Konten dari Pengguna

Madrasah dan Negara (Bagian 2)

Guru Agung
SO Pendidikan DOMPET DHUAFA dan Konschooltan MADRASAH 5.0
10 Juli 2020 11:42 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Guru Agung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sekolah Dasar Islam. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sekolah Dasar Islam. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT

Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia dari Era Kolonial Menuju Era Milenial

ADVERTISEMENT
Pada zaman awal kemerdekaan, dibentuklah Panitia Penyelidik Pengajaran untuk mengubah sistem pendidikan kolonial ke dalam sistem pendidikan nasional. Ki Hajar Dewantara, selaku Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada Kabinet pertama, barulah dapat menekankan bahwa Pendidikan Agama harus mulai dijalankan di sekolah-sekolah negeri (Zakiah Daradjat, dkk., 2016: 90-91). Tidak terlalu lama setelah proklamasi kemerdekaan berselang, cara berdemokrasi Republik ini berubah dari sistem pemerintahan presidensiil menjadi kabinet parlementer dengan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menterinya. Sebagai akibat dari dikeluarkannya Maklumat Politik No. 1 dan usul BP KNIP tanggal 30 Oktober 1945, maka segera dibentuklah berbagai partai-partai politik dalam rangka mempersiapkan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal pada saat itu, di banyak wilayah sedang terjadi banyak pertempuran antara tentara republik dengan pihak sekutu (Slamet Muljana, 2008: 63-64).
ADVERTISEMENT
Pasca-kemerdekaan, banyak kalangan santri tradisional yang berusaha masuk ke dalam struktur birokrasi pemerintahan, terutama Kementerian Agama. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah jalan dalam menerima dana pemerintah yang untuk peningkatan fasilitas pendidikan dan keagamaan, seperti madrasah, pesantren, dan masjid. Departemen Agama juga dipandang sebagai sarana strategis untuk penguatan patronase dan mobilitas sosial para kaum santri (Greg Fealy, 2007: 86-87). Cita-cita untuk memajukan madrasah sebagai sekolah Islam yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama namun juga pengetahuan umum dengan cara yang modern pada era kemerdekaan kemudian mendapat sokongan penuh dari Kementerian Agama Republik Indonesia.
Pasca-perang kemerdekaan, Indonesia semakin memasuki Masa Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer yang diwarnai dengan perdebatan panjang tentang dasar negara Indonesia; apakah konsepsi tentang negara Islam, ataukah Pancasila. Namun perjuangan penegakan syariat Islam sendiri tidak bergerak dengan satu suara yang utuh. Setidaknya kekuatan Islam terpecah menjadi dua kekuatan politik besar: yakni Masyumi dan Nahdlatul Ulama. Masyumi digambarkan sebagai sosok Islam perkotaan yang modern dan reformis, dengan Muhammadiyah sebagai salah satu basis kekuatannya. Sedangkan NU dipandang sebagai representasi kekuatan kaum tradisionalis Islam yang berbasiskan kaum santri dari pondok-pondok pesantren yang dipimpin oleh para kiai konservatif pengikut ajaran fiqh Imam Syafei (John Obert Voll, 1997: 307-308).
ADVERTISEMENT
Pada awal masa demokrasi parlementer ini keluarlah Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Untuk menguatkan undang-undang tersebut, maka dikeluarkanlah Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dengan Menteri Agama No.17678 tahun 1951 untuk memberikan pedoman penyelenggaraan pendidikan agama bagi seluruh sekolah-sekolah di Indonesia. Salah satu isi peraturan bersama itu adalah: “Rencana Pelajaran Agama ditetapkan oleh Kementerian Agama sesudah disetujui oleh Kementerian PP & K” (Zakiah Daradjat, dkk., 2016: 91-92). Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No.4 tahun 1950, pada Pasal 10 ayat (20) dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama, antara lain adalah madrasah, yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dinyatakan telah memenuhi kewajiban wajib belajar (Hanun Hasrohah, 2001: 195).
ADVERTISEMENT
Muncul Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 merupakan tonggak awal dimulai era Demokrasi Terpimpin atau yang dikenal dengan sebutan Orde Lama. Ini juga merupakan akhir dari Demokrasi parlementer yang dianggap lebih konstitusional. Adnan Buyung Nasution (2011: 71-72) menyatakan bahwa Kebebasan dalam berpolitik dan kebebasan peradilan sudah dihancurkan oleh model kepemimpinan negara yang berpuncak pada satu orang presiden. Demokrasi terpimpin tidak lain merupakan bentuk kediktatoran yang bertentangan dengan asas trias politika yang merupakan esensi dari demokrasi itu sendiri.
Pada tahun 1958/1959 Departemen Agama mengadakan pembaharuan madrasah yang diwujudkan dalam bentuk Madrasah Wajib Belajar (MWB). Dalam pendidikan di MWB dengan lama belajar 8 tahun, diutamakan keselarasan 3 hal:
1. Perkembangan otak atau akal yang terdiri atas kelompok pelajaran pengetahuan alam
ADVERTISEMENT
2. Perkembangan hati, perasaan dan kemauan dalam bentuk kelompok pelajaran agama sebanyak seperempat dari keseluruhan jam pelajaran.
3. Perkembangan tangan atau keterampilan dalam bentuk kelompok pelajaran kerajinan tangan.
Namun sayangnya percobaan kurikulum MWB ini tidak dapat berlangsung efektif karena masih sukarnya mengubah sturktur kurikulum madrasah yang secara tradisional begitu sangat berat kepada pengajaran agama ketimbang mata pelajaran umum. Pada masa Orde Lama berkuasa tersebut, Presiden Soekarno pernah mengeluarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia nomor 19 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Penpres ini muncul untuk mendamaikan pertentangan antara kelompok Komunis yang mendukung sistem pendidikan Pancawardhana dengan golongan nasionalis dan Islam (Anwar Jasin, 1987: 66-67).
Poesponegoro dan Notosusanto (1993: 138), memaparkan bahwa Era Demokrasi Terpimpin atau yang dikenal kemudian dengan istilah Orde Lama mencetuskan lima konsepsi pendidikan yang disebut “Pancawardhana” (lima pokok perkembangan). Ini merupakan kritik atas sistem pendidikan yang dianggap masih terlalu mementingkan aspek intelektualistis serta masih terbawa sistem pendidikan kolonial. Adapun isi Pancawardhana itu adalah:
ADVERTISEMENT
1. Perkembangan cinta bangsa dan tanah air dan masalah moral nasional
2. Perkembangan intelegensi
3. Perkembangan emosional-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir – batin
4. Perkembangan keprigelan (kerajinan tangan)
5. Perkembangan jasmani
Pada masa demokrasi terpimpin, dengan bersikap akomodatif, Nahdlatul Ulama memilih jalan untuk mendukung pemerintahan Presiden sebagai upaya untuk menjaga kepentingan ummat di dalam susunan kabinet. NU menghendaki agar Kementerian Agama dapat selalu berada di dalam pengawasan ulama sehingga negara tetap mendukung pelaksanaan pendidikan agama (keagamaan) dan ibadah-ibadah ritual (Greg Fealy, 2007: 90).
Sebagai bentuk akomodasi pemerintah Orde Lama terhadapa kelompok Islam Tradisional, maka sejak dekade 1960-an, mulai bermunculan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di banyak ibukota provinsi. Hal ini tentunya membuka kesempatan bagi para alumni madrasah untuk bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Martin van Bruinessen, (2007: 226-227) berpandangan bahwa perkembangan ini kemudian dimanfaatkan oleh banyak pesantren untuk mengintegrasikan diri ke dalam sistem pendidikan nasional yang dikontrol langsung oleh pemerintah. Kurikulum mereka kemudian banyak mengadopsi kurikulum madrasah. Namun tak sedikit juga pesantren yang tetap menolak untuk mengikuti standar pendidikan madrasah ala Departemen Agama.
Ilustrasi Sekolah Dasar Islam. Foto: Shutter Stock
Pergantian rezim Orde Lama menjadi pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto membawa perubahan besar dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebijakan-kebijakan Orde lama dianggap lebih banyak didasarkan atas perhitungan-perhitungan untuk tujuan politik berseelogan “mercusuar”. Sedangkan urusan ekonomi tidak banyak menjadi pertimbangan. Tugas utama yang mula-mula mesti ditangani oleh pemerintahan yang baru saat itu adalah untuk menghentikan proses kemerosotan ekonomi yang ditandai dengan hyper inflasi hingga mencapai angka 650% di tahun 1966, dengan pertumbuhan ekonomi hanya mencapai rata-rata 3% per tahunnya. Diharapkan upaya perbaikan ini dapat membina landasan yang sehat bagi pertumbuhan ekonomi yang wajar (Zulkarnain Djamin, 1984: 2-3).
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang abangan Jawa, watak kepemimpinan awal Presiden Soeharto memang terlihat anti-Islam. Hal ini tergambar pada awal kekuasaan Soeharto, setelah membersihkan gerakan PKI dan pendukung Orde Lama, target berikutnya adalah para kelompok Islam Politik. Ginanjar Kartasasmita dalam memoarnya, sebagaimana dikutip oleh Salim Said (2016), mengatakan bahwa dirinya selaku anggota MPR mewakili Fraksi ABRI pernah ditegur oleh LB. Moerdani, Panglima ABRI saat itu, karena memasukkan kata “pesantren” serta “iman dan takwa” ke dalam GBHN. Hal ini menurut pandangan LB Moerdani sama saja dengan menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Kata-kata iman dan takwa memang dianggap masih terlalu kental dengan istilah keagamaan dalam Islam. Sehingga umumnya saat itu masih menggunakan istilah umum yang bersifat normatif. Misalnya seperti yang diungkap oleh Oemar Hamalik (2009: 50) yang menunjukkan kurikulum SPG tahun 1976 Bab III Pasal 4, dikemukakan salah satu tujuan umum pendidikan SPG:
ADVERTISEMENT
“Menjadi warga negara yang bermoral Pancasila yang memiliki sifat-sifat baik dan konstruktif sebagai warga masyarakat serta menerima dan percaya kepada kaidah dan cara-cara pengamalan agama masing-masing, baik dalam peribadatan maupun dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam hubungan antara agama dan bidang-bidang kehidupan lainnya.”
Tahun 1983-1984, bahkan muncul perdebatan besar tentang wacana pengguliran Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi, termasuk ormas-ormas Islam. Nahdlatul Ulama (NU) tampil sebagai organisasi yang mula-mula turut menjadikan Pancasila sebagai asasnya. Dalam hal ini, Gusdur (KH. Abdurrahman Wahid), yang kemudian terpilih sebagai Ketua Umum PB NU, memiliki pengaruh besar sebagai motor penggerak yang memasukkan Asas Tunggal Pancasila ke dalam AD/ART Nahdlatul Ulama (Adnan Buyung Nasution, 2011: 50-51). Sebagaimana Muhammadiyah dan mayoritas ormas Islam lainnya, dimasukkannya Pancasila sebagai Asas Tunggal organisasi merupakan bagian dari strategi untuk menjaga eksistensi sebagai perkumpulan resmi yang diakui negara.
ADVERTISEMENT
Hingga akhir masa Orde Baru berkuasa, belum ada yang mengatur keseluruhan jenis pendidikan, baik formal, non/informal, pendidikan agama, ataupun pendidikan khusus. Baru pendidikan persekolahan umum saja yang sudah diatur (Anwar Jasin, 1987: 66). Orde Baru yang berorientasi pada kemajuan pembangunan, menghendaki pesantren untuk dapat menjadi salah satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Terlebih pesantren merupakan pranata pendidikan yang sangat dekat hubungannya dengan masyarakat kelas bawah (Ayung Darun Setiadi, 2009: 458).
Salah satu perkembangan penting bagi penyetaraan madrasah dengan sekolah umum pada masa Orde Baru adalah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 1975. Dalam SKB (Mendikbud, Menag, dan Mendagri) tersebut tercantum bahwa ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum setingkat, sehingga setiap lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas. Siswa madrasah juga dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Keputusan ini dianggap sebagai cikal bakal integrasinya madrasah dalam sistem pendidikan nasional (M. Daud Yahya, 2014: 83). Salah satu tindak lanjut dari Keputusan bersama 3 menteri tahun 1975 tersebut antara lain menghendaki kurikulum madrasah 70% bermuatan mata pelajaran umum dan 30% berisi mata pelajaran agama.
ADVERTISEMENT
Pada akhir era kepemimpinannya, Soeharto tampak menunjukkan kedekatannya dengan Islam, walaupun masih banyak yang menganggap ini hanyalah suatu upaya untuk memperoleh dukungan politik. Kecenderungan kedekatan Soeharto dengan Islam ini sangat jelas tergambar dengan keberangkatan Presiden Soeharo beserta rombongan keluarga untuk pergi haji ke tanah suci pada tahun 1991 dan juga dengan direstuinya pendirian organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Pada GBHN 1993 juga telah menggariskan bahwa pendidikan nasional memiliki tujuan dalam meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang salah satunya dicirikan dengan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada tanggal 14 Juni 1996, bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharto mencanangkan Pekan Nasional Pesantren Kilat yang secara operasional dilaksanakan pada saat liburan sekolah dengan dikoordinasikan antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia. Upaya ini ditujukan untuk mendekatkan peserta didik dengan pendidikan agama dalam rangka mencegah kenakalan remaja yang kian memprihatinkan saat itu (Muzhoffar Akhwan, 1997: 36 dan 74).
ADVERTISEMENT