalah sekolah Islam yang mengajarkan pengetahuan umum serta pelajaran agama Islam, seperti: Bahasa Arab, Al-Qur’an, Ilmu Kalam, Tafsir, Hadits, Ilmu Fiqh, Tarikh dan pelajaran lain yang diajarkan secara modern. Perkembangan madrasah ini bertambah pesat di bawah naungan pergerakan-pergerakan Islam di Indonesia sehingga kedudukannya tak kalah dengan sekolah-sekolah umum (Aboebakar Atjeh, 1956: 201). Pada awal abad ke-20, pengaruh gerakan pembaharuan Islam (Pan-Islamisme) mulai diikuti oleh kalangan tradisionalis Islam di Indonesia. Salah satunya dengan pendirian sejumlah madrasah di banyak tempat (Deliar Noer, 2000: 16).
ADVERTISEMENT
Sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, madrasah-madrasah mulai diperkenalkan pembagian tingkatan menurut metode klasikal berdasarkan kemampuan murid dan kelompok umur. Model ini sedikit banyak dipengaruhi oleh Madrasah Darul Ulum dan Shaulatyah di Mekkah, serta tak luput pula dari dampak sistem pendidikan kolonial Belanda yang berlaku saat itu (Depdikbud, 1985: 234). Kaum tradisional yang mula-mulanya enggan untuk mengubah sistem pendidikan tradisionalnya, pada akhirnya harus mengikuti arus modernisasi dalam pendidikan Islam. Banyak pesantren tradisional yang kemudian mengadopsi sistem pembelajaran klasikal dengan penjenjangan kurikulum menurut tingkatan kelas (Ayung Darun Setiadi, 2009: 457-458).
Greg Fealy (2007: 29-30) mengemukakan bahwa pada akhir 1910-an, beberapa pesantren tradisional memang turut memulai pendirian madrasah sebagai bentuk reformasi pendidikan Islam dengan cara memasukkan secara terbatas mata pelajaran umum. Contohnya seperti yang dilakukan oleh KH. Wahab Chasbullah dan KH. Mas Mansyur dalam mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan dengan menggunakan metode pendidikan dan organisasi yang bercorak modern pada tahun 1916 di Surabaya. Sejak tahun 1920-an, kemudian banyak lembaga madrasah dan pesantren yang mulai memakai sistem pendidikan modern dan memperkenalkan berbagai jenis pengajaran-pengajaran umum (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993: 138). Tak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah milik pemerintah Belanda dan sekolah misionaris Nasrani, madrasah saat itu telah mulai melakukan pembelajaran dengan penjenjangan tingkatan kelas, serta suasana kelas modern yang menggunakan papan tulis, buku teks, dan penilaian yang terstruktur (Charlene Tan. 2014: 52).
ADVERTISEMENT
Pengaruh guru agama, melalui madrasah dan pesantren yang dikelolanya, sangat melekat kuat keberadaannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa. Maka dari itu, pemerintah kolonial yang khawatir dengan hal tersebut perlu mengawasi keberadaan mereka. Pemerintah Belanda mengeluarkan Goeroe Ordonanntie pada tahun 1905 dan diperbaharui tahun 1925 yang mengharuskan guru-guru swasta, termasuk guru agama untuk melaporkan aktivitas pendidikannya kepada penguasa pribumi setempat (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993: 173-174). Namun, pada zaman itu, beberapa pendidikan Islam, antara lain Perguruan Muhammadiyah, masih dapat menerima bantuan keuangan dari pemerintah bagi amal usahanya, seperti sekolah. Namun subsidi yang diterima tidak terlalu besar karena persyaratan yang terlalu berat (Anwar Jasin, 1987: 260-261).
Tapi di sisi lain, permohonan agar pelajaran agama Islam dimasukkan sebagai mata pelajaran di perguruan umum yang diusulkan oleh wakil-wakil rakyat pribumi di Volksraad selalu ditolak oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pemerintah kolonial saat itu memang menganut politik pendidikan “neutraal”, yakni tidak turut campur dalam urusan pendidikan agama yang dianggapnya adalah tanggung jawab keluarga (Zakiah Daradjat, dkk., 2016: 90-91).
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan pemerintah kolonial Belanda, pemerintah militer Jepang justru banyak menaruh perhatian kepada gerakan dan perkembangan ummat Islam. Walapun pada awal pendudukannya, banyak madrasah dan pesantren yang ditutup oleh pemerintah Jepang selama beberapa bulan saja. Namun kemudian, secara resmi kalangan Islam banyak diberi posisi-posisi penting dalam masa pendudukan Jepang tersebut (Deliar Noer, 2000: 24 dan 27). Pada zaman pendudukan Jepang, perguruan Ma’arif masih dapat bergerak leluasa karena nampaknya pemerintah militer Jepang kurang perhatiannya terhadap pendidikan pondok pesantren dan madrasah (Anwar Jasin, 1987: 264).