Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Madrasah dan Negara (Selesai)
13 Juli 2020 15:11 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Guru Agung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia dari Era Kolonial Menuju Era Milenial
ADVERTISEMENT
Perkembangan dunia modern telah menyebabkan dislokasi psikologis pada dataran perorangan, dan dislokasi sosial-ekonomi pada dataran masyarakat. Menurut Kuntowijoyo (1999: 108-109), manusia modern perlu pembaharuan etik supaya tetap ada relevansi antara nilai-nilai dengan kenyataan aktual. Etika Islam yang berpegang pada ajaran falsafah “amar ma'ruf nahi munkar”, dapat dijadikan sebagai counter revolution atau antitesis terhadap kapitalisme dunia modern. Pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh madrasah tidak hanya dijadikan sebagai sarana mobilitas sosial dalam memperkuat struktur kelas menengah, namun dengan semakin terbukanya akses untuk mendapatkan pendidikan, maka seharusnya juga semakin terbuka kesempatan bagi masyarakat untuk bisa meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik, lebih positif, dan lebih berkualitas.
ADVERTISEMENT
Tujuan pendidikan Islam pada pesantren dan juga madrasah sejak zaman lampau adalah membentuk kepribadian muslim. Untuk menghadapi permasalahan modernisasi, maka perlu dilakukan gerakan penyempurnaan sistem pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan Islam, yang salah satunya tentu adalah madrasah. Penyempurnaan sistem pendidikan Islam tersebut, menurut M. Saleh Muntasir (1985), pada intinya merupakan pengembalian kepada sistem yang lebih besar, yakni sistem Ketuhanan, yang menjadikan setiap pribadi menjadi pribadi yang bertakwa atau muttaqin. Tarbiyah atau pendidikan dalam Islam mengarahkan kepribadian muslim terus lestari dan bahkan terus berkembang matang agar selaras dengan nilai-nilai dan prinsip Islam.
Tarbiyah Islamiyyah itu sendiri memang berarti menumbuhkan dan membentuk muslim yang mutakamil (integral) dan menyeluruh pada sasaran yang mencakup seluruh dimensi kemanusiaan,baik jasadi (fisik), akli (intelektual), dan ruhi (moral). Maka dari itu metodologi ataupun pendekatan, dan instrumen-instrumen yang digunakan semestinya juga harus memenuhi standar dan nilai-nilai Islam (Abu Ridho, 1994). Nilai-nilai Islam inilah yang menjadi sumber bagi penegakan pilar-pilar budaya madrasah. Sehingga dalam sistem insruksional atau sistem pembelajaran di madrasah harus bersandarkan pada budaya madrasah yang bersumber dari nilai-nilai Islam tersebut. Namun di sisi lain, agar tak lekang digerus zaman, madrasah sudah selayaknya untuk lebih serius lagi untuk bertransformasi menjadi lembaga pendidikan Islam yang mampu beradaptasi dengan kebutuhan atau karakteristik generasi milenial.
ADVERTISEMENT
Kecenderungan yang berlangsung di Indonesia pasca-gerakan Reformasi 1998 adalah mencoba menggalakkan model desentralisasi pendidikan. Salah satunya adalah dengan cara menggalakkan model Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS. Di tengah masa transisi demokrasi, menurut Agustiar Syah Nur (2001: 6) gerakan otonomi pendidikan terus menguat, walaupun sayangnya belum ada keyakinan bahwa kebijakan ini akan dapat memberi dampak yang lebih signifikan terhadap perbaikan kualitas pendidikan. Namun pada praktiknya, banyak madrasah belum dapat mengembangkan sistem instruksionalnya dengan berbasis pada budaya madrasah. Berdasarkan hasil kerja sama antara Kementerian Agama Republik Indonesia dan Australia Aid didapatkan temuan bahwa:
“Masalah utama madrasah saat ini adalah banyak pengelola madrasah tidak memiliki pemahaman tentang apa yang diperlukan dalam pengembangan madrasah. Kurangnya madrasah yang sukses, yang sebenarnya menjadi model bagi sebuah pengembangan madrasah efektif menandakan bahwa madrasah sangat jarang menyediakan panduan ‘hidup’ tentang bagaimana sebuah madrasah efektif itu dijalankan. Tanpa ukuran visual terhadap model pengembangan madrasah mereka, banyak pemimpin madrasah akan kebingungan karena tidak tahu apa indikator-indikator kunci yang akan menunjukkan tahapan dalam manajemen perubahan madrasah mereka.”
ADVERTISEMENT
Dalam laporannya, OECD dan ADB tahun 2015, menerangkan bahwa madrasah di Indonesia yang baru mendapat pengakuan sebagai bagian dari sistem pendidikan formal pada tahun 1975. Dengan 85% penduduk Indonesia tercatat beragama Islam pada sensus 1990, sayangnya tak lebih dari 15% yang mengikuti pendidikan madrasah. Sistem pendidikan nasional di Indonesia hingga saat ini masih dikelola oleh dua kementerian, yakni: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang bertanggung jawab atas lebih 80% dari keseluruhan siswa, guru, dan sekolah, serta Kementerian Agama yang bertanggung jawab pada sekolah-sekolah Islam atau madrasah (Tobias, dkk., 2014: 13). Menurut laporan Balitbang Kemdikbud tahun 2013, dari sekitar 233.517 sekolah negeri dan madrasah negeri, 82% terdiri atas sekolah negeri dan sisanya 18% adalah madrasah. Sedangkan dari 49.402.000 siswa yang ada, 87% terdaftar di sekolah negeri dan lainnya 13% terdaftar di madrasah.
ADVERTISEMENT
Sejak pendidikan zaman kolonial, madrasah dan pesantren memang mengalami marjinalisasi sebagai sistem pendidikan kelas kedua. Namun pasca Reformasi 1998, madrasah dan pesantren mengalami pertumbuhan yang sangat pesat di beberapa kota besar. Selain kedua lembaga tadi, bermunculan juga sekolah-sekolah Islam modern yang menampilkan genre baru dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini cukup menarik minat banyak masyarakat muslim terutama dari kalangan kelas menengah.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan lebih lengkap tentang relasi madrasah dengan negara, kita bisa memperhatikan perkembangan kebijakan pendidikan agama dan keagamaan Islam di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga era Reformasi yang telah rangkum dalam paparan di bawah ini:
1. Masa Revolusi Kemerdekaan
- Penetapan Pemerintah No. 1/SD/ Tanggal 3 Januari 1946: tentang pendirian Kementerian Agama.
ADVERTISEMENT
- Keputusan Menteri Agama No. 1185/K.J. Tanggal 20-11-1946: Melaksanakan urusan pelajaran dan pendidikan agama (Islam dan Kristen), berikut pengangkatan guru agama dan pengawasan pelajaran agama.
- Peraturan Bersama antara Meneteri PP & K dan Menteri Agama No. 1142/ Bhg. A (Pengajaran) / No. 1285/ K.J. (Agama) Tanggal 2-12-1946: Menjadi Tonggak sejarah awal dimulainya penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah negeri / Sekolah Rakyat sejak 1 Januari 1947.
2. Masa Demokrasi Parlementer
- Undang-Undang No. 4 / 1950, Jo. No 12/ 1954 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, BAB 12, Pasal 20: Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
- Peraturan Bersama Menteri PP & K dan Menteri Agama No. 17678/Ka Tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) / No. KI/ 1980 Tanggal 16 Juli 1951 (Agama): Realisasi Pasal 20 UU No. 4 / 1950 yang berisi tentang: lamanya pendidikan agama, pengangkatan dan pembiayaan, rencana pelajaran agama, dan pendidikan agama di sekolah partikelir.
ADVERTISEMENT
- Penetapan Menteri Agama No. 21/ 1952: tentang Rencana Pokok Pengajaran Agama Islam di sekolah-sekolah rakyat di seluruh Indonesia.
3. Masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama)
- TAP MPRS No. II/MPRS/1960: Pendidikan agama menjadi pelajaran di sekolah-sekolah sejak dari SD sampai perguruan tinggi
4. Orde Baru
- Keppres No. 34 tahun 1972 yang dijelaskan lebih lanjut dalam Inpres No. 15 tahun 1974: tentang Pembinaan Pendidikan Umum adalah tangung jawab Menteri P&K sedang Pendidikan Agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
- Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri P&K, dan Menteri Dalam Negeri) Tahun 1975, tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah: tentang Ijazah madrasah memiliki nilai yang sama dengan sekolah umum setingkat dan siswa madrasah dapat berpindah atau melanjutkan ke sekolah umum
ADVERTISEMENT
- Keputusan Menteri Agama No. 68 Tanggal 31 Oktober 1974: tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam untuk SD, SLP, dan SLA
- Inpres No. 3 tahun 1976 dan No. 3 tahun 1977: tentang Merehabilitasi bangunan-bangunan madrasah ibtidaiyah swasta
- Keputusan Menteri Agama No. 74 Tahun 1976, No. 75 Tahun 1976, No. 3 Tahun 1983, dan No. 48 Tahun 1978: tentang Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, Madrasah Diniyah, dan Pendidikan Guru Agama.
- Keputusan Menteri Agama No. 97 Tahun 1982. Tanggal 28 Oktober 1982: tentang Kurikulum IAIN
- Keputusan Menteri Agama No. 110 Tahun 1982. Tanggal 14 Desember 1982: tentang Pembidangan Ilmu Agama Islam
- Tap. MPR No. II / 1983: tentang Terdapat rumusan penting yang menandakan terintegrasikannya tujuan pendidikan agama ke dalam tujuan pendidikan nasional
ADVERTISEMENT
- SK Menteri Agama No. 45 Tahun 1987: tentang Penyempurnaan kurikulum
- TAP. MPR No. II / 1988
- Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional: Menjadi payung hukum bagi semua peraturan yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama di semua lembaga pendidikan umum (wajib secara keseluruhan).
- Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990: tentang tidak diharuskannya sekolah menengah untuk memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang muridnya.
5. Orde Reformasi
- SKB Dua Menteri No. 1/U/KB/2000 dan Nomor MA/86/2000: tentang Formalisasi pendidikan pesantren salafiah melalui pendidikan diniyah
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: Mewajibkan semua sekolah memberikan pelajaran agama yang sesuai dengan agama muridnya. Juga mengakomodir model pendidikan Islam formal yang belum terakreditasi pemerintah.
ADVERTISEMENT
- Permenag No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam: Diformalkannya Madrasah Diniyah berbasis Pesantren sehingga setara dengan jenis pendidikan formal yang lain.
Madrasah bagaimanapun telah turut memberikan kontribusi yang signifikan untuk memenuhi angka partisipasi murni dan kasar (APM / APK) dan Target Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Banyak madrasah swasta didirikan secara swadaya oleh masyarakat dan memiliki kecenderungan untuk melayani elemen masyarakat yang lebih miskin. Namun sayangnya desentralisasi telah mengakibatkan sekolah negeri berada di bawah manajemen pemerintah daerah, sedangkan madrasah tetap berada di bawah manajemen Depag yang tetap terpusat; dengan demikian, pemerintah daerah tidak mendanai madrasah.
Pada Era Reformasi, melalui Undang - Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 khirnya semakin mempertegas kesetaraan antara madrasah dengan sekolah umum lainnya. Maka semestinya sudah tidak ada lagi dikotomi di antara keduanya. Materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya melekat pada lembaga pendidikan umum seperti: UAN, KBK 2004, KTSP 2006, dan kini kurikulum 2013 juga berlaku bagi madrasah. Di sisi lain, kurikulum 2013, menurut mantan Mendikbud Prof. Dr. Muhammad Nuh merupakan kemenangan ummat Islam, karena terdapat penambahan pertemuan tatap muka mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dari 2 jam menjadi 3 jam dalam seminggu (H.M. Hasbullah, 2015: 209).
ADVERTISEMENT
Kini sebetulnya tidak terlalu terdapat perbedaan kebijakan antara pendidikan umum dan pendidikan keagamaan Islam tersebut. Baik sekolah umum ataupun madrasah sama-sama menggunakan standar nasional dan ujian nasional yang tidak berbeda. Keduanya pun juga sama-sama memperoleh bantuan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan tunjangan sertifikasi buat guru. Hanya permasalahan besarnya adalah: 90% madrasah masih berstatus swasta dan banyak melayani kalangan masyarakat miskin (Sopantini, 2014: 20-21).
Di Indonesia ada 70.414 lembaga madrasah. 9 persen dari jumlah madrasah tersebut dikelola oleh Kementerian Agama sebagai madrasah negeri. Sedangkan 91 persennya dikelola oleh masyarakat atau yayasan swasta. Dalam menjalankan Peraturan Menteri Agama No. 10 Tahun 2010, Direktorat Pendidikan Madrasah (Ditpenma) mengembangkan diversifikasi atau penganekaragaman madrasah melalui beragam skema. Maka muncullah kemudian madrasah-madrasah dengan keunggulan-keunggulannnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Diversifikasi madrasah tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa tipologi, antara lain: MAN Insan Cendekia, madrasah model dan unggulan, madrasah berbasis pesantren, madrasah berbasis riset, madrasah mandiri (entrepreneurship), madrasah vokasional, madrasah berbasis afiliasi, dan madrasah berbasis partnership (contoh: MEDP dan ALBEP). Semua skema tentang ragam diversifikasi madrasah di atas merupakan bentuk ikhtiar dalam rangka meningkatkan kualitas standar layanan madrasah melalui model-model tata kelola terbarukan. Inti dari strategi diversifikasi ini adalah dengan cara membangun integrasi dan juga keselarasan antara kemuliaan agama dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengintegrasian nilai-nilai ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan sebagai bentuk kekhasan dalam proses pembelajaran di madrasah dapat dikembangkan salah satunya dengan cara menjadikan perspektif Islam sebagai landasan dan alat kontrol terhadap penyampaian temuan-temuan sains dan teknologi, begitupun sebaliknya (Mujamil Qomar, 2015: 301). Madrasah sebagai pusat perubahan ummat, secara normatif memiliki misi untuk menjaga keutuhan dan penghormatan terhadap norma-norma Islam yang ada dalam kehidupan ummat atau masyarakat. Sedangkan secara transformatif, hakikat pengembangan madrasah merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional dalam rangka memperbaiki kualitas hidup masyarakat dan menopang kemajuan bangsa di masa depan. Inilah perwujudan dari slogan: “madrasah lebih baik, dan lebih baik madrasah”.
ADVERTISEMENT