10 Sengketa Investasi Indonesia di Arbitrase ISDS: Kilas Balik

Indra Sanada Sipayung
Suami dan Ayah, Abdi Negara, Good Samaritans & Bedroom Musician.
Konten dari Pengguna
17 Maret 2019 21:24 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indra Sanada Sipayung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi persidangan arbitrase internasional. Sumber:globalarbitrationnews.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi persidangan arbitrase internasional. Sumber:globalarbitrationnews.com
ADVERTISEMENT
Dalam era globalisasi, perusahaan multinasional memiliki kontribusi yang besar bagi pembangunan ekonomi suatu negara melalui investasi asing. Hampir seluruh negara berkembang memiliki kebijakan nasional untuk menarik investasi asing di wilayahnya, termasuk Indonesia. Salah satu caranya adalah melalui pembuatan Perjanjian Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M).
ADVERTISEMENT
P4M adalah perjanjian antar negara yang memuat ketentuan standar perlindungan terhadap investasi asing dan mekanisme penyelesaian sengketa investasi di forum arbitrase internasional yang dikenal dengan nama Investor – State Dispute Settlement (ISDS). Dalam perkembangannya, ISDS dianggap sebagai mekanisme arbitrase yang tidak adil dan hanya menguntungkan kepentingan investor asing serta merugikan negara.
Indonesia sendiri telah digugat 10 kali dalam ISDS atas berbagai sengketa investasi, terbanyak di ASEAN. Lalu, apakah benar ISDS tidak adil bagi Indonesia? Mari kita kaji sengketa investasi Indonesia di ISDS satu per satu.

1. Amco vs Indonesia (1983)

Sengketa investasi ini awalnya terjadi karena adanya perselisihan perdata dengan PT. AMCO yang membuat kontrak sewa pembangunan dan pengelolaan Hotel Kartika Plaza, dengan PT. Wisma Kartika. PT. Wisma Kartika sendiri sepenuhnya dimiliki oleh Induk Koperasi TNI Angkatan Darat (INKOPAD). Kontrak semula diberikan untuk jangka waktu 30 tahun. Namun BKPM kemudian mencabut izin investasi PT. AMCO ketika baru memasuki tahun ke-9.
ADVERTISEMENT
PT. AMCO kemudian mengklaim bahwa militer Indonesia saat itu membantu PT. Wisma Kartika dalam pengambilalihan gedung Hotel Kartika Plaza. PT. AMCO lalu membawa sengketa ini ke arbitrase International Center for Settlement of International Dispute (ICSID). Tribunal ICSID kemudian memenangkan gugatan PT. AMCO dengan pertimbangan bahwa pencabutan izin investasi secara sepihak serta pengambilalihan gedung Hotel Kartika Plaza oleh militer merupakan bentuk pelanggaran komitmen perlindungan investasi. Indonesia kemudian kalah dan diharuskan membayar kompensasi sebesar USD 2,7 juta.

2. Himpurna dan Patuha vs Indonesia (1999)

Sengketa ini terjadi antara perusahaan Amerika Serikat, Himpurna Cal Energy Ltd. dan Patuha Power Ltd., yang membuat dua kontrak penjualan energi (Energy Sales Contracts/ESC) dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mengembangkan energi geothermal di daerah Dieng dan Patuha. Selain itu, Himpurna dan Patuha juga membuat Joint Operation Contracts (JOC) dengan Pertamina yang intinya disepakati bahwa produksi listrik yang dihasilkan dari geothermal nantinya akan dijual ke Pertamina yang kemudian dijual kembali ke PLN.
ADVERTISEMENT
Namun demikian pada saat krisis moneter, Pemerintah memutuskan untuk melakukan intervensi untuk menunda pelaksanaan ESC dan JOC, serta melarang PLN untuk membeli listrik dari Himpurna dan Patuha.
Akibatnya, Himpurna dan Patuha kemudian membawa Indonesia ke arbitrase internasional dibawah United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL). Pada akhirnya, Tribunal memenangkan gugatan kedua perusahaan tersebut dan menghukum Pemerintah Indonesia untuk membayar USD 392 juta kepada Himpurna dan USD 180 juta kepada Patuha.

3. Cemex vs Indonesia (2004)

Cemex merupakan perusahaan Meksiko yang didirikan di Singapura. Cemex menanamkan modalnya di Indonesia dengan membeli 25,5% saham PT. Semen Gresik (BUMN). Cemex juga menandatangani Conditional Sales Purchase Agreement yang intinya memberikan hak bagi Cemex untuk menguasai 51 persen di PT. Semen Gresik.
ADVERTISEMENT
Namun dalam perkembangannya, Pemerintah Indonesia menolak untuk melepaskan sahamnya kepada Cemex. DPR bahkan melarang Pemerintah untuk menjual kepemilikannya di Semen Gresik guna menghindari adanya kartel semen yang bisa mengganggu proyek infrastruktur di Indonesia. Merasa dirugikan, Cemex akhirnya memilih jalur arbitrase di ICSID. Pada akhirnya, sengketa berhasil diselesaikan diluar pengadilan dimana Indonesia akhirnya membayar kompensasi sebesar USD 337 juta.

4. Pemerintah Kaltim vs PT Kaltim Prima Coal (2009)

Sengketa investasi ini cukup menarik karena yang menjadi penggugat justru adalah Pemerintah Daerah Kalimantan Timur melawan Rio Rinto, British Petroleum, Sangatta Holding Limited, Kalimantan Coal Limited, dan Pacific Resources Investments Limited yang tergabung dalam PT. Kaltim Prima Coal.
Sengketa terjadi karena PT. Kaltim Prima Coal menolak untuk melakukan divestasi saham kepada Pemda Kaltim sesuai dengan kesepakatan. Pemda Kaltim kemudian membawa sengketa ini ke arbitrase ICSID. Namun demikian, ICSID menyatakan tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili sengketa investasi, karena berdasarkan P4M yang dapat menjadi penggugat adalah investor asing bukan negara.
ADVERTISEMENT

5. Rizvi vs Indonesia (2012)

Gugatan ISDS oleh Ravat Ali Rizvi dilatarbelakangi keputusan Pemerintah dalam bailout Bank Century. Kebijakan Pemerintah saat itu yang menalangi dan mengambil alih kepemilikan Bank Century untuk menghindari dampak sistemik dan krisis moneter dianggap Rizvi telah merugikannya selaku pemegang saham pengendali di Bank tersebut.
Selain itu, Rizvi menganggap bahwa keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan pidana 15 tahun dalam kasus korupsi di Bank Century merupakan pelanggaran terhadap kewajiban perlindungan investor asing. Indonesia berpandangan bahwa P4M RI-Inggris yang menjadi dasar gugatan Rizvi hanya mengatur tentang perlindungan penanaman modal langsung.
Sedangkan investasi Rizvi merupakan investasi tidak langsung atau portofolio karena dibeli di bursa saham. ICSID kemudian memenangkan Indonesia dan beranggapan bahwa investasi yang dilakukan Rizvi tidak sesuai dengan ketentuan dalam P4M RI-Inggris.
Ravat Ali Rizvi, WN Inggris yang menjadi buronan dan menggugat Pemerintah Indonesia di ICSID. Sumber: publica-news.com

6. Al-Warraq vs Indonesia (2012)

Sama dengan Rizvi, Hesham Al-Warraq juga menggugat Pemerintah Indonesia atas kebijakan bailout Bank Century. Namun Al-Warraq menggugat dengan arbitrase UNCITRAL menggunakan P4M yang dibuat Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1981. Al-Warraq berpandangan bahwa kebijakan bailout Indonesia telah berdampak terhadap ekspropriasi sahamnya di Bank Century.
ADVERTISEMENT
Hampir sama dengan keputusan di ICSID, arbitrase UNCITRAL juga menolak gugatan Al-Warraq dan menegaskan bahwa dalam perjanjian OKI Pasal 9, Al-Warraq diwajibkan untuk menghormati hukum dan peraturan yang berlaku di negara tamu dan wajib menghindari segala tindakan yang dapat mengganggu ketertiban umum atau bertentangan dengan kepentingan publik. Dalam kaitan itu, Tribunal beranggapan bahwa kebijakan bailout Bank Century memenuhi ketentuan Pasal 9 dan untuk itu, Indonesia tidak dapat dianggap melanggar P4M OKI.

7. Churchill Mining dan Planet Mining vs Indonesia (2012)

Sengketa investasi Churchill Mining merupakan salah satu sengketa ISDS yang paling banyak menaruh perhatian masyarakat Indonesia. Kedua perusahaan menggugat Pemerintah Indonesia di ICSID sebesar USD 2 miliar akibat serangkaian tindakan Pemerintah Indonesia yang mencabut Kuasa Pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan oleh Bupati Kutai Timur.
ADVERTISEMENT
Para penggugat menilai tindakan tersebut merupakan bentuk ekspropriasi yang melanggar ketentuan P4M RI-Inggris. Dalam persidangan, Pemerintah Indonesia mengajukan bukti bahwa kedua perusahaan telah memalsukan dokumen perizinan sehingga menyebabkan investasi mereka ilegal secara hukum. Tribunal kemudian menemukan bahwa memang terdapat pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh kedua perusahaan tersebut.
Pada akhirnya, Indonesia memenangkan sengketa ini dan Tribunal menghukum Churchill Mining dan Planet Mining untuk membayar ganti rugi biaya perkara Indonesia sebesar USD 8,7 juta.

8. Nusa Tenggara Newmont vs Indonesia (2009)

Sengketa investasi ini menjadi menarik karena kedua belah pihak saling menggugat satu sama lain. Perusahaan tambang Newmont menggugat Pemerintah Indonesia di ICSID berdasarkan P4M RI-Belanda. Newmont meminta kompensasi karena melalui UU Pertambangan baru (UU 4/2009), Newmont dilarang untuk mengekspor bahan mineral mentah sehingga dianggap merugikan operasionalnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia menggugat Newmont melalui UNCITRAL atas dasar pelanggaran kontrak karya. Dalam kontrak tersebut, Newmont diwajibkan untuk melakukan divestasi saham masing-masing 3 persen dan 7 persen kepada Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat namun tidak dilakukan. UNCTIRAL akhirnya memenangkan Indonesia dan menghukum Newmont untuk mendivestasikan sahamnya dalam jangka waktu 180 hari.
Newmont juga diwajibkan untuk membayar denda ganti rugi sebesar USD 180 ribu kepada Pemerintah Indonesia. Setelah itu, Newmont juga akhirnya sepakat untuk tidak melanjutkan proses arbitrase di ICSID dan memilih untuk melakukan negosiasi ulang dengan Pemerintah Indonesia.
Mayoritas sengketa ISDS Indonesia berasal dari investasi asing di sektor pertambangan. Sumber: http://www.kliksangatta.com

9. IMFA vs Indonesia (2015)

Pemerintah Indonesia saat ini tengah menghadapi gugatan perusahaan India, IMFA di Permanent Court of Arbitration (PCA). IMFA sebelumnya membeli PT. Sri Sumber Rahayu Indah sebesar USD 8,7 juta pada tahun 2010. PT. SSR memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dinilai tumpang tindih dengan tujuh perusahaan lain.
ADVERTISEMENT
Akibat tumpang tindih IUP tersebut, IMFA merasa dirugikan karena tidak dapat melakukan kegiatan penambangan. Atas dasar itu, IMFA menuntut ganti rugi dari Pemerintah Indonesia senilai USD 581 juta. Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa gugatan IMFA salah alamat karena seharusnya diajukan kepada PT. SSR bukan Pemerintah Indonesia.

10. Oleovest vs Indonesia (2016)

Tidak banyak informasi publik yang tersedia atas sengketa investasi antara Oleovest dan Indonesia. Namun diketahui sebelumnya bahwa Oleovest telah menyelesaikan sengketa dengan PT Nusantara III di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dimana Oleovest meminta kompensasi dari PTPN III untuk pelanggaran Joint Venture Agreement (JVA) terkait penilaian harga saham Oleovest yang dinilai tidak sesuai dengan harga pasar.
BANI dikabarkan telah mengeluarkan putusan namun kemudian Oleovest kembali menggugat Pemerintah Indonesia di ICSID pada tahun 2016. Saat ini, berdasarkan informasi di website ICSID, diketahui bahwa Oleovest telah mencabut gugatannya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan gambaran 10 sengketa ISDS tersebut, terlihat bahwa secara statistik Pemerintah Indonesia lebih banyak menang. Tercatat Pemerintah Indonesia telah memenangkan 4 sengketa ISDS dan hanya kalah di 2 sengketa ISDS yang terjadi di masa lalu.
Selebihnya, gugatan umumnya dicabut atau para pihak menyelesaikan sengketa di luar arbitrase. Dari beberapa putusan yang memenangkan Indonesia juga terlihat bahwa Tribunal pada prinsipnya mempertimbangkan kepentingan umum di atas kepentingan bisnis seperti dalam sengketa Rizvi dan Al-Warraq.
Selain itu, Tribunal juga terlihat menghormati hukum nasional negara seperti dalam sengketa Newmont dan Churchill Mining. Sebaliknya, Tribunal lebih memenangkan investor asing jika memang terjadi pelanggaran kewajiban perjanjian kontrak oleh negara seperti dalam kasus PT. AMCO dan Himpurna serta Patuha.
ADVERTISEMENT
P4M pada dasarnya dibuat agar negara berkomitmen untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif diwilayahnya dengan jaminan perlindungan investasi asing yang adil dan tidak diskriminatif dengan harapan adanya investasi asing yang masuk membawa modal besar.
Jaminan perlindungan tersebut dibuktikan melalui kesiapan negara tersebut untuk digugat di forum ISDS apabila dianggap melanggar ketentuan P4M. Singapura saja memiliki 85 P4M dan tidak pernah sekalipun digugat oleh investor asing. Sehingga ketika kita yakin tidak melanggar, mengapa takut dengan ISDS?